KabarKito
Pakar Konservasi Hutan Urai Penyebab Banjir Bandang Sumatera
JAKARTA - Banjir besar Sumatera pekan lalu menunjukkan kembali bahwa bentang alam pulau tersebut memendam sejarah panjang kebencanaan.
Ketika hutan hilang, kemampuan tanah menahan air ikut runtuh dan debit puncak tak lagi dapat dikendalikan. Para pihak yang menjadi kontributor dosa ekologis itu sudah saatnya berhenti.
Arus deras yang menerjang permukiman warga membawa kayu, lumpur, dan bongkahan tanah yang selama bertahun-tahun terakumulasi pada lereng-lereng curam Bukit Barisan. Peristiwa ini tampak hadir secara mendadak, namun akar penyebabnya tersusun dari lapisan geologi, dinamika iklim, dan perubahan ekologis yang berlangsung sejak lama.
Dalam diskusi Pojok Bulaksumur baru-baru ini, peneliti Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Hatma Suryatmojo, mengurai bahwa struktur geomorfologi Sumatera membuat wilayah ini memang rentan terhadap luapan besar saat hujan turun.
Lereng-lereng terjal dari Aceh hingga Lampung mengalirkan air langsung ke dataran rendah, sementara kipas vulkanik menjadi area yang kini banyak ditempati masyarakat. Jalur alami ini mempercepat aliran dan membawa material dalam jumlah besar ketika intensitas hujan meningkat.
“Dengan pola seperti itu, hujan deras pasti membawa material dalam jumlah besar dan kecepatan tinggi,” ujarnya dikutip, Senin (08/12/2025).
Menurut Hatma, banjir bandang yang membawa kayu-kayu dan sedimen itu tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekologis yang kian menurun. Pembukaan lahan di daerah hulu, pemukiman yang merangkak naik ke dataran tinggi, serta perubahan fungsi hutan memperbesar limpasan permukaan.
Ketika hutan hilang, kemampuan tanah menahan air ikut runtuh dan debit puncak tak lagi dapat dikendalikan. “Para pihak yang menjadi kontributor dosa ekologis itu sudah saatnya berhenti,” katanya.
Ia menegaskan bahwa secara alami hutan memiliki kemampuan besar untuk menahan air hujan. Bahkan dalam kondisi ideal, hingga sepertiga air dapat tertahan di tajuk dan lebih dari separuh meresap ke dalam tanah sebelum mencapai permukaan. Ketika tutupan hutan berkurang, seluruh volume air bergerak serentak menuju sungai dan mempercepat terjadinya banjir. “Neraca airnya pasti berubah dan debit puncaknya meningkat drastis,” ujar Hatma.
Perubahan Iklim
Sementara itu, mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Prof Dwikorita Karnawati menambahkan, perubahan iklim memperbesar risiko yang sudah tinggi secara alami. Kenaikan suhu global 1,55°C membuat kejadian hujan ekstrem semakin sering, dan prediksi menunjukkan peningkatan dapat mencapai 3,5°C pada akhir abad bila tidak ditekan.
Dengan curah hujan setinggi ratusan milimeter per hari, sistem hidrologi di Sumatera tidak mampu lagi meredam laju air. “Kalau mitigasi ekologinya dilewatkan, kita bisa musnah,” ujar Dwikorita.
Dwikorita juga menilai struktur geologi Sumatera membuat wilayah ini sangat labil. Batuan yang terbentuk dari tumbukan lempeng naik dari dasar laut dalam kondisi retak-retak sehingga mudah longsor saat diguncang gempa kecil. Longsoran inilah yang kemudian menyumbat aliran sungai dan membentuk bendungan alami yang sewaktu-waktu dapat jebol. “Retakan-retakan itu membuat wilayah ini sangat rentan terhadap gerakan tanah,” katanya.
- AJI Tolak Anugerah Dewan Pers 2025, Simak Alasannya
- ADMR hingga GOTO Pimpin Top Gainer, LQ45 Menguat
- Yuk Buat Kue Talam Tiga Rasa
Selain itu, anomali siklon tropis yang makin sering muncul memperburuk keadaan. Siklon yang biasanya tidak menembus zona tropis kini tumbuh di wilayah Indonesia dan bergerak melintasi daratan, membawa hujan intens selama berhari-hari. Fenomena ini tidak hanya memperbesar risiko banjir bandang, tetapi juga mempersingkat periode ulang bencana yang sebelumnya puluhan tahun. “Siklonnya tidak lagi patuh pada jalurnya, dan ini anomali yang semakin sering muncul,” ujar Dwikorita.
Dwikorita menjelaskan, anomali siklon yang terjadi tahun ini tidak muncul secara terpisah, melainkan merupakan rangkaian fenomena yang telah terlihat sejak kemunculan Siklon Seroja dan Cempaka beberapa tahun sebelumnya. Pola siklon-siklon tersebut mulai menunjukkan perilaku tidak lazim, termasuk melintasi daratan dan bertahan lebih lama di wilayah tropis yang seharusnya menjadi zona penghalau.
Siklon Senyar mempertegas gejala itu dengan tumbuh di area yang biasanya tidak memungkinkan dan bergerak menyeberangi daratan hingga mencapai Semenanjung Malaya. “Ini anomali yang mengindikasikan perubahan iklim semakin mempengaruhi dinamika siklon di kawasan Indonesia,” tutupnya.
