Ragam
Dampak Buruk Mengintai Akibat Ekspor Pasir Laut, Simak Yuk dari Kerusakan Hutan Mangrove sampai dengan Nelayan Kehilangan Mata Pencaharian
JAKARTA - Kementerian Perdagangan (Kemendag) membuka ekspor pasir laut, ekspor yang selama 20 tahun kebelakang menjadi tindakan yang ilegal ini kembali dibuka.
Kebijakan ekspor pasir laut menjelang akhir rezim Joko Widodo menuai banyak kontroversi dari banyak kalangan, seperti Persaudaraan Tani-Nelayan Indonesia (Petani) mengecam dan meminta pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan ini. Kebijakan yang dinilai sangat merugikan dan memiliki dampak yang besar pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan kedaulatan maritim nasional.
Namun, Presiden Indonesia pada 17 September 2024 membantah mengenai kembali membuka ekspor pasir laut, Jokowi menegaskan bahwa yang diekspor bukanlah bukanlah pasir laut melainkan sedimen yang mengganggu jalannya kapal.
Menurutnya sedimen dan pasir merupakan dua hal yang berbeda, meskipun sedimen berbentuk seperti pasir tetapi tidak dapat dikatakan sebagai pasir. Sebelumnya, peraturan mengenai ekspor direvisi oleh pemerintah melalui revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) di bidang ekspor.
Baca Juga:
- Negara Kecil Ini Kumpulkan Bitcoin Senilai Rp11,9 Triliun, PDB Hanya Rp46 Triliun
- Komitmen Digital dan Kinerja Keuangan Solid, XL Axiata Raih Pengakuan di Fortune Indonesia 100 Gala 2024
- Yuk Intip Resep Kue Sarabi dengan Kuah Kinca
Melalui dua aturan yang diubah dan ditekankan oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan, yang pertama Permendag Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag nomor 22 tahun 2023 mengenai barang yang dilarang untuk diekspor.
Peraturan kedua yaitu Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 23 Tahun 2023 mengenai kebijakan dan pengaturan ekspor. Dengan direvisinya kedua Permendag ini, maka ekspor pasir laut resmi untuk dibuka dan dapat beroperasi.
Sejumlah Dampak Pengerukan Pasir Laut
1. Kerusakan ekosistem mangrove, lamun, dan karang
Sebelumnya pemerintah klaim akan pengisapan sedimen dan pasir laut bertujuan untuk mengurangi dampak negatif ekosistem di pesisir. Ekosistem yang mencakup mangrove, lamun, dan karang ini dapat rusak karena setelah pengerukan atau penghisapan mengakibatkan laut menjadi keruh.
Baca Juga:
- 30 Pelaku Usaha di Palembang Ikuti Bimtek Mengolah Hasil Laut dan Sungai
- Dinilai Menghambat UMKM, PP 28/2024 Diminta Agar Dicabut
- Turun dibandingkan 2024, Kementerian BUMN 2025 Dapat Anggaran Rp277,5 Miliar
Dari keruhnya air laut akan mengurangi masuknya sinar matahari serta menghambat proses fotosintesis di ekosistem mangrove dan lamun, selain itu ikan yang tinggal memenuhi karang tidak mendapatkan oksigen sehingga mengancam biota laut.
2. Abrasi dan tenggelamnya pulau kecil
Penyedotan pasir dan sedimen biasanya dilakukan di pesisir pulau-pulau kecil dengan pipa yang panjang, sehingga pasir yang tersangkut membuat benda di permukaan yang lebih tinggi terperosok ke dasar laut dan menyebabkan terkikisnya permukaan pantai.
3. Hilangnya mata pencaharian nelayan
Dengan keruhnya air laut, membuat menurunnya tangkapan ikan para nelayan. Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada poin pertama, dari kerusakan ekosistem laut pada bagian karang yang menjadi tempat tinggal bermacam biota laut. Tidak sedikit nelayan yang akhirnya mengubah mata pencaharian mereka menjadi pengeruk pasir karena dianggap jauh lebih menguntungkan.
Itulah dampak-dampak dari pengerukan pasir, pemerintah harus memiliki jalan keluar dari potensi kerusakan yang diakibatkan kebijakan mengenai ekspor pasir. Setidaknya melakukan uji publik dan mitigasi bencana yang akan terjadi, termasuk pada hilangnya mata pencaharian nelayan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Ilyas Maulana Firdaus pada 18 Sep 2024