CATAHU LBH Palembang: Tangani 62 Kasus, 12 Pelanggaran HAM

CATAHU LBH Palembang (Ist)

PALEMBANG, WongKito.co - Catatan Akhir Tahun (CATAHU) LBH Palembang mengungkapkan sebanyak 62 kasus ditangani selama tahun 2021. Dimana, 12 diantaranya berdimensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Sumatera Selatan.

Direktur LBH Palembang, Juardan Gultom menjelaskan jika dilihat dari jenis pelanggarannya, terdapat tiga kasus masuk kategori pelanggaran Hak Sipil dan Politik berupa penangkapan sewenang-wenang.

Sedangkan sembilan kasus lainnya merupakan pelanggaran Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya berupa upah yang tidak dibayatkan, PHK sepihak, perampasan tanah dan tempat tinggal serta perampasan lahan kelola, kata dia disampaikan dalam siaran pers virtual, Rabu (29/12/2021).

Sejauh ini, Juardan menambahkan terjadinya kasus-kasus hukum dan HAM di Sumatera Selatan tersebut merupakan gambaran dari implementasi proses dilakukan upaya untuk tegak dan berfungsinya norma-norma hukum secara nyata.

Baca juga:

Hal itu, berkaitan dengan potret pelanggaran HAM, perampasan HAM atas nama penengakan hukum, pembegalan hak-hak buruh melalui syarat hukum formil. Lalu penegakan hukum kasus kekerasan seksual dan urgensi pengesahan UU PKS serta tata kelola hutan dan perampasan lahan yang dikelola rakyat, tambah dia.

Data Pelanggaran HAM

Sementara Kadiv Litbang LBH Palembang, Ressy Tri Mulyani menambah dari 62 kasus yang mereka tangani tercatat sebanyak 2.908 korban.

"Dengan korban terbanyak dari kasus sengketa lahan yang mencapai 2.560 orang," kata dia.

Jika dibandingkan tahun sebelumnya, Ressy mengatakan perkembangan penerimaan permohonan bantuan hukum dari tahun 2018 sebanyak 93 kasus, 2019 mencapai 87 kasus dan 2020 hingga 112 kasus.

Kasus perburuhan mendominasi permohonan bantuan hukum yang diterima, tambah dia.

Desak Pengesahan UU PKS

Juardan menambahkan kasus kekerasan seksual yang terungkapkan di Sumatera Selatan hanya sebagian kecil dari kasus di Indonesia.

"Data menunjukan Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual, kata dia.

Karen itu, ia menegaskan pentingnya komitmen dan tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan serta pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual.

"Kami mendesak pemerintah dalam hal ini legislatif segera mengesahkan RUU TPKS menjadi Undang-Undang sebagai payung hukum yang lebih berpihak kepada kepentingan korban," tegas dia.

Baca Juga:

Seperti diketahui belum lama ini, kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan kampus di Sumatera Selatan terungkap ke publik hingga diproses ke ranah hukum.

Sejauh ini, LBH menilai sulitnya terungkap kasus kekerasan seksual akibat posisi relasi kuasa yang tidak seimbang antara korban dan pelaku (mahasiswa dan dosen).

Alasan lainnya, proses dan birokrasi hukum yang panjang dan berat, tekanan sosial atas nama menjaga nama baik institusi, keluarga dan diri sendiri, adanya stigma negatif di masyarakat bagi korban kekerasan seksual serta masih kuatnya “victim blaming” kepada korban yang berani untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa dirinya.

Dari uraian kasus-kasus di atas, LBH Palembang merekomendasikan:

Pertama, pemerintah membuat penyadaran HAM baik kepada aparatur pemerintah mau masyarakat dengan menerbitkan kebijakan yang tepat.

Kedua, pengakuan konstitusi NKRI Alenia ke-3 untuk menjamin penegakan hukum

Ketiga, harus ada intervensi pemerintah terhadap implementasi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 dan segara sahkan RUU TPKS sebagai keberpihakan negara terhadap korban kekerasan seksual.

Keempat, harus ada transparansi pemerintah terhadap penguasaan aset dan SDA.(ert)


Related Stories