Ancaman Meningkat
Memasuki puncak musim hujan November 2025 hingga Februari 2026, berbagai wilayah di Indonesia menghadapi potensi meningkatnya bencana longsor dan banjir bandang. Dwikorita menegaskan bahwa kondisi atmosfer dan intensitas hujan saat ini dapat memicu kejadian ekstrem di wilayah-wilayah rawan.
Rangkaian bencana di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh menjadi penanda bahwa ancaman serupa dapat terjadi di daerah lain dengan karakter bentang alam yang mirip.
“Peristiwa tersebut menunjukkan kerentanan kawasan berlereng curam, daerah yang mengalami alih fungsi lahan, serta zona tektonik aktif dengan kondisi geologi rapuh di berbagai wilayah Indonesia,” ujarnya.
Dwikorita menjelaskan bahwa aliran debris atau campuran lumpur, batu, material kayu, dan sedimen, dapat melaju dengan kecepatan tinggi ketika hujan ekstrem mengguyur kawasan pegunungan. Material ini mampu menghantam permukiman dan infrastruktur dalam hitungan detik, sehingga masyarakat di bantaran sungai dan wilayah di bawah tebing memerlukan prioritas peringatan dan kesiapsiagaan.
Ia menekankan bahwa Peringatan Dini Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) harus diikuti penguatan kapasitas masyarakat agar dapat merespons dengan cepat dan tepat. “Aliran debris seperti ini sangat destruktif dan menuntut respons segera dari warga yang berada di zona rentan,” katanya.
Menurut Dwikorita, data empiris BMKG menunjukkan bahwa bibit siklon dan siklon tropis cenderung meningkat setiap Desember hingga Maret atau April tahun berikutnya. Fenomena ini lebih dominan di belahan selatan bumi sehingga wilayah selatan khatulistiwa perlu berada dalam kondisi siaga terhadap cuaca ekstrem. Kawasan seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian selatan dan tenggara, Maluku, dan Papua bagian selatan masuk dalam zona yang berpotensi mengalami hujan intens yang memicu longsor dan banjir.
“Wilayah-wilayah tersebut seharusnya berada dalam kondisi SIAGA terhadap cuaca ekstrem sebagaimana yang baru saja terjadi di Sumatera,” tuturnya.
Untuk menghadapi potensi meluasnya risiko, Dwikorita menekankan pentingnya upaya cepat di daerah rawan bencana. Identifikasi ulang zona merah dan pembatasan aktivitas manusia selama periode peringatan dini menjadi langkah awal yang perlu dilakukan pemerintah daerah.
Selain itu, penyiapan jalur evakuasi dan lokasi pengungsian yang aman sangat penting, terutama bagi kelompok rentan seperti difabel, lansia, ibu hamil, dan anak-anak. “Langkah-langkah ini harus dijalankan segera pada wilayah yang telah ditetapkan dalam peringatan dini BMKG,” katanya.
Pemerintah daerah juga diminta memastikan kesiapan rencana kontinjensi untuk menghadapi kondisi darurat. Rencana tersebut mencakup penyediaan logistik untuk tiga hingga enam hari, fasilitas pertolongan pertama, pengamanan dokumen penting warga, serta penguatan jaringan komunikasi. Ketersediaan peralatan evakuasi dan alat berat menjadi elemen penting untuk mempercepat penanganan darurat di lapangan. “Semua sarana ini harus siap dan memadai agar respons dapat dilakukan tanpa hambatan,” ujar Dwikorita.
Koordinasi lintas instansi disebutnya sebagai komponen vital dalam memperkuat kesiapsiagaan. Integrasi dengan BMKG dan BNPB termasuk dalam kemungkinan pelaksanaan operasi modifikasi cuaca apabila diperlukan untuk mengurangi intensitas hujan di wilayah kritis. Upaya kolaboratif ini diharapkan dapat mempercepat respons dan menekan potensi kerugian. “Koordinasi yang kuat memungkinkan langkah-langkah pengurangan risiko dijalankan secara lebih efektif,” katanya.
- Deforestasi, Ekspansi Sawit, dan Jejak Konsesi Hutan di Indonesia
- Pentingnya Penerapan Jurnalisme Inklusif, untuk Melawan Stigma dan Diskriminasi
- #RakyatHidupiRakyat: Warga Palembang Antusias Bantu Korban Bencana Aceh, Sumut, dan Sumbar
Dwikorita menegaskan bahwa rangkaian bencana di Sumatera harus dipahami sebagai peringatan serius dari alam. Menurutnya, mitigasi tidak boleh dianggap sebagai upaya sesaat, melainkan strategi jangka panjang yang bertumpu pada perlindungan lingkungan.
Pemulihan ekosistem, penataan ruang, dan pengendalian pemanfaatan lahan harus menjadi fondasi dalam membangun ketahanan bencana. “Mitigasi bencana harus berbasis pada pemulihan dan perlindungan lingkungan untuk mewujudkan peradaban yang lebih baik dan berkelanjutan,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Dwikorita menyerukan agar seluruh pihak bertindak cepat dan sinergis menghadapi potensi cuaca ekstrem dalam beberapa bulan ke depan. Ia mengingatkan bahwa atmosfer yang labil dapat memperburuk risiko di wilayah-wilayah rawan jika tidak diantisipasi dengan baik.
Kerja gotong royong antarinstansi, pemerintah daerah, dan masyarakat disebut penting agar upaya mitigasi dapat berjalan efektif. “Kita harus bergerak sekarang sebelum curah hujan ekstrem memperbesar ancaman di daerah-daerah rentan hidrometeorologi,” ujarnya.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com, jejaring media WongKito.co, pada 8 Desember 2025.

