Jalan Panjang Dekarbonisasi Industri Pupuk

Fauziah dan keluarga bersantai bersama tetangganya pada Selasa sore (25/2/2025), rumah mereka tepat berada di seberang Pabrik Pupuk Sriwidjaja Palembang (Foto WongKito.co/Yulia Savitri)

Oleh Nila Ertina FM dan Yulia Savitri

Rumah Fauziah (35), warga kampung nelayan di Kelurahan 1 Ilir, Palembang, berdiri di tepi Sungai Musi, tepat di seberang kompleks PT Pupuk Sriwidjaja Palembang (Pusri). Setiap hari, pandangannya tak lepas dari bangunan-bangunan pabrik yang menjulang di seberang.

Menjelang sore, asap tebal mengepul dari cerobong, disusul bau menyengat yang mengganggu pernapasan. “Baunya sangat mengganggu dan juga kadang kala menyebabkan kesusahan bernapas,” kata Fauziah, Selasa, 25 Februari 2025.

Keluhan serupa datang dari Fitri (28), warga Kelurahan Sungai Buah, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang. Ia mulai merasakannya bahkan sejak keluarganya pindah ke kawasan zona satu pabrik pada 1980 atau sekitar empat dekade lalu. Zona satu pabrik merujuk pada area terdekat dengan fasilitas industri dan yang paling terdampak oleh aktivitas produksi, baik dari segi lingkungan, kesehatan, maupun sosial-ekonomi. “Sering kami tercium bau pesing, bahkan menembus hingga ke dalam kamar, dan semakin menyengat setelah hujan,” kata Fitri, dijumpai Rabu, 19 Februari 2025.

Fitri, yang sehari-hari menjaga warung di area Situs Candi Panembahan Kompleks Pemakaman Ki Gede Ing Suro, tepat di belakang pabrik Pusri, mengaku tak tahu-menahu soal penyebab bau yang menyesakkan itu. Ia hanya berharap bisa menjalani kehidupan yang lebih sehat tanpa pencemaran udara dari pabrik.

Selama ini, kata Fitri, Pusri hanya pernah memberikan bantuan berupa posko pelayanan kesehatan gratis yang terpusat di Kelurahan 1 Ilir. Kegiatan tersebut dikoordinasikan oleh Rukun Tetangga (RT) setempat.

Baca Juga:

Abu Bakar, Ketua RT 12 Kelurahan 1 Ilir, membenarkan bahwa Pusri pernah membuka posko kesehatan. Tepatnya pada 2018, setelah ratusan warga terpapar gas amonia yang berasal dari kebocoran di pabrik Pusri. Data yang dikumpulkan oleh jurnalis Kompas menunjukkan sekitar 180 warga RT 12 terdampak bocornya gas amonia. 

“Saat itu, sebanyak 27 orang dilarikan ke rumah sakit, karena muntah-muntah seperti keracunan bahkan ada yang pingsan, ” ujar Abu Bakar mengenang tragedi keracunan massal gas amonia tersebut, Senin, 10 Maret 2025.

Sebuah perahu kayu melintas di Sungai Musi, tepat di depan pabrik Pusri. ( Foto Yulia Savitri)

Meski kejadian itu telah berlalu, tapi data Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Sabokingking, Kelurahan Sungai Buah, Palembang, menunjukkan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) tetap menjadi penyakit yang paling banyak dikeluhkan masyarakat setelah hipertensi. Sepanjang 2024, tercatat 3.480 pasien ISPA berobat ke puskesmas ini. Jumlah tersebut setara dengan 23 persen dari total 45 ribu penduduk Kelurahan Sungai Buah dan sekitarnya.

“Keluhan masyarakat akibat pencemaran industri umumnya terkait pernapasan dan kulit,” kata Kepala Puskesmas Sabokingking, Kiki Ayu, Kamis, 20 Februari 2025.

Jumlah penyakit ISPA yang meningkat tidak hanya tercatat di Puskesmas di daerah zona satu, tapi juga di Puskesmas Merdeka. Pusat kesehatan yang terletak di pusat kota dan berjarak lebih dari 10 kilometer dari kompleks pabrik pupuk mencatat 5.209 pasien ISPA sepanjang 2024. Dari jumlah itu, 2.530 pasien berusia 9 hingga 60 tahun. 

***

Kebocoran gas amonia tak hanya dialami warga di sekitar Pusri, tetapi juga masyarakat yang tinggal di zona satu pabrik PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) di Kabupaten Aceh Utara.

“Awal 2025, tepatnya Januari, sepuluh warga desa kami terpapar gas amonia hingga dilarikan ke rumah sakit,” kata Antarullah, pemuda Desa Tambon Baroh, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, kepada WongKito, Kamis malam, 20 Februari 2025.

Menurut laporan Kompas, sepuluh warga Desa Tambon Baroh dilarikan ke rumah sakit PT PIM pada 6 Januari 2025 lalu setelah mengalami mual dan muntah. 

Peristiwa lain yang membekas di benak Anta dan warga Tambon Baroh pada saat pandemi COVID-19 lalu, ketika lebih dari 100 orang warga desa mengalami sesak napas, mual, dan pusing setelah terpapar gas amonia dari pabrik PIM. 

“Saat itu, sekitar pukul 14.00 WIB, warga, terutama perempuan dan anak-anak, berhamburan ke jalan mencari udara segar. Mereka keracunan gas amonia,” kata Anta.

Sejumlah pemuda desa kemudian membentuk posko darurat untuk mengevakuasi korban ke rumah sakit dan fasilitas kesehatan terdekat.

Ketika itu, juru bicara PIM Dedi Ikhsan menjelaskan kepada Radio KBR Jakarta bahwa kejadian tersebut berawal saat start-up (penyalaan) operasional pabrik urea."Ketika dinyalakan control valve dan setting valve mesin bermasalah dan tak terkendali dengan maksimal sehingga menyebabkan adanya tekanan gas dan amonia dan menyembur ke perkampungan warga," kata dia. 

Direktur LSM Sahara, Dahlan M. Isa, mengatakan kehadiran PT PIM membawa dampak ekonomi dan lingkungan bagi desa-desa di Aceh Utara dan Lhokseumawe tersebut. Terutama Desa Tambon Baroh, Tambon Tunong, dan Keude Krueng Geukueh di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, serta Desa Blang Naleung Mameh di Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe, yang berada di area zona satu pabrik PIM. 

Menurut Dahlan, sejak PT PIM beroperasi pada 1982, kehidupan ekonomi masyarakat desa di Aceh Utara berubah drastis. Kehadiran industri skala nasional mendorong sebagian warga beralih dari petani dan pelaut menjadi pedagang atau buruh di perusahaan. 

Sementara itu, dampak lingkungan paling terasa adalah dari penggunaan amonia—gas tak berwarna yang terdiri dari nitrogen dan hidrogen (NH3)—yang telah dikonfirmasi dari beberapa insiden keracunan massal di area pemukiman sekitar pabrik pupuk PT PIM. “Bahkan, saking berbahayanya, warga yang menghirup udara bercampur amonia bisa pingsan,” kata Dahlan.

Ia mengingat kejadian pada 2003, sebelum tsunami melanda Aceh, ketika 24 warga desa di zona satu pabrik pupuk itu jatuh pingsan akibat kebocoran gas amonia. Insiden serupa bisa terjadi hingga tiga kali dalam sebulan, dengan gejala seperti pusing, mual, dan kesulitan bernapas.

Rahmat Mirza, pemuda Desa Tambon Tunong mengatakan belum ada solusi konkret atas pencemaran udara akibat kebocoran gas amonia. “Hingga kini, tak ada solusi, meskipun sudah puluhan, bahkan ratusan kali, warga jatuh sakit akibat kebocoran gas amonia,” ujar Rahmat kepada WongKito. 

Asap mengepul dari pabrik PIM II di Aceh Utara, Kamis (20/2/2025). Foto Nila Ertina FM

Menagih Komitmen Teknologi Hijau Pupuk Indonesia 

Rangkaian insiden keracunan massal amonia di sekitar pabrik pupuk mendorong banyak pihak menuntut PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) dan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) untuk berbenah. Salah satu upaya yang diwacanakan adalah pengembangan amonia hijau, yang diharapkan dapat mengurangi dampak pencemaran lingkungan. 

Rencana transisi energi ini bermula dari keterlibatan PT Pupuk Indonesia (Persero)—perusahaan induk Pusri dan PIM—dalam Conference of the Parties (COP) ke-29 UN Climate Change Conference di Azerbaijan, November 2024 lalu. Dalam forum tersebut, PT Pupuk Indonesia menegaskan komitmennya terhadap transisi energi hijau melalui proyek Green Ammonia Initiative from Aceh (GAIA), yang digadang-gadang menjadi fasilitas hybrid green ammonia pertama di dunia. 

Direktur Utama Pupuk Indonesia, Rahmad Pribadi, mengatakan proyek ini akan diterapkan di PIM, Aceh, dengan pabrik yang dirancang menghasilkan amonia hijau dari hidrogen yang diperoleh melalui elektrolisis air, dengan target produksi 1.000 metrik ton per hari (MTPD) grey ammonia dan 100 MTPD green ammonia. Grey ammonia berasal dari ekstraksi gas alam, sedangkan green ammonia dihasilkan melalui proses pemecahan senyawa air (elektrolisis) dengan menggunakan energi terbarukan. Proses produksi grey ammonia masih menghasilkan emisi karbon masih tinggi bila dibandingkan dengan green ammonia. 

Namun, realisasi proyek ini masih abu-abu. Anta, seorang pegiat lingkungan yang menghadiri pertemuan dengan manajemen PT PIM pada Desember 2024, mengungkapkan bahwa perusahaan membenarkan rencana tersebut tetapi belum dapat memastikan kapan proyek akan dimulai. “Manajemen PT PIM mengakui rencana ini ada, tapi mereka sendiri belum tahu kapan bisa direalisasikan,” ujar Anta. Sumber WongKito yang tak mau disebutkan namanya di internal PT PIM membenarkan pernyataan Anta, bahwa belum ada persiapan konkret terkait transisi menuju energi hijau di industri pupuk di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, hingga hari ini. 

Warga beraktivitas di kawasan zona satu PT PIM di Aceh Utara, Kamis (20/2/2025). Foto Nila Ertina FM

Sebagian besar warga yang kami wawancarai di sekitar pabrik, termasuk petugas kesehatan, juga mengaku belum mendapat sosialisasi mengenai rencana ini. Mereka belum tahu bagaimana skema implementasi amonia hijau akan berdampak pada lingkungan sekitar atau apakah proyek ini benar-benar bisa mengurangi pencemaran udara di daerah mereka.

Di Palembang, perkembangan proyek amonia hijau di Pusri juga masih samar. Hingga Maret 2025, detail persiapan Pusri untuk beralih ke amonia hijau belum terbuka ke publik. Saat ini, Pusri masih beroperasi sebagai salah satu produsen pupuk terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi urea 2,6 juta ton per tahun, amonia 1,8 juta ton per tahun, dan NPK 300 ribu ton per tahun. 

Meski sempat diragukan, Vice President Komunikasi Korporat Pupuk Indonesia, Cindy S. Galuhchandri, meyakinkan bahwa perusahaan tetap berkomitmen untuk mengurangi emisi dengan mengadopsi pendekatan hybrid dalam produksi amonia, dengan tetap mempertahankan pabrik konvensional yang ada. “Kami berkomitmen untuk terus mendukung sosialisasi dan edukasi mengenai manfaat clean ammonia, baik di tingkat industri maupun masyarakat luas,” ujar Cindy. 

Secara keseluruhan, Pupuk Indonesia menargetkan kapasitas clean ammonia—gabungan dari blue ammonia dan green ammonia—mencapai 12,19 juta ton per tahun pada 2050. PT Pupuk Indonesia menggandeng dua perusahaan asal Jepang, Toyo Engineering Corporation dan ITOCHU Corporation, untuk proyek ini. Selain itu, perusahaan juga menggandeng PLN Indonesia Power dan IHI Corporation dalam studi dan uji coba co-firing ammonia di PLTU Labuan, Banten. 

Sementara itu, Senior Vice President Teknologi Pusri, Alfa Widyawan, mengatakan produksi amonia hijau bergantung pada ketersediaan energi terbarukan dalam skala besar. “Apakah ini bisa tercapai atau tidak akan sangat tergantung pada akses perusahaan terhadap ratusan megawatt energi terbarukan untuk mengoperasikan pabrik. Sumber dan pasokan listrik hijau masih menjadi tantangan utama,” ujar Alfa, dikutip dari situs Indonesia.un.org.

Kantor Berita Antara melaporkan bahwa Pusri mulai meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 110 kilowatt-volt (Kwv). 

Seperti dikutip dari Antara, Koordinator Proyek Dekarbonisasi Industri Institute for Essential Services Reform (IESR) Faricha Hidayati mengatakan, penyediaan listrik bersih yang dilakukan PT Pusri merupakan kunci dalam penurunan emisi sektor industri. Tanpa listrik bebas emisi, bahkan dengan teknologi yang termutakhir pun, sulit rasanya untuk men-dekarbonisasi sektor industri. Sebagai contoh, katanya, teknologi amonia hijau, tidak akan lagi menjadi "hijau" apabila listrik yang memasoknya berasal dari pembakaran batu bara. 

Namun saat dikonfirmasi oleh Wong Kito, listrik tersebut ternyata baru digunakan sebatas untuk penerangan kantor, bukan operasional atau produksi. 

Dekarbonisasi Industri Tak Bisa Ditunda

Sektor industri manufaktur menjadi penyumbang emisi terbesar di Indonesia. Peneliti Aksi Ekologi Emansipasi Rakyat (AEER), Timotius Rafael memaparkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, sektor ini menyumbang lebih dari 340 juta ton CO2e atau 33 persen dari total emisi nasional yang mencapai 1.088 juta ton CO₂e pada 2022. Sebagai perbandingan, total emisi yang dihasilkan sebanding dengan konsumsi energi tahunan 45 juta rumah tangga atau 79,3 juta mobil berbahan bakar bensin yang dikendarai selama satu tahun. Emisi industri manufaktur ini berasal dari penggunaan energi, proses industri, dan limbah industri.

Selain faktor lingkungan, desakan percepatan transisi energi juga datang dari aspek ekonomi. Pasar global kini mulai mensyaratkan produk berbasis ramah lingkungan, sehingga industri Indonesia harus beradaptasi agar tetap kompetitif. 

Pemerintah, melalui Kementerian Perindustrian, menanggapi dengan mempercepat finalisasi peta jalan dekarbonisasi untuk sembilan sektor industri: semen, tekstil, besi dan baja, bubur kertas, kertas, pupuk, keramik dan kaca, kimia, alat angkut, serta makanan dan minuman. Salah satu sektor yang mendapat perhatian khusus adalah industri pupuk.  Namun, hingga kini peta jalan tersebut belum rampung juga.

Sejumlah kendaraan melintas di depan pusat perkantoran dan pabrik PT PIM di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. (Foto Nila Ertina FM)

Sebagai holding dari lima pabrik pupuk—PT Pupuk Sriwidjaja, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, dan PT Pupuk Kaltim—PT Pupuk Indonesia memiliki peran besar untuk mengurangi emisi. Ini semakin relevan mengingat produksi pupuk nasional yang terus meningkat, dengan PT Pupuk Indonesia menyumbang lebih dari 95% dari total produksi. Dalam dua tahun terakhir, 2023 dan 2024, ekspor pupuk ke sejumlah negara, seperti Jepang, India, dan Australia, terus meningkat. Pada periode Januari-April 2024, ekspor pupuk mencapai 519,71 ribu ton, naik 40,46 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, yang sebesar 370,02 ribu ton.

Dengan pesatnya pertumbuhan industri ini, pengembangan industri pupuk hijau semestinya mulai berjalan secara efektif. Berdasarkan peta jalan 2021-2025, industri pupuk seharusnya sudah berada pada tahap efisiensi energi melalui pengembangan produk turunan CO₂, seperti ad-blue atau dikenal sebagai Diesel Exhaust Fluid (DEF) untuk membantu mengurangi emisi kendaraan diesel perusahaan. Kemudian, pada 2025-2030, penggunaan energi hijau sebagai bahan bakar harus mulai diterapkan. Selanjutnya, pada 2030-2040, optimalisasi amonia hijau menjadi target utama, sebelum akhirnya pada 2040-2050 terjadi transisi penuh dari energi fosil ke amonia hijau, dengan target penyimpanan CO₂ hingga 5 juta ton per tahun.

Kabar terbaru, PT Pupuk Indonesia telah meluncurkan peta jalan dekarbonisasi sejak 2021 untuk mengurangi emisi industri pupuk nasional, salah satunya dengan menggunakan teknologi pupuk hijau atau green ammonia. 

Menanggapi peta jalan dekarbonisasi industri pupuk, Peneliti AEER, Timotius, mengapresiasi langkah PT Pupuk Indonesia dalam mengurangi emisi. Menurutnya, perusahaan telah menunjukkan komitmen melalui peta jalan dan kerja sama dengan Jepang dalam pengembangan green ammonia sebagai teknologi bersih masa depan.

Namun, Timo mempertanyakan keseriusan perusahaan dalam menjalankan rencana tersebut. Ia menyoroti temuan bahwa hingga kini program pengembangan green ammonia belum dibicarakan secara konkret maupun mulai berjalan. “Ini menjadi tanda tanya besar terhadap komitmen perusahaan dalam mengurangi emisi dalam waktu dekat,” ujarnya, Kamis, 13 Maret 2025.

Padahal, dalam laporan perusahaan, penggunaan green ammonia di Pupuk Iskandar Muda (PIM) ditargetkan berkembang pada 2025-2030. Selain itu, perjanjian dengan Jepang melalui Asian Zero Emission Community (AZEC) seharusnya bisa mempercepat pengembangannya.

Timo mendesak pemerintah segera menerbitkan peta jalan dekarbonisasi industri pupuk melalui Kementerian Perindustrian. Menurutnya, roadmap tersebut tidak boleh sekadar janji manis bagi perusahaan, tetapi harus menjadi komitmen nyata yang melibatkan pemerintah dan industri.

Ia juga menekankan bahwa peta jalan itu perlu ditingkatkan menjadi peraturan pemerintah agar memiliki dasar hukum yang kuat dan mengikat perusahaan dalam menjalankan dekarbonisasi. “Krisis iklim semakin nyata, sementara industri pupuk yang bergantung pada gas alam berkontribusi besar terhadap emisi. Proses sintesis pupuk menghasilkan nitrous oxide (N₂O), gas rumah kaca yang dampaknya 250 kali lebih besar dibandingkan CO₂ dalam pemanasan global,” tegasnya.

**

Kunjungan kami telah usai. Sore itu, kami berpamitan pada Fauziah. Di akhir perbincangan, Fauziah mengungkapkan keinginan besarnya. Ia dan keluarga, juga warga yang bermukim di zona satu bisa bebas menghirup udara segar suatu saat. “Tidak seperti sekarang, kami hampir setiap hari menghisap udara yang tercemar dari kebocoran amonia PT Pusri,” kata dia.

“Jika memang ada upaya penggantian energi yang ramah lingkungan, asap yang keluar dari cerobong-cerobong pabrik pupuk Pusri diharapkan tidak lagi menyebarkan racun-racun yang merusak pernapasan kami,” kata dia lagi sembari memandang cerobong asap yang tampak mengeluarkan asap berwarna kelabu dan tebal.

Hal senada diungkapkan Fitri yang berharap agar dapat menjalani hidup lebih sehat dan  normal, tidak ada lagi anak-anak yang menderita ISPA berkepanjangan. “Anak-anak saya masih kecil dan menjadi sangat rentan menderita ISPA karena paparan bau menyengat dari pabrik,” kata dia.

Meskipun baru mendengar rencana pemerintah mengubah industri pupuk menjadi hijau, tapi informasi tersebut menjadi harapan baru di tengah beragam permasalahan yang dihadapi warga. “Kami  berharap program pengurangan emisi bukan sekedar wacana, karena kami berhak untuk udara bersih dan lingkungan yang sehat,” ujar dia.

Di Aceh Utara, Rahmat Mirza menegaskan sejak lama warga empat desa di zona satu pabrik PIM telah melakukan berbagai cara untuk meng-advokasi masyarakat yang terdampak kebocoran gas amonia.

“Bahkan, kami sempat berencana melakukan gugatan ke pengadilan pada tahun 2022, atas  penderitaan warga dan kerusakan lingkungan, namun hingga kini masalah  tersebut belum bisa diselesaikan oleh PIM, rasa takut akan kembali terulang kebocoran amonia masih terus menghantui,” katanya.

Baca Juga:

Ia berjanji akan terus memperjuangkan hak-hak warga mengakses udara bersih, agar tidak ada lagi warga yang merasa was-was terpapar racun gas amonia.

“Kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan menjadi harga mati,” tegasnya.

Sementar itu, Rizqi, warga Lhokseumawe, menyampaikan hal serupa. Menurut dia, program dekarbonisasi industri pupuk PIM sebagai proyek percontohan pupuk ramah lingkungan di Indonesia harus segera direalisasikan.

“Kami akan terus mengawal dan mendorong pelaksanaan green ammonia di PIM. Kami tidak ingin ada lagi warga yang pingsan karena terpapar racun amonia!” ujarnya.

Liputan ini merupakan kolaborasi dengan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dalam rangka fellowship “Penggunaan Green Ammonia dan Dampaknya dalam Dekarbonisasi di Industri Pupuk Indonesia”

Editor: Nila Ertina

Related Stories