BucuKito
Cerita Sumhayana, Setiap Hari Melawan Debu hingga Rutin Pantau Anak yang ISPA karena Batu Bara
SUMHAYANA (47), perempuan asal Desa Muara Maung, Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, tak bisa menyembunyikan kekesalannya.
Hampir setiap hari, ia dan warga sekitar harus menghirup debu batu bara yang beterbangan dari aktivitas tambang dan truk pengangkut yang melintas di jalan lintas negara.
"Yang paling sering dirasakan ya susah napas karena banyak debu. Batuk pilek, bahkan tidak sembuh-sembuh," ungkap Sumhayana saat diwawancarai belum lama ini, di Desa Muara Maung.
Baca Juga:
- Segunung Derita Petani di Lingkar PLTU, Terdampak Praktik Energi Kotor
- Prakiraan Cuaca Pelabuhan TAA: Berawan Tebal dalam 3 Hari ke Depan
- Intip Yuk Review Film No Other Choice yang Dibintangi Lee Byung Hun
Ia menungkapkan keluhan serupa tak hanya dialaminya, banyak warga lain juga, terutama anak-anak yang menjadi kelompok paling rentan.
"Anak-anak biasa bermain di lapangan tanpa masker, tanpa alat pengaman. Mereka yang paling rentan terkena debu batu bara dan asap PLTU," jelasnya.

Masalah Kesehatan Terasa Sejak 2009
Sumhayana dan keluarganya bermukim di pinggir jalan lintas Sumatera, mengakui perubahan terjadi di desa-desa dekat pertambangan tersebut, sejak 2009. "Kami mulai merasakan gangguan pernapasan tidak lama setelah perusahaan tambang batu bara beroperasi, padahal sebelumnya udara bersih dan banyak pohon," kata dia lagi.
Namun, dampak paling signifikan baru terasa dalam lima tahun terakhir.
Berdasarkan pengamatan Sumhayana di lingkungan sekitar rumahnya, beberapa balita kerap menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) setiap bulan.
Menurut dia, dirinya rutin mengelilingi rumah warga yang masih ada bayi dan anak balita. Hampir semua balita setiap bulan terkena ISPA.
"Mereka kadang demam, sehingga harus rutin berobat ke puskesmas atau bidan." ujarnya prihatin.
Bising dan Ancaman Banjir
Selain masalah kesehatan, warga juga menghadapi ancaman lain. Truk-truk batu bara yang berlalu lalang siang malam menimbulkan kebisingan yang sangat mengganggu. Begitu juga dengan suara cerobong PLTU Keban Agung yang memekakan.
Kerusakan lingkungan juga tak terelakkan. Sungai menjadi tercemar, sumur warga rusak, lahan pertanian mengalami penurunan kesuburan, bahkan menjadi gersang.
"Tanah lahan kami rusak, udara pun tercemar," keluh Sumhayana.

Masalah bertambah parah saat musim hujan. Dalam tiga hingga empat tahun terakhir, rumah warga kerap kebanjiran akibat luapan sungai. "Dulu tidak pernah masuk rumah, sekarang air bisa masuk kapan saja, siang atau malam, tergantung volume hujan, karena sungai tidak lagi berfungsi menjadi penampungan sementara air," tuturnya.
Baca Juga:
- Sulit Mendapatkan Tiket KA Ekonomi, tapi Kursi Kereta Banyak Kosong?
- Wisata Alam ke Sekolah Gajah Lahat, Pengalaman Unik Berinteraksi dengan Hewan Darat Terbesar
- Yayasan Anak Padi: Melawan Panas, Menjaga Ruang Hidup dari Desa Muara Maung
Banjir tentunya sangat mengganggu aktivitas warga. Tidur terganggu, dapur terendam, kompor gas tidak bisa digunakan, hingga tanaman di lahan mati karena terendam air yang diduga mengandung bahan berbahaya dari hulu sungai, ladang tambang batu bara .
Sebagai bentuk kompensasi karena telah menyebabkan debu, perusahaan memberikan bantuan kepada rumah-rumah yang berada di pinggir jalan. Rumah pertama mendapat Rp200.000 per bulan, rumah kedua Rp150.000, dan rumah ketiga Rp100.000.
"Nominal itu sangat tidak sesuai dengan debu yang kami hirup, yang menyebabkan penyakit," kata Sumhayana dengan nada getir.(Mg/M.Ridho Akbar)

