Dorong Penerapan ESG di Industri Barang Konsumen, Gen-Z dan Generasi Milenial Lakukan ini

Dorong Penerapan ESG di Industri Barang Konsumen, Gen-Z dan Generasi Milenial Lakukan ini (TrenAsia/Panji Asmoro)

JAKARTA – Konsumen dari gen-z (kelahiran 1997-2012) dan generasi milenial (kelahiran 1981-1996) telah mendorong penerapan prinsip keberlanjutan yang berkaitan dengan lingkungan (environmental), sosial (social), dan tata kelola (governance) atau ESG di industri barang konsumen yang bergerak cepat atau fast moving consumer goods (FMCG).

Hal tersebut disampaikan oleh Konsultan Merek, Kategori, Pemasaran, dan Penjualan FMCG asal Australia, Tim Bowen, yang mengungkapkan pandangannya melalui blog miliknya, bowenconsultingaus.com.

Dalam blog itu, Bowen mengatakan bahwa selama 20 tahun terakhir, permintaan konsumen akan produk dan layanan berbasis ESG terus mengalami peningkatan. 

“Penelitian menunjukkan bahwa generasi milenial dan gen-z menuntut lebih banyak produk dan layanan ESG dibandingkan generasi sebelumnya. Ketika kekuatan dan pengaruh mereka telah berkembang, produsen dan ritel harus bisa mengembangkan penawaran mereka,” ujar Bowen dikutip dari blog miliknya, Senin, 5 September 2022.

Baca Juga:

Bowen pun menyampaikan bahwa kedua generasi tersebut memiliki kekuatan untuk mendorong perubahan nyata dalam aspek sosial dan bisnis yang berkembang di masyarakat. 

Teknologi komunikasi yang saat ini didominasi penggunaannya oleh kedua generasi pun membantu mereka untuk sampai kepada pemahaman akan konsep dan penerapan bisnis yang berkaitan dengan ESG. 

Menurut Bowen, pada awalnya ESG disemarakkan di ranah pasar keuangan yang pada gilirannya menghasilkan indeks keberlanjutan yang tidak berhubungan dengan kondisi keuangan.

Namun, saat ini sudah ada banyak penelitian yang menyoroti penerapan ESG dalam sebuah bisnis FMCG yang dapat berkorelasi dengan pertumbuhan keuangan yang lebih baik.

Baca Juga:

Disampaikan oleh Bowen, ada contoh-contoh sederhana untuk penerapan prinsip ESG dalam bisnis FMCG. 

Untuk aspek lingkungan, produsen atau ritel bisa menghapus penggunaan kantong belanja sekali pakai. Kemudian, untuk aspek sosial, pelaku industri FMCG bisa memperbanyak ragam ketenagakerjaan, misalnya mempekerjakan pegawai yang memiliki keterbatasan fisik.

Untuk aspek tata kelolanya, pelaku industri bisa membuat sistem yang ketat untuk mencegah segala bentuk kecurangan seperti misalnya korupsi.

Penelitian lain pun melihat bagaimana permintaan akan produk berbasis ESG kini menjadi tren yang mendunia. Misalnya, penelitian dari PriceWaterhouseCoopers (PWC) yang menemukan 83% konsumen menyetujui bahwa setiap perusahaan FMCG harus menerapkan prinsip ESG dalam menjalankan bisnisnya. 

“Krisis COVID-19 secara nyata mengubah perilaku konsumen dan menumbuhkan jumlah konsumen yang bersedia membayar lebih untuk produk dan merek yang lebih sehat, lebih aman, serta lebih sadar lingkungan dan sosial,” ungkap Bowen. 

Bahkan, menurut penelitian PWC Consumer Intelligence Series yang dirilis pada 2 Juni 2021, pelaku di industri FMCG yang tidak menerapkan prinsip ESG berpotensi kehilangan pangsa pasar seperti yang diungkapkan oleh 76% responden. 

Oleh karena itu, inisiatif penerapan ESG perlu menjadi bagian dari strategi industri FMCG untuk menjaga pangsa pasar. 

Pada gilirannya, inisiatif untuk penerapan prinsip ESG di ranah FMCG dapat mendorong para pemasok untuk mengubah penawaran mereka. Dengan begitu, penerapan prinsip ESG dapat diimplementasikan di rantai pasokan dari hulu hingga hilir.

Meski demikian, Bowen mengingatkan bahwa ada istilah yang disebut greenwashing. Greenwashing ini adalah perilaku menyesatkan konsumen untuk percaya bahwa produk yang mereka beli bersifat ramah lingkungan. 

Baca Juga:

Menurut Bowen, hal tersebut bisa terjadi karena masih kurangnya kekuatan regulasi dari pemerintah untuk mengelola bisnis-bisnis yang dituntut untuk mencanangkan ESG. 

Ia juga mengemukakan tantangan-tantangan yang akan dihadapi industri FMCG terkait tren ESG ini. Misalnya, terkait dengan lingkungan atau environmental, produsen FMCG mungkin harus menaikkan harga jual untuk menutupi biaya produksi tambahan yang muncul karena pemanfaatan konsep daur ulang yang lebih mahal. 

Kemudian, terkait dengan aspek sosial, bisa jadi penjual di tingkat ritel harus berhenti menjual produk yang berdampak negatif bagi masyarakat, seperti rokok, alkohol, gula, dan sebagainya.

Padahal, produk-produk yang bisa berdampak negatif untuk kesehatan masyarakat itu pada umumnya memiliki banyak peminat dan menghasilkan penjualan yang besar. 

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 05 Sep 2022 

Bagikan

Related Stories