Ragam
Ketika Pala Lebih Mahal dari Emas dan Wariskan Sejarah Penuh Darah di Nusantara
JAKARTA , WongKito.co - Pala (nutmeg) berasal dari pohon Myristica fragrans yang tumbuh subur di Kepulauan Banda, Maluku, Indonesia. Sejak Abad Pertengahan, pala menjadi komoditas super-berharga di pasar Eropa karena fungsinya sebagai bumbu, pengawet, obat tradisional, bahkan dipercaya punya sifat mistis dan magis untuk kesehatan dan afrodisiak.
Nilai pala sempat lebih tinggi daripada emas per beratnya pada masa itu, sehingga siapa pun yang menguasai sumbernya punya peluang kekayaan besar. Keunikan tumbuh hanya di Banda inilah yang memicu persaingan sengit dan intervensi kekuatan asing untuk menguasai monopoli perdagangan pala.
Di Eropa, pala mulai dikenal melalui jalur perdagangan Timur Tengah. Selain sebagai bumbu untuk menutupi rasa daging yang agak kurang segar, pala dipercaya dapat menenangkan lambung, meredakan mual, hingga meningkatkan stamina. Pada masa wabah pes (plague), pala dianggap sebagai penangkal penyakit.
Persepsi manfaat itulah yang menyebabkan permintaan melonjak tajam di kalangan bangsawan dan pedagang kaya. Permintaan tinggi inilah yang menyebabkan pelayaran jauh ke Timur menjadi gemuruh petualangan sekaligus persaingan geopolitik.
Awal Kedatangan Bangsa Eropa di Kepulauan Rempah
Bangsa Eropa pertama yang tiba di Maluku adalah Portugis pada awal abad ke-16, diikuti Spanyol, lalu Belanda dan Inggris. Mereka berlomba menemukan "Jalur Rempah" untuk langsung memperoleh pala dan rempah lain tanpa perantara.
Data arkeologi dan naskah lokal (misalnya artefak keramik Cina di pesisir Banda) menunjukkan perdagangan pala telah eksis jauh sebelum kedatangan Eropa, namun kedatangan Portugis menandai dimulainya intervensi asing secara langsung. Ketika Vasco da Gama membuka jalur ke India, perhatian segera tertuju ke kepulauan rempah, termasuk Banda sebagai satu-satunya penghasil pala di dunia saat itu.
VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) Belanda didirikan 1602 dan berambisi memonopoli perdagangan rempah, terutama pala. Setelah beberapa perjanjian kontrak awal dengan penguasa lokal, ketegangan muncul karena Bandanese merasa perlu mempertahankan hak menjual ke pedagang lain.
Saat negosiasi gagal, VOC di bawah Jan Pieterszoon Coen melancarkan kampanye militer brutal antara 1609–1621 untuk menundukkan Banda. Menurut catatan, populasi Banda yang semula sekitar 15.000 jiwa menyusut drastis hingga tersisa sekitar 1.000 jiwa akibat pembantaian, deportasi, perbudakan, kelaparan, dan penyakit. Mereka yang tersisa dipaksa bekerja di perkebunan pala VOC, sedangkan yang dicurigai menanam atau menjual terpaksa dihukum berat, bahkan hukuman mati.
Peristiwa Banda Massacre dan Dampaknya pada Penduduk Lokal
Puncak kekerasan terjadi pada tahun 1621 yang dikenal sebagai Banda Massacre. Ribuan Bandanese dibunuh dan ribuan lainnya dijual sebagai budak atau diasingkan ke Batavia (Jakarta sekarang) dan wilayah lain.
Selain aspek kemanusiaan, peristiwa ini menandai kemenangan VOC dalam mempertahankan monopoli pala. Praktik brutal seperti pembasahan biji pala dengan jeruk nipis untuk membuatnya tidak subur bagi pihak lain juga diterapkan sebagai upaya mengekang perlawanan dan penyelundupan.
- 10 Tips Jaga Konsentrasi Bekerja Agar Lebih Produktif
- Dorong Guru SMK Sumsel Hadirkan Transisi Energi di Ruang Kelas
- Begini Resep Kue Pisang Donat Wijen
Selain Belanda, Inggris juga terlibat persaingan sengit. Tahun 1623 terjadi Amboyna Massacre di Ambon, di mana puluhan orang EIC (English East India Company), pedagang Jepang dan Portugis dituduh makar dan dihukum mati oleh VOC.
Insiden ini memperburuk ketegangan Inggris-Belanda dan menimbulkan protes di Inggris selama bertahun-tahun. Meski Amboyna bukan langsung soal pala, kejadian ini bagian dari persaingan sertamerta atas rempah di Maluku yang juga mempengaruhi keamanan perdagangan pala dan rempah lainnya.
Pada masa Perang Napoleon (awal abad ke-19), Inggris sempat merebut Banda. Mereka menanam ribuan bibit pala di koloni lain seperti Sri Lanka, Penang, Bencoolen, dan Singapura.
- Jembatani Kebutuhan Industri dan Kedaulatan Energi Nasional, Pertagas Gelar Dialog dengan Pelaku Industri
- Dampak Perang! Harga Beras Naik Diam-Diam, Anak Muda Perlu Melek Inflasi Pangan
- Satu Jemaah Haji Palembang Hilang di Tanah Suci, PPIH Saudi Masifkan Pencarian
Upaya ini memecah monopoli VOC yang selama berabad-jam memegang kendali tunggal. Setelah masa perang berakhir, perdagangan pala pun mulai menyebar ke berbagai wilayah tropis di dunia, sehingga pasokan menjadi lebih merata dan harga di pasaran global turun drastis.
Penyebaran bibit ini juga menandai bergesernya pusat produksi pala dari Maluku ke wilayah-wilayah baru seperti Zanzibar dan Karibia (Grenada) pada abad ke-19.
Warisan Ekonomi dan Budaya
Kisah tragis perebutan pala meninggalkan warisan yang kompleks. Di Maluku, jejak sejarah ini bisa dilihat di situs-situs budaya dan museum, misalnya Rumah Budaya di Banda Neira yang memajang lukisan pembantaian zaman VOC.
Secara ekonomi, meski produksi pala di Maluku kini tidak lagi memonopoli pasar internasional, Indonesia tetap menjadi salah satu produsen utama rempah tersebut. Cerita masa lalu sering dijadikan bahan pelajaran tentang kolonialisme dan perjuangan penduduk lokal mempertahankan kedaulatan wilayahnya.
Sejarah pala mencerminkan betapa sebuah rempah kecil bisa memicu gelombang geopolitik dan kekerasan besar. Dari Kekaisaran Maluku, interaksi perdagangan kuno dengan Cina dan Gujarat, hingga kedatangan Portugis, Belanda, dan Inggris, sampai era kolonialisme brutal VOC dan penyebaran pala ke koloni lain, semua menjadi bab dalam kisah panjang ini.
Memahami sejarah tersebut penting sebagai pelajaran bagi kita agar menghargai perjuangan para pendahulu dalam mempertahankan hak atas sumber daya, serta menyikapi praktik perdagangan yang adil di masa kini.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 29 Juni 2025.