Ragam
Bansos Sering Salah Sasaran, Ini Kata Pakar
JAKARTA - Mentalitas miskin dinilai menjadi penyebab masih seringnya bantuan sosial yang salah sasaran, demikian ungkap Kepala Pusat Kajian Pembangunan Sosial (SODEC) Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan FISIPOL UGM, Dr. Hempri Suyatna, S.Sos., M.Si. Hal ini dapat dilihat pada fenomena ribuan ASN yang terindikasi menerima berbagai jenis bantuan sosial yang bukan menjadi haknya.
“Jika mereka sadar bahwa ini bukan hak mereka, seharusnya segera dikembalikan. Bentuk-bentuk mentalitas miskin ini yang harus dibenahi agar program bansos juga tepat sasaran,” kata Hempri, demikian melansir jogjaja.com, jejaring WongKito.co, Rabu (24/11 /2021).
Ia menerangkan, bantuan sosial idealnya diberikan untuk mengatasi berbagai risiko sosial baik dari aspek rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, jaminan sosial, pemberdayaan, dan penanggulangan kemiskinan.
- Smartfren dan Aplikasi DANA Lahirkan Kartu Perdana Eksklusif dan Paket GOKIL COMBO untuk Generasi Digital
- Dinkes Palembang, Pastikan Stok Vaksin Aman
- Yuk Cek Daftar Pekerja yang Dilarang Ambil Cuti Akhir Tahun di Sini
Dengan demikian, program bantuan sosial ini diperuntukkan misalnya untuk masyarakat rentan dan masyarakat terdampak bencana. Persoalan pada penyaluran yang salah sasaran membuat kebijakan bantuan sosial menjadi kurang efektif.
“Memang sudah banyak kebijakan bansos yang dilakukan pemerintah. Secara umum dapat saya katakan kurang efektif karena selain masih banyak salah sasaran, program-program bansos ini cenderung hanya menjadi pemadam kebakaran dan parsial,” ucapnya
Selain persoalan mentalitas, menurutnya terdapat sejumlah faktor yang mengakibatkan penyaluran bansos salah sasaran.
Faktor pertama, verifikasi dan validasi data kemiskinan atau data terpadu kesejahteraan sosial yang tidak berjalan dengan baik sehingga banyak warga mampu masih terdata. Pembaruan data di tingkat pemerintah daerah/desa juga tidak berjalan dengan baik.
“Pemerintah Kabupaten seharusnya lebih update terkait perkembangan data-data kemiskinan yang ada di wilayah masing-masing,” ucapnya.
Selain itu, menurutnya ada konflik regulasi dan minim sinkronisasi antara pemangku kepentingan, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Desa, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi/Kabupaten, dan sebagainya, dalam penyaluran bantuan sosial.
“Integrasi di antara program bansos yang satu dengan program yang lain kurang efektif,” terangnya.
Dampak dari banyaknya pintu untuk pendataan, muncul pula pemburu rente dalam penyaluran bansos atau politisasi bantuan sosial.
Ia berharap ada kesadaran dari para ASN penerima bansos untuk mengembalikan bantuan yang bukan haknya. Pemerintah perlu memberikan bukan sekadar anjuran tetapi kewajiban bagi para ASN ini.
“Dalam perspektif agama pun, menerima sesuatu yang bukan haknya juga tidak baik,” kata Hempri.
Menurutnya ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai polemik yang kerap muncul dalam pengelolaan dan penyaluran bansos, yaitu perbaikan manajemen data dan optimalisasi satu data nasional, serta harmonisasi dan sinkronisasi regulasi atau integrasi program-program bansos.
Selain itu, diperlukan pula perbaikan tata kelola program dan sistem evaluasi partisipasi, pengawasan bersama masyarakat, serta perbaikan mentalitas miskin masyarakat. (*)
Tulisan ini telah tayang di jogjaaja.com oleh Ties pada 24 Nov 2021