Aliansi Perempuan Indonesia: Protes Adalah Hak, Hentikan Kekerasan terhadap Pejuang Demokrasi

Konferensi Pers Aliansi Perempuan Indonesia yang disimak secara daring, Rabu (10/09/2025). (ist/tangkapan layar youtube @koalisiperempuanindonesia)

JAKARTA, WongKito.co - Aliansi Perempuan Indonesia (API) menolak segala bentuk militerisme dan kekerasan dalam menghadapi aksi protes rakyat. Dalam memperingati September Hitam, API juga mendesak penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada bulan September dalam sejarah Indonesia. 

“Kami mempertegas bahwa protes merupakan hak semua warga negara dalam menyikapi situasi politik atau kebijakan negara. Karena itu, hak untuk protes tidak boleh disikapi dengan intimidasi dan kekerasan oleh aparat," ungkap Ika, Perwakilan API, dalam konferensi pers yang disimak secara daring, Rabu (10/09/2025).

Sikap ini disampaikan karena hingga saat ini para pemrotes kebijakan pemerintah yang turun ke jalan masih berada dalam jeruji besi tahanan polisi. Selama aksi dari 25 Agustus-1 September 2025 tercatat 10 orang telah meninggal, 3.337 orang ditangkap polisi, 1.042 orang luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit, 20 dari 23 orang masih hilang, 60 kasus kekerasan menimpa jurnalis. 

Alih-alih merespon tuntutan rakyat, Presiden Prabowo Subianto justru memberikan kenaikan pangkat jabatan bagi para anggota kepolisian yang terlibat dalam kekerasan saat unjuk rasa dan melabeli aksi-aksi sebagai tindakan “makar dan terorisme” tanpa sedikit pun permintaan maaf kepada keluarga korban yang tewas dibunuh aparat. Tak cukup hanya itu, sweeping juga dilakukan para aparat di kampus untuk menangkap para mahasiswa. 

“Kami juga menyikapi pernyataan Presiden Prabowo pada 8 September 2025 bahwa penarikan TNI dari aksi-aksi demonstrasi masyarakat sipil merupakan tuntutan yang debatable, menunjukkan sikap pemimpin negara yang tidak hanya menyalahi prinsip akuntabilitas dan profesionalitas TNI, tapi juga tidak peduli pada berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia,” tegasnya. 

Kehadiran militer di ranah sipil mempertegas wajah militerisme negara. Padahal protes, aksi dan penyampaian pendapat di muka umum merupakan bagian dari hak asasi setiap orang sehingga tidak boleh dihadapi dengan intimidasi, penangkapan, dan penggunaan cara-cara kekerasan lainnya. Dalam pernyataan ini Presiden menolak menarik militer dari pengamanan selama aksi protes. Presiden bahkan seakan menyamakan aksi protes dengan "membuat kerusuhan” dan “ancaman terhadap rakyat”. 

Kondisi lainnya yang terjadi selama sepekan ini, kekerasan dan ancaman hukuman juga menyasar jurnalis, pendamping hukum, aktivis dan influencer yang kritis memperjuangkan perubahan. Serangan digital dilakukan dengan penyebutan antek asing pada organisasi dan media alternatif serta sejumlah akun organisasi yang dibatasi, serta intimidasi di beberapa kampus. 

API melihat serangan-serangan ini adalah upaya membungkam suara protes, serta membunuh demokrasi yang salah satu prinsipnya adalah kebebasan rakyat menyuarakan pendapat. Semua tindakan represif ini menegaskan bahwa negara lebih memilih jalan kekerasan daripada membuka ruang dialog yang demokratis. 

“Aksi protes adalah ekspresi suara rakyat. Aksi protes bukan tindakan makar atau ancaman bagi rakyat. Protes bukanlah kejahatan, melainkan hak demokratis yang melekat pada tiap warga negara. Melarang, membatasi, atau menstigma protes adalah cara paling licik untuk memberangus demokrasi,” tukasnya.

Aksi protes saat ini adalah luapan kemarahan dan kemuakan rakyat atas kebijakan sembrono dan arogansi pejabat negara. Harga kebutuhan pokok naik, pajak semakin mencekik, angka pengangguran terus meningkat, terjadinya PHK massal, perampasan tanah adat, serta anak-anak menjadi korban keracunan MBG. 

Rakyat menanggung sengsara, sementara anggota DPR dan para pejabat lainnya tidak berempati dan hidup dalam kemewahan dengan tunjangan, fasilitas dan gaji yang melambung tinggi. Pelaku korupsi diberikan bintang penghargaan, dan jabatan rangkap kementerian dengan komisaris BUMN dibiarkan. 

Aliansi Perempuan Indonesia (API) mendesak untuk dikembalikannya demokrasi dengan memberi kebebasan sepenuhnya pada rakyat untuk bersuara. Untuk itu, API menuntut: 

1. Presiden Prabowo menghentikan segala bentuk kekerasan oleh negara, termasuk menarik mundur TNI dan Polri dalam penanganan aksi protes serta menghentikan segala bentuk keterlibatan TNI dalam urusan sipil. 

2. Presiden Prabowo, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, dan Panglima TNI Agus Subiyanto untuk segera menarik tentara yang dilibatkan bersama kepolisian dalam penanganan keamanan dan ketertiban masyarakat. 

3. Kapolri Listyo Sigit untuk segera mundur dari jabatannya, serta menuntut kepolisian untuk membebaskan tanpa syarat seluruh masyarakat yang ditangkap selama aksi protes.

4. Presiden Prabowo menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap rakyat, aktivis, jurnalis dan media, serta pendamping hukum. 

5. Jaminan sepenuhnya hak konstitusional warga negara untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat di muka umum tanpa intimidasi maupun kekerasan, termasuk mencabut larangan siaran langsung, mengakhiri pemblokiran komunikasi, dan menjamin independensi media. 

6. Pemerintah mengurangi anggaran untuk TNI dan Kepolisian untuk dialihkan kepada pelayanan publik. 

7. Presiden Prabowo melakukan reformasi Birokrasi dan Kepolisian secara menyeluruh, rakyat Indonesia berhak hidup dengan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan beretika. 

8. Pimpinan DPR RI untuk menghentikan dan mencabut seluruh fasilitas mewah dan tunjangan anggota dan pimpinan DPR RI. Membangun ruang dialog dan partisipasi publik yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. 

Aliansi Perempuan Indonesia (API) juga memperingati bulan September sebagai September Hitam. September Hitam adalah peringatan atas banyaknya kejadian gelap yang menimpa rakyat di bulan September (lihat lampiran). API mendesak penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada bulan September dalam sejarah Indonesia. (*)

Editor: Redaksi Wongkito
Bagikan
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories