Ekonomi dan UMKM
Analis Sebut Depresiasi Rupiah Akibat Sentimen, Bukan Fundamental
JAKARTA - Ekonom dan Co-founder serta Dewan Pakar Institute of Social, Economic, and Digital (ISED) Ryan Kiryanto menyebutkan depresiasi rupiah yang terjadi akhir-akhir ini akibat faktor sentimen dan tidak bersifat fundamental.
Ryan mengemukakan, melemahnya rupiah yang terjadi secara tajam akhir-akhir ini adalah suatu anomali. Pasalnya, fundamental ekonomi Indonesia justru relatif lebih baik dibandingkan AS.
Namun, faktor sentimen global pada gilirannya membuat rupiah dan mata uang di negara maju dan berkembang lainnya terkoreksi terhadap dolar AS yang menciptakan fenomena baru bernama "Super Strong US Dollar", katanya, Jumat (21/10/2022).
Sementara itu, kenaikan suku bunga sebesar 50 basis poin yang diinisiasi dan diumumkan oleh BI pada hari Kamis, 20 Oktober 2022, adalah langkah yang dinilai Ryan sebagai keputusan yang tepat untuk menahan pelemahan rupiah.
Baca Juga:
- Udah Akhir Pekan Lagi, Cuss Yuk Bikin yang Manis Berempah "Cinnamon Rolls"
- Tingkatkan Kehandalan Pasokan Gas Bumi Jawa Timur, Jawa Tengah dan sekitarnya, PGN Grup dan HCML Tandatangani Kesepakatan Lapangan 3M
- Simak, 5 Sirop ini Diduga Kandung ED dan DEG Buang Saja Ya
Menurut Ryan, kenaikan suku bunga ini khususnya dilakukan BI untuk menurunkan ekspetasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi, berkisar 6%-7% pascakenaikan bahan bakar minyak (BBM).
Langkah ini juga dilancarkan untuk memastikan inflasi inti ke depannya kembali ke sasaran 2%-4% lebih awal dari target sebelumnya di semester I-2023.
"Tak kalah penting, keputusan BI tersebut juga dimaksudkan untuk menjaga dan memperkuat kebijakan upaya menstabilkan pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS agar sesuai dengan nilai fundamentalnya, yakni kinerja perekonomian yang stabil dan terus tumbuh positif," kata Ryan.
Sentimen yang memperkuat dolar AS datang dari ketidakpastian pasar keuangan global karena ekses perang di Ukraina di tengah permintaan ekonomi domestik yang tetap cukup kuat karena konsumsi rumah tangga yang tumbuh stabil di atas 5% secara tahunan dalam tiga kuartal terakhir ini.
Imbal hasil dolar AS pun meningkat tajam karena The Fed juga terus mengerek suku bunga secara agresif sehingga para investor memburu dolar AS sebagai instrumen safe-heaven di saat ketidakpastian global terus meningkat.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 21 Oct 2022