KabarKito
Lonjakan Konsumsi Listrik dari Industri Pusat Data Ancam Target Iklim Indonesia
JAKARTA, WongKito.co – Di tengah pertumbuhan ekonomi digital yang kian pesat, Indonesia justru menghadapi risiko jebakan karbon. Permintaan listrik dari sektor pusat data (data center) diperkirakan melonjak hampir empat kali lipat, dari 6,7 terawatt jam (TWh) pada 2024 menjadi 26 TWh pada 2030.
Namun, tanpa transisi energi yang cepat dan efektif, lonjakan ini berpotensi meningkatkan emisi karbon di jaringan listrik Jawa-Madura-Bali (Jamali), dari 5 juta ton setara CO₂ (MtCO2e) menjadi 19 MtCO2e pada tahun yang sama.
Hal ini diungkap dalam laporan terbaru EMBER bertajuk From AI to Emissions: Aligning ASEAN’s Digital Growth with Energy Transition Goals. Laporan tersebut menyoroti pertumbuhan pusat data sebagai ancaman laten terhadap pencapaian target iklim di Asia Tenggara.
“Pertumbuhan pusat data membebani sistem kelistrikan di kawasan ASEAN, di mana sebagian besar pasokan listrik masih bergantung pada batu bara dan gas,” ujar Pritesh Swamy, Head of Data Centre Research & Insights Asia Pacific, Cushman & Wakefield, Rabu 28 Mei 2025.
Ledakan Permintaan, Infrastruktur Belum Siap
Selain Indonesia, Malaysia dan Filipina juga masuk dalam tiga besar negara ASEAN dengan lonjakan konsumsi listrik pusat data tertinggi. Malaysia diperkirakan mencatat peningkatan dari 8,5 TWh menjadi 68 TWh pada 2030, dengan emisi melonjak tujuh kali lipat menjadi 40 MtCO2e. Sementara itu, Filipina mencatat pertumbuhan lebih ekstrem: dari 1,1 TWh menjadi 20 TWh, dengan emisi naik 14 kali lipat menjadi 10,5 MtCO2e.
Masalah utama di kawasan ini adalah dominasi bahan bakar fosil dalam bauran energi. “Tanpa tindakan cepat, pesatnya ekspansi pusat data akan menggagalkan target transisi energi ASEAN,” ujar Shabrina Nadhila, Analis Kebijakan Kelistrikan Asia Tenggara di EMBER.
Baca Juga:
- Gempa di Banyuasin Tidak Berpotensi Tsunami
- Pemerintah Harus Serius Atasi Masifnya Gelombang PHK Sektor Padat Karya
- Begini Resep Puding Terenak
Padahal, menurut EMBER, sekitar 30% kebutuhan listrik pusat data di kawasan bisa dipenuhi dari energi surya dan angin pada 2030, bahkan tanpa baterai, jika didukung oleh kebijakan yang memadai.
Indonesia Tertinggal dalam Skema Listrik Hijau
Di tengah potensi energi terbarukan yang besar, Indonesia masih tertinggal dalam penyediaan skema listrik hijau. Belum tersedia tarif hijau seperti yang sudah diterapkan di Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Padahal, perusahaan teknologi global sangat mengandalkan skema perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) untuk mendapatkan pasokan listrik dari pembangkit EBT.
“Operator pusat data memerlukan fleksibilitas dalam mengakses listrik hijau, misalnya melalui PPA virtual atau tarif hijau. Namun, opsi ini belum tersedia di seluruh negara ASEAN, termasuk Indonesia,” tulis laporan EMBER.
Selain itu, skema power wheeling, yang memungkinkan perusahaan membeli listrik langsung dari pembangkit EBT melalui jaringan PLN, masih dalam tahap pembahasan di Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT).
Baca Juga:
- Yuk Nikmati Cheese Rizz, Penuh Toping dan Keju Berlimpah
- Hoaks: Video Pembuatan Beras dari Botol Bekas, Cek Hasil Penelusurannya
- Rasakan Sensasi Berkunjung ke Kebun Binatang di Mal, Pocket Zoo Hadirkan Hiburan dan Edukatif
Desain Ramah Energi Jadi Kunci Efisiensi
Pemerintah juga didorong untuk mewajibkan efisiensi energi sejak tahap desain pusat data. “Kebijakan ini akan menekan konsumsi listrik, mengurangi beban sistem, dan mempercepat transisi energi,” ujar Shabrina.
Tanpa regulasi yang jelas dan infrastruktur pendukung yang memadai, pertumbuhan pusat data di Indonesia justru berpotensi menjadi bumerang karbon yang mengancam ambisi menuju ekonomi hijau.
“Pemerintah dan industri harus bekerja sama agar pertumbuhan digital selaras dengan target iklim,” pungkas Shabrina.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Debrinata Rizky pada 28 Mei 2025.