Ragam
Di Kepung PLTU dan Tambang Batu Bara Lahan Warga Desa Muara Maung tak Produktif Lagi
APA mau dikata, warga Desa Muara Maung salah satu desa di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan kini kesulitan mencari nafkah dari sawah dan ladang mereka, padahal telah menjadi mata pencarian utama turun termurun sejak nenek moyang tetapi terkini sudah tidak produktif lagi.
Tidak produktif bukan karena warga desa malas tetapi karena sejak awal tahun 2000-an, hutan dan lahan di daerah tersebut sudah dibabat, berganti tambang-tambang batu bara milik empat perusahaan swasta nasional.
Semakin parah lagi, bukan hanya mengeksploitasi batu bara dari perut bumi tetapi dibangun juga dua Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang notabene menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya.
Pengoperasian PLTU Keban Agung di Desa Kebur dan PLTU Banjarsari di Desa Gunung Kembang atau tetangga Desa Muara Maung sangat berdampak pada kualitas udara di wilayah tersebut, semakin buruk karena cerobong asap yang tak pernah mati.
- Menteri Airlangga akan Wakili Presiden Jokowi Buka Puncak IDC AMSI 2021
- Pemkot Larang ASN Mudik dan Objek Wisata Tutup Selama Nataru
- Realisasi Insentif Pajak Capai Rp62,47 Triliun dari Dana PEN
Bahkan sekelompok pemuda dari Yayasan Anak Padi menemukan pembuangan sisa pembakaran pun tidak diproses terlebih dahulu tetapi langsung dibuang di lokasi lubang-lubang bekas pengerukan batu bara yang berdekatan dengan anak sungai.
Syahwan salah seorang warga Desa Muara Maung mengungkapkan bersama warga mereka sudah berulang kali meminta empat perusahaan batu bara dan PLTU untuk memberikan pengantian yang sepadan akibat kegiatan usaha mereka yang berdampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat.
Sejak tahun 2010, kata Syahwan Sungai Kungkilan yang jadi sumber utama memenuhi kebutuhan air baik untuk kehidupan sehari-hari maupun mengairi sawah tidak lagi bisa digunakan karena tercemar limbah batu bara.
Bahkan pada 27-28 Desember 2019 banjir lumpur menjadi bencana yang hingga kini tidak selesai karena masyarakat telah berulang kali menuntut pengantian atas kerugian warga yang ladang, sawah dan rumahnya terendam air bercampur lumpur sampai sekarang tidak dipenuhi empat perusahaan yang mengeruk batu bara di wilayah tersebut.
Hal senada diungkapkan Rusdi, ladang yang dulunya mereka tanami bermacam buah, seperti pisang dan rambutan kini kondisinya tandus akibat limbah batu bara dan pembuangan sisa pembakaran batu bara baik yang berupa asap maupun sisa pembakaran.
Tanaman buah-buahan yang dulu sebelum beroperasinya perusahaan tambang batu bara dan PLTU sangat produktif, tak heran setiap musim panen buah desa mereka didatangi pedagang dari berbagai daerah untuk membeli hasil panen.
Namun, kini banyak tanaman pisang yang mati begitu juga dengan tanaman duku maupun rambutan yang biasanya jadi tambahan pendapatan tahunan warga desa.
Lalu ada, Amat Supri (60), pemilik ladang di dekat PLTU batu bara mengatakan dulu sebelum beroperasi tambang dan PLTU hasil panen bisa mencukup kebutuhan sehari-hari bahkan lebih, dalam satu kali tanam padi hasil panen mencapai 700 kg beras per hektare.
Kondisi tersebut kini, panen padi paling banyak dapat 300 kilogram dan itupun kalau kondisi cuaca bersahabat untuk petani sejak musim tanam sampai tiba waktunya panen, kata dia.
Penurunan produktivitas tanaman padi tentunya sangat berpengaruh pada kondisi lahan atau tanah yang kini cenderung kering dan sulit mendapatkan air akibat Sungai Kungkilan tak lagi bisa digunakan untuk pengairan sawah karena bercampur limbah.
- Kendalikan Perubahan Iklim, Jokowi minta PLN dan Pertamina Siapkan Grand Design Transisi Energi
- Kuartal III-2021 Waskita Karya Berbalik Laba Rp252,7 Miliar, Ditopang Pendapatan Lain-Lain
- Gelar Tinc Batch 7, Telkomsel Dorong Kolaborasi Bersama Startup Inovator Lokal Hadirkan Solusi Digital yang Berdampak
Karena itu, sebagai petani turun temurun kini semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari akibatnya tidak adalagi anak-anak yang melanjutkan bertani. Mereka ke kota mencari nafkah dengan menjadi buruh, tutur dia.
Berkebun, tambah Amat adalah warisan nenek moyang, dari kebun dan sawahlah anak-anak bisa sekolah dan kini semua itu tinggal kenangan karena ladang dan sawah tidak lagi bisa diharapkan akibat eksploitasi batu bara yang terus menerus.
Masalah lainnya, Syahwan menambahkan kini warga Desa Muara Maung gampang sekali mengalami sesak napas dan gangguan pernapasan lainnya, terutama batuk.
Sepanjang tahun penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) jumlahnya terus bertambah. Tak pandang usia anak-anak maupun orang tua tercatat pernah menderita ISPA.
PLTU Pencetus Pemanasan Global
Bagi mereka yang tinggal tak jauh dari tambang batu bara dan PLTU, merasakan dampak langsung seperti yang diungkapkan warga Desa Muara Maung.
Namun, sesungguhnya bukan hanya kehidupan masyarakat terdekat tambang batu bara atau PLTU yang terdampak aktivitas tersebut. Masyarakat dunia pun turut merasakan karena aktivitas penambangan batu bara dan operasional PLTU menjadi pencetus utama pemanasan global.
Akademisi Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya Prof DR Iskhaq Iskandar mengungkapkan karbon dioksida alias CO2 menjadi salah satu pencetus utama pemanasan global yang kini menjadi masalah dunia.
"Aktivitas PLTU menjadi salah satu pencetus utama terjadinya pemanasan global," kata dia dalam makalah yang disampaikan pada pertemuan Workshop Jurnalisme Sains Perubahan Iklim yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum lama ini.
Di sisi lain, meningkatnya aktivitas manusia yang menghasilkan emisi gas buang juga menyumbang terjadinya pemanasan global, seperti konsentrasi rumah kaca dan penggunaan pendingin maupun peralatan lainnya yang menimbulkan efek pemanasan global.
- Banyuasin Bentuk Satgas Pengamanan Pilkades, Antisipasi Politik Uang
- Road To IDC 2021: AMSI Jabar "Percepatan Ekonomi Desa dengan Digitalisasi"
- LBH Jakarta: Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Bagus dan Detil
Buktinya, kini terjadi kenaikan temperature secara global, kenaikan muka air laut. pemanasan laut dan menyusutnya lapisan es.
Kemudian diinformasikan juga kalau kini sudah terjadi pengurangan gletser atau endapan es yang besar dan tebal.
Bukti lainnya, tambah Prof Iskhaq adalah terjadinya pengasaman laut dan fonomena iklim ekstrem.
Pergeseran iklim ekstrem ini terjadi dengan naiknya suhu yang berkisar 1.18C. Peningkatan suhu terjadi karena dorogan dari meningkatnya emisi CO2 dan rumah kaca.
Hasil observasi menyebutkan setidaknya dalam 2000 tahun terakhir, saat ini kondisi pemanasan global paling tinggi pengaruhnya terhadap kehidupan.
Dimana peningkatan sebagian besar didorong oleh peningkatan emisi CO2 ke atmosfer dan aktivitas
manusia lainnya yang menghasilkan emisi gas buang pencetus pemanasan global, tambaj dia.
Kembali ke Alam
Guru Besar Fisika Universitas Sriwijaya mengatakan memang tidak mudah untuk mengembalikan bumi menjadi bumi yang bebas dari polusi dan emisi gas buang akibat aktivitas manusia. Namun, tentu ada solusi untuk mengurangi pemanasan global. Ayo kembali ke alam, ajak dia.
Bagaimana caranya kembali ke alam, salah satunya memperhatikan ada yang ada di piring makan kita.
Lalu memperhatikan serta berkontribusi dalam menjaga lingkungan sekitar.
Menyebarluaskan program kembali ke alam dengan melibatkan anak-anak dan orang dewasa lainnya untuk bijak dalam memilah dan memilih produk yang dibutuhkan dalam kehidupan.
Tak lupa bagi pemangku kebijakan dalam hal ini pemerintah, membatasi atau bahkan menolak penggunaan energi fosil hendaknya menjadi agenda strategis yang mesti diimplementasikan.
Gantikan energi berbahan bakar fosil dengan energi baru terbarukan, seperti dari matahari dan angin juga air.(Nila Ertina)