KabarKito
Kata “Rimba” Kian Asing, Manusia Hadapi Krisis Hubungan dengan Alam
JAKARTA, WongKito.co - Pernahkah Anda memperhatikan, kapan terakhir kali mendengar anak kecil menyebut kata “lumut” atau “mekar”? Pertanyaan itu mungkin terdengar sepele, namun para ilmuwan menganggapnya sebagai tanda bahaya.
Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Earth oleh Miles Richardson, profesor hubungan dengan alam di University of Derby, melacak hilangnya alam dari kehidupan manusia selama 220 tahun terakhir.
Dalam studi tersebut, Miles menemukan bahwa hubungan manusia dengan alam telah menurun lebih dari 60% sejak awal 1800-an. Penurunan terbesar, -60,6%, tercatat pada tahun 1990.
Indikator yang miles pakai bukan jumlah pohon atau luas hutan, melainkan kosakata. Kata-kata alam seperti “sungai”, “hutan”, “embun”, atau “rimba” ternyata makin jarang muncul di buku, percakapan, maupun budaya populer. Bagi peneliti, ini jadi sinyal bahwa alam semakin jauh dari kehidupan sehari-hari manusia.
Fenomena ini tak lepas dari laju urbanisasi. Perkembangan kota membuat lahan hijau menghilang, satwa liar menjauh, dan anak-anak tumbuh tanpa pengalaman langsung berinteraksi dengan alam.
- Simak 5 Fakta di Balik Reli IHSG yang Pecahkan Rekor Tertinggi 2025
- Apple Siapkan MacBook Harga Merakyat, Dibanderol Rp9 Jutaan
- OCBC Dukung Kesetaraan Gender Lewat Budaya Kerja yang Inklusif
Bahkan menurut Miles, burung pun makin jarang terdengar di lingkungan tempat kita tinggal. Banyak orang tua kini tidak lagi mengenalkan anak pada alam sebagaimana generasi sebelumnya. Jalan-jalan sore ke tepi sungai tergantikan oleh pusat perbelanjaan, dan lapangan rumput berganti menjadi deretan bangunan.
Lingkungan fisik memengaruhi bahasa. Ketika pengalaman terhadap alam berkurang, kata-kata yang menggambarkannya ikut memudar. Inilah yang oleh para peneliti disebut “kepunahan pengalaman”, kehilangan memori kolektif tentang alam, yang pada akhirnya membuat kita semakin tidak peka terhadap keberadaannya.
Ramalan Suram untuk Generasi Mendatang
Menggunakan model komputer, para ilmuwan memprediksi keterhubungan manusia dengan alam akan terus menurun jika tidak ada perubahan besar dalam kebijakan maupun perilaku sosial. Dalam skenario terburuk, anak-anak di masa depan mungkin tidak lagi punya kesadaran yang utuh tentang apa itu “rimba” atau “burung camar”, bahkan jika mereka pernah membacanya di buku pelajaran.
Dampaknya bisa meluas, penurunan ikatan emosional dengan alam dipandang sebagai akar krisis lingkungan global. Tanpa rasa memiliki, sulit menggerakkan kepedulian untuk menjaga hutan, sungai, dan satwa liar. Kesehatan mental manusia pun terancam, karena penelitian lain menunjukkan bahwa paparan ruang hijau membantu mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan.
Solusi yang ditawarkan studi ini tidak setengah-setengah. Kota, kata Miles, perlu menjadi sepuluh kali lebih hijau dari sekarang. Pendidikan usia dini harus memasukkan interaksi langsung dengan alam, misalnya melalui sekolah hutan atau kurikulum luar ruang. Upaya penghijauan perkotaan perlu melibatkan keluarga, agar minat anak pada alam terjaga sejak kecil.
- Saksikan Film Panggil Aku Ayah di CGV PTC, Penonton Tak Mampu Bendung Air Mata
- Ekonomi Tumbuh Solid, Tapi PHK Melonjak dan Investasi Melemah
- Kekerasan Terhadap Jurnalis Masih Menjadi Ancaman Nyata
"Bekerja sama dengan keluarga dan orang tua untuk melibatkan anak-anak dengan alam, dengan fokus nyata pada penurunan minat dari generasi ke generasi, adalah kuncinya. Mempertahankan ketertarikan itu sepanjang masa kanak-kanak dan sekolah mereka adalah hal yang esensial, di samping penghijauan perkotaan," jelas Miles dalam keterangannya, dilansir the guardians, Rabu, 13 Agustus 2025.
Memang, program kampanye lingkungan seperti #30DaysWild terbukti memberi manfaat. Namun para peneliti menegaskan, inisiatif semacam ini belum cukup untuk menghentikan penurunan keterhubungan antargenerasi. Yang dibutuhkan adalah perubahan transformasional, kombinasi kebijakan, pendidikan, dan desain kota yang benar-benar memulihkan interaksi manusia dengan alam.
Miles memperkirakan batas waktu sekitar 25 tahun diperlukan untuk mulai menerapkan langkah-langkah besar ini. Jika lewat dari itu, peluang membalikkan tren akan semakin tipis.
Di tengah semua data dan prediksi, pesan yang tersisa sederhana, kata-kata alam yang hilang adalah cerminan alam yang menjauh. Menjaganya tetap hidup di lidah kita berarti menjaga bumi tetap dekat di hati kita.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 14 Agustus 2025.