Pentingnya Penerapan Jurnalisme Inklusif, untuk Melawan Stigma dan Diskriminasi

Praktisi media yang juga pemimpin redaksi WongKito.co,Nila Ertina FM menyampaikan materi jurnalis inklusif (Foto WongKito.co/Magang/Joka Misbakhul Munir)

PALEMBANG, WongKito.co — Praktisi media Nila Ertina FM, menjadi pengisi materi dalam kegiatan Quarterly Community Task Force Meeting yang diselenggarakan Yayasan Intan Maharani Palembang, Selasa (2/12/2025). Dalam sesi bertajuk “Mengarusutamakan Jurnalisme Inklusif dalam Isu HIV, TB, NAPZA, dan HAM”, Nila menegaskan bahwa media memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan setiap kelompok masyarakat terwakili secara adil dalam pemberitaan.

Ia mengawali pemaparan dengan pertanyaan mendasar: “Mengapa jurnalisme sering gagal mewakili semua kelompok?” 
Menurutnya, praktik jurnalisme hari ini masih banyak terjebak pada bias, baik bias keterwakilan, bias politik, hingga bias sensasional.

“Jurnalisme punya kewajiban untuk memverifikasi informasi dan memastikan realitas yang muncul di media tidak menghilangkan suara kelompok-kelompok yang rentan,” ujar Nila yang merupakan pemimpin redaksi media WongKito.co.

Media Masih Minim Perspektif Keberagaman

Melalui berbagai contoh pengalaman lapangan, peserta diