IHSG Merosot, Terdampak Suku Bunga the Fed hingga Lockdown China ini Penjelasannya

Karyawan melintas di depan layar pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta, Senin, 9 Mei 2022. (Ismail Pohan/TrenAsia)

JAKARTA -Pascalibur lebaran,  Indeks harga saham gabungan (IHSG) masih terus mengalami penurunan. Meski sempat bergerak membaik, indeks komposit kembali terkoreksi hingga 3,17% ke level 6.599 pada akhir sesi perdagangan Kamis, 12 Mei 2022.

Direktur PT Anugerah Investama Hans Kwee mengungkapkan, selain karena momentum libur Lebaran, pelemahan IHSG disebabkan oleh empat faktor utama yang menjadi sentimen negatif dalam pergerakan indeks awal Mei ini.

"Selain karena kita kan libur agak panjang ya, secara umum pasar merasa khawatir dengan adanya minimal empat faktor utama yang menyebabkan turunnya IHSG," Kata Hans kepada TrenAsia.com, Kamis, 12 Mei 2022.

Baca Juga:

Adapun keempat faktor yang menyebabkan tekanan terhadap pergerakan IHSG di antaranya:

1. Kenaikan Suku Bunga  the Fed

Hans menjelaskan Bank Sentral Amerika Serikat (the Federal Reserve/the Fed) kemungkinan bakal menaikkan suku bunga acuan sebesar 50bps pada bulan Juni dan Juli 2022, dan kemungkinan kembali sebanyak 25bps pada akhir tahun. Kondisi ini disinyalir akan diikuti oleh banyak bank sentral negara lain karena tingginya inflasi di berbagai negara.

"Jadi suku bunga the Fed pada akhir tahun ini berpotensi menyentuh angka 2,25 persen, sehingga menimbulkan kekhawatiran pada pelaku pasar terkait agresivitas tersebut," ujar Hans.

2. Normalisasi Neraca the Fed

Dengan adanya pengurangan necara the Fed yang tadinya 8,9 triliun, diperkirakan pengurangan tersebut akan mulai agresif pada 16 bulan ke depan, dan the Fed telah memberikan indikasi pengurangan sebesar US$47,5 miliar pada Juni-Agustus tahun ini, yang mana per September pengurangan neraca akan mencapai US$90 miliar per bulan.

Baca Juga:

Menurut Hans, pengurangan neraca ini akan berdampak pada semakin perkasanya nilai dolar AS. Kemudian adanya kebijakan pengurangan neraca juga dinilai berdampak menimbulkan stagflasi yang terlihat dari data inflasi AS yang berada di atas ekspektasi pelaku pasar di 8,1% meskipun dibawah 8,5% yakni sebesar 8,3%. Sehingga angka tersebut masih menandakan inflasi AS yang tinggi.

3. Konflik Rusia dan Ukraina

Hans menyampaikan, ketegangan yang masih melanda kedua negara tersebut diprediksi masih terus berlanjut dalam waktu yang lama. Ini akan berakibat pada penurunan ekonomi yang berimbas pada naiknya inflasi hingga resesi global karena adanya sanksi yang diberikan oleh Barat kepada Rusia.

"Jadi kalau Eropa berpikir untuk memberikan sanksi ke Rusia jika Rusia memberikan sanksi, ya ekonomi global cenderung melambat, dan berdampak pada adanya stagflasi di Asia yang sangat mungkin terjadi di Asia," imbuhnya.

4. Lockdown Ketat Tiongkok (China)

Lockdown yang terjadi di Tiongkok berpotensi mengganggu rantai pasokan, yang berdampak pada minimnya permintaan komoditas hingga gangguan suply chain.

Secara garis besar, perang rusia dan lockdown China berdampak pada turunnya pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada turunnya laba perusahaan. Sementara, kebijakan the Fed berdampak pada naiknya suku bunga. Sehingga valuasi perusahaan menjadi semakin mahal, dan berdampak pada terkoreksinya IHSG secara cukup lama dan mendalam.

Meskipun terkoreksi cukup dalam, Hans menjelaskan bahwa sejatinya indeks masih memiliki dorongan menguat dari kekuatan komoditas dalam negeri. Selain itu, perekonomian Indonesia yang masih terbilang solid, dan fundamental ekonomi yang terbilang lebih kuat dibandingkan dengan negara berkembang lainnya.

Terakhir, Hans memilih saham-saham big caps dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai golongan saham-saham yang patut dicermati dengan tren IHSG yang masih menurun saat ini.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Merina pada 13 May 2022 

Bagikan

Related Stories