Mal Obral Diskon Siasati Fenomena Rohana-Rojali

APPBI mengumumkan 400 pusat perbelanjaan yang menjadi anggotanya akan mengadakan program diskon dan promosi dalam rangka Indonesia Shopping Festival (ISF). (ist/USA Today)

JAKARTA, WongKito.co —Pusat perbelanjaan menghadapi tantangan baru di tengah digitalisasi dan lesunya ekonomi. "Rombongan jarang beli" (rojali) dan "rombongan hanya nanya" (rohana) kini menjadi momok tersendiri bagi pengelola mal. 

Fenomena ini menggambarkan perilaku konsumen yang datang ke mal hanya untuk melihat-lihat produk secara fisik, bertanya detail kepada pramuniaga, lalu kemudian membelinya secara online dengan harga lebih murah. Akibatnya, mal kehilangan potensi penjualan meski tetap menanggung biaya operasional untuk melayani pengunjung.

Untuk menyiasati tren itu, sejumlah mal mengandalkan senjata klasiknya yakni diskon besar-besaran. Namun, seberapa efektifkah strategi potongan harga dalam menarik konsumen untuk shopping di pusat perbelanjaan saat ini? 

Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) baru saja mengumumkan 400 pusat perbelanjaan yang menjadi anggota mereka akan mengadakan program diskon dan promosi dalam rangka Indonesia Shopping Festival (ISF). Festival belanja yang digelar dari 14 hingga 24 Agustus 2025 ini merupakan bagian dari perayaan HUT ke-80 RI.

ISF akan diselenggarakan di 14 daerah di Indonesia dengan penawaran potongan harga yang mencapai 80%. Konsumen yang berbelanja selama periode festival dapat mengumpulkan poin untuk ikut serta dalam pengundian berhadiah utama mobil listrik. 

"Poin-poin yang dikumpulkan oleh masyarakat sampai dengan tanggal 24 Agustus nanti akan diundi di 28 Agustus di Summarecon Mall Serpong," ungkap Ketua APPBI, Alphonsus Widjaja, dalam keterangan resminya, dikutip Kamis, 7 Agustus 2025. 

Menurut Alphonsus, inisiatif ini diharapkan dapat menekan rojali dan rohana yang jumlahnya semakin bertambah belakangan "Rojali dan rohana tidak perlu dikhawatirkan, nanti otomatis akan berkurang secara tidak langsung dengan adanya ISF ini," tuturnya. 

Di samping mengatasi masalah rojali dan rohana, Alphonsus juga mengharapkan ISF dapat mendongkrak jumlah pengunjung mal. APPBI menargetkan peningkatan kunjungan mal sebesar 20-30% tahun ini. 

Namun sampai saat ini baru tercapai 10%. Alphonsus mencatat setiap harinya, 400 mal yang berada di bawah naungan APPBI dikunjungi sekitar 20-30 juta orang, atau rata-rata 50.000 pengunjung per mal. Yang jadi pertanyaan, benarkah warga malas berbelanja ke mal hanya karena faktor harga? 

Dosen Senior Bisnis Fashion Lasalle College Jakarta, Dino Augusto, memandang kondisi ekonomi hanya salah satu pemicu keengganan konsumen berbelanja di mal. “Bisa juga karena produk yang enggak menarik, gitu-gitu aja. Tidak ada experience baru saat berbelanja,” ujar Dino di akun Instagram-nya, @dinoaugusto. 

Produk Seragam Bikin Bosan

Dino membeberkan riset Colliers yang menyebut 60-70% produk mal di Indonesia seragam. Hal ini, imbuhnya, membuat anak muda bosan dan akhirnya memilih berbelanja di marketplace atau toko-toko alternatif. 

“Artinya isi mal di Jakarta sama dengan Palembang, Bali, isinya fast fashion. Gen Z dan milenial sekarang udah cerdas. Mereka mending belanja di toko oren atau toko ijo (marketplace), lebih lengkap dan lebih murah,” tutur influencer fesyen berkelanjutan ini. 

Dia menyarankan retailer atau pemilik mal mulai berpikir out of the box. Tak hanya menawarkan diskon besar-besaran, Dino mendorong adaya shifting ke produk lokal maupun produk yang lebih spesifik. “Jadi ada experience baru buat pembeli. Kalau gini-gini aja, mal akan tetap jadi tempat nyoba barang doang.”

Pesohor dan perancang busana, Oscar Lawalata, menyebut pasar sudah jenuh dengan produk massal seperti yang ditawarkan di mal. Menurut dia, konsumen saat ini senang dengan inovasi dan produk-produk lokal. “Produk terbatas yang dibuat oleh perjuangan desainer rumahan, bahkan pengrajin lokal. Bukan produk massal yang membosankan dan menumpuk menjadi sampah,” ujarnya. 

Oscar menilai sudah saatnya mal memberi kontribusi ruang kepada desainer, pengrajin dan UMKM. “Bisnis tidak selalu bicara uang. Lewat kebersamaan dan kepedulian, dengan sendirinya akan terjadi komunitas market dan ekosistem, dan Indonesia kuat akan itu,” tuturnya.

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Chrisna Charis Cara pada 8 Juli 2025.

Editor: Redaksi Wongkito
Bagikan
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories