KabarKito
Ketika Wayang Palembang Nyaris Terlupakan
PALEMBANG, WongKito.co - Di rumah sederhana dalam kawasan Tangga Buntung Palembang, tersimpan seratus tokoh wayang kulit yang menjadi saksi perjalanan panjang seni pewayangan kota ini. Di depan kain putih panjang yang dibentangkan, tertancap para ksatria, raksasa, dan dewa pegunungan di atas gedebok pisang tempat mereka berdiri menunggu tangan sang dalang menghidupkan cerita.
Rumah itu milik Kiagus Wirawan Rusdi (52), Dalang Wayang Palembang yang telah menekuni dunia pewayangan sejak 2004. Di lemari kayu rumahnya tersimpan berbagai tokoh Mahabharata dan juga tokoh dagelan. Selain seratus wayang, tersusun pula seperangkat alat musik gamelan seperti gong, bendang, gambang, sarong, bonang, dan kenong pengiring setia di setiap pertunjukan.
Pewayangan yang Wirawan tekuni ini bermula dari Sanggar Seri yang berdiri sekitar tahun 1950. Dalang pertamanya adalah kakeknya sendiri, yang saat itu membeli wayang dari dalang-dalang terdahulu yang sudah ada sejak sebelum tahun 1900-an. Para dalang lama itu sudah sepuh, kelompok mereka tidak lagi aktif, dan wayangnya pun tak dimainkan lagi. Dari situlah sang kakek membeli gamelan-gamelan serta wayang-wayang tersebut.
Pada tahun 1970-an, sanggar pun diteruskan ayahnya yang menjadi dalang. Namun, Wirawan mengingat, Sanggar Seri sepeninggal ayahnya sempat berhenti mentas dengan kondisi wayang yang mulai hancur, tidak bisa lagi dimainkan. Wirawan mengakui, saat kecil tidak tertarik menjadi dalang. Namun, setelah mendapat bantuan wayang dari lembaga kesenian UNESCO tahun 2004, barulah ia merasa harus meneruskan dan melestarikan warisan tersebut. Dari situlah dirinya menghidupkan kembali kesenian Wayang Palembang.
“Itulah dulu kenapa pentas wayang sempat mati suri. Sebab, kondisi wayangnya sudah hancur-hancur. Kemudian adanya bantuan UNESCO akhirnya mulai baru berdiri lagi,” kenangnya saat ditemui, Sabtu (25/10/2025).
Kini Sanggar Seri menjadi satu-satunya sanggar yang mempertahankan tradisi pertunjukan Wayang Palembang. “Kalau Wayang Palembang, cuma ada di sini,” ujar Wirawan.
Dia menjelaskan, Wayang Palembang sendiri merupakan sebuah pertunjukan wayang kulit. Wayang yang digunakan tidak berbeda dengan wayang-wayang di Pulau Jawa. Sebab, dulu wayang memang dibawa oleh para bangsawan Demak yang hijrah ke Kesultanan Palembang. Jadi, masuknya wayang ke Palembang tidak lepas dari sejarah Kesultanan Palembang.
Adapun yang membedakan pertunjukan Wayang Palembang dengan wayang-wayang lain, yakni bahasa yang digunakan saat pertunjukan. Wayang Palembang menggunakan bahasa Palembang halus, bahasa yang dipakai oleh Kesultanan Palembang Darussalam di masa itu.
Bahasa Palembang yang halus pada zaman dulu, terang Wirawan, digunakan di keraton kesultanan. Bahasa itu memiliki banyak kesamaan dengan bahasa Jawa karena nenek moyang mereka dulunya pindah dari Demak ke Palembang. Secara otomatis, bahasa yang digunakan pun terbawa ke kehidupan sehari-hari dan bercampur dengan bahasa penduduk setempat pada masa itu. Bahasa halusnya banyak seperti bahasa Jawa.
Pentas Wayang Palembang Tanpa Sinden

Dalam pentas Wayang Palembang, Wirawan menyebut, karakter wayang dan musik pengiringnya sama seperti pementasan Wayang Jawa. Hanya saja, Wayang Palembang tidak menggunakan sinden.
- Hoaks: Link Pendaftaran Pemutihan Tunggakan Iuran BPJS Kesehatan
- Program Srikandi Mandiri Ajak Warga Binaan di LPP Kelas II A Palembang Lebih Berdaya dan Kreatif
- Mendorong Mimpi Kecil Jadi Nyata: BRI Salurkan KUR Rp130,2 Triliun untuk Sektor Produksi
Karakter wayangnya, yakni dengan tokoh-tokoh yang diambil dari epos Mahabarata dan Ramayana. Adapun cerita yang paling sering ia bawakan adalah kisah Mahabarata sebelum terjadinya Perang Baratayuda. Dalam pertunjukannya terdapat banyak tokoh, mulai dari tokoh baik dan tokoh jahat, hingga tokoh halusan atau satria, tokoh gagahan yang berukuran besar, raksasa, dewa, serta resi dan berbagai tokoh lainnya.
Saat kesenian Wayang Palembang ditampilkan, suara musik gamelan menjadi musik latar. Gamelan menjadi alat musik utama yang mengiringi hikmatnya sabetan-sabetan indah sang dalang. Musik yang mengiringi pentas adalah musik gamelan tradisional, seperti gong, bendang, gambang, sarong, bonang, dan kenong. "Sama, tradisi semua,” jelas dia.
Meski demikian, Wayang Palembang dalam pentasnya tidak menggunakan sinden sebagai vokal suara seperti yang ditampilkan di Wayang Jawa. Ada alasan tersendiri mengapa dalam pertunjukan Wayang Palembang tidak menggunakan sinden. Menurut Wirawan, panggilan Wayang Palembang tidak pakai sinden karena zaman dulu perempuan yang menjadi penyanyi dianggap kurang baik di masyarakat. “Jadi, tidak pakai sinden,” katanya.
Di balik pertunjukan kesenian Wayang Palembang, tak kurang dari dua puluh satu orang terlibat dalam satu pertunjukan. Tiga belas orang menangani bagian pementasan termasuk teknisi, sedangkan delapan lainnya memainkan gamelan atau pengrawit yang menghidupkan suasana cerita.
Di balik kelir putih yang diterangi cahaya lampu, tangan Kiagus Wirawan Rusdi tampak lincah memainkan tokoh-tokoh wayang kulit. Agar tampak hidup, tokoh-tokoh yang dimainkan dalam wayang punya ciri khasnya sendiri mulai dari warna dan motif wayang, gerakan, hingga lakon suara saat dimainkan. Itu semua memiliki makna dan teknik tersendiri.
Setiap tokoh wayang dimainkan dengan cara yang berbeda. Wirawan mengatakan, tokoh besar biasanya lebih berat, sehingga cara memegang dan menggerakkannya pun tidak sama. Sementara tokoh kecil seperti satria, gerakannya dibuat gagah tanpa mengangkat tangan terlalu tinggi. Baginya, perbedaan gaya permainan inilah yang membuat wayang terlihat lebih hidup di atas kelir.
Disinggung siapa karakter yang paling sulit dimainkan, Wirawan menjawab, karakter perempuanlah yang paling sulit karena dalang harus menirukan suara perempuan. “Karakter perempuan yang paling susah ngomongnya," tuturnya.
Bagi Wirawan, banyak filosofi yang terkandung dalam cerita-cerita wayang. Wayang bukan sekadar tontonan, tetapi juga tuntunan yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan, seperti tata krama dan sikap hormat anak kepada orang yang lebih tua.
Wirawan bercerita, banyak kenangan berkesan selama menjadi dalang. Terutama bagi dirinya dan keluarganya yang berasal dari ekonomi ke bawah. Dengan kondisi ekonomi yang terbatas, pergi ke luar kota bukan hal yang mudah. Namun, karena kemampuannya sebagai dalang dan adik-adiknya sebagai pengrawit, mereka bisa pergi ke luar kota seperti ke Jogja dan Jakarta, bahkan dengan naik pesawat terbang.
“Kami pernah ke Jogja dan ke Jakarta gratis naik pesawat terbang. Itu kenangan-kenangan dan pengalaman yang paling berkesan," ujarnya.
Pengalamam berkesan lainnya sebagai dalang, dia pernah dibuatkan video berjudul Warisan yang tayang di YouTube. Video itu menceritakan perjalanan hidupnya dari sebelum menjadi dalang hingga akhirnya menekuni dunia wayang. Selain itu, Dinas Pariwisata juga pernah membuat video yang menampilkan satu adegan wayang.
Wayang Palembang di Masa Sekarang

Wirawan menjelaskan, pertunjukan Wayang Palembang pada masa sekarang sudah semakin berkurang. Biasanya hanya diadakan oleh instansi-instansi terkait seperti Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, itu pun paling setahun sekali atau dua kali.
Menurutnya, masyarakat kini sudah jarang menjadikan wayang sebagai media hiburan. Ia menilai, bukan karena masyarakat tidak menghargai seni, melainkan karena Palembang lebih dikenal sebagai kota dagang daripada kota seni. Nilai-nilai seni belum menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, pertunjukan wayang membutuhkan tempat yang cukup luas karena tidak hanya melibatkan dalang, tetapi juga para pengrawit atau penabuh gamelan. Dalam setiap pertunjukan wayang diperlukan pengerawit, sound system, makan minum, serta angkutan. Semua kebutuhan itu membuat pagelaran wayang membutuhkan banyak biaya karena banyak yang harus dibayar.
Wirawan mengatakan, ia mencampurkan Bahasa Palembang halus dan bahasa sehari-hari dalam pementasan wayang. Awalnya, seluruh dialog dibawakan dengan bahasa Palembang halus, tapi anak-anak muda di Palembang banyak yang tidak menguasainya. Hanya kaum tua yang masih memahami bahasa-bahasa Palembang lama tersebut.
Dia mencontohkan, tokoh wayang adik menggunakan bahasa halus, sedangkan tokoh kakak berbicara dengan bahasa Palembang biasa. Dengan cara itu, penonton muda yang menonton di belakang dapat lebih mudah memahami alur percakapan yang disampaikan.
Wirawan mengakui, ada kesulitan dalam mempertahankan penggunaan Bahasa Palembang lama. Jika terus dilakukan tanpa penyesuaian, ia khawatir bahasa tersebut akan hilang dan pertunjukan wayang pun tidak lagi diminati oleh masyarakat. “Memang kita kesulitan, kalau terus-terusan seperti itu, bahasa ini akan hilang dan kemudian pun wayang ini tidak akan diminati oleh masyarakat,” ungkapnya.
- Warna Sriwijaya Latih Waria, Tingkatkan Keterampilan Barbershop Bersama Atlas Barberschool
- Jejak Sang Ulama dari Madura: Kisah Puyang Raden Singa Mangla di Pinggir PLTU Keban Agung
- Kupas Arah Politik Prabowo-Gibran Lewat Film Dirty Vote II o3, Tampilkan Satu Pakar Baru
Namun, saat ini pemerintah telah menetapkan program muatan lokal bahasa daerah, di mana bahasa Palembang halus dimasukkan ke dalam pelajaran di tingkat SD dan SMP. Dengan adanya program tersebut, ia berharap dalam beberapa tahun ke depan para siswa bisa memahami, bahkan jika belum sepenuhnya mampu menggunakan bahasa itu.
“Upaya pelestarian seni wayang dari pemerintah tergantung dari tokoh pejabatnya kadang-kadang," ulas Wirawan. Menurutnya, kalau biasanya yang menjabat dari pimpinan kepala bidang orang Jawa, otomatis mereka akan melestarikan wayang. Berbeda dengan pejabat bukan dari kalangan Jawa, perhatian terhadap seni cenderung berkurang. Fokus mereka lebih banyak pada bentuk kesenian lain seperti tari-tarian
Dia bersyukur, tahun ini kepala bidang yang menjabat semuanya berasal dari Jawa. Pertunjukan wayang pun menjadi banyak digelar, seperti beberapa waktu lalu mereka sempat menggelar pertunjukan di Taman Budaya.
Berharap Dukungan Pelestarian dan Dalang Masa Depan
Wirawan sangat mengharapkan adanya bantuan dari pemerintah agar kesenian wayang Palembang dapat terus berkembang dan dikenal lebih luas. Ia berharap dukungan itu tidak hanya berupa materi, tetapi juga perhatian dan keterlibatan langsung dalam upaya pelestarian. “Harapan kami ingin maju, ingin terus memperkenalkan dan melestarikan, ada penerus ke depannya," imbuhnya.
Tanpa perhatian dari pihak terkait, dipastikannya kesenian wayang Palembang tidak akan bisa maju. Ia menekankan, harapan mereka bukan pada bantuan berupa uang, melainkan perhatian dan dukungan nyata dari instansi-instansi yang peduli terhadap pelestarian budaya. Sangat perlu instansi terkait sesekali mengunjungi sanggar-sanggar yang jarang manggung atau bahkan sudah tidak aktif lagi. Ia ingin ada perhatian nyata terhadap para pelaku seni yang masih berusaha menjaga keberlangsungan wayang Palembang.
Terkait pewaris atau penerus seni Wayang Palembang, Wirawan mengaku belum ada. Anaknya masih kecil dan terlihat masih belum hobi perwayangan. Adapun adik Wirawan sendiri masih disibukkan bekerja di Lahat sehingga tidak bisa eksis di pementasan lagi.
“Biarlah nanti suatu saat siapa tahu akan ada masa depan generasi penerus. Tidak bisa dipaksa untuk menjadi dalang, harus berasal dari niat sendiri,” imbuhnya. (Mg/Jupio Dwi Prananda)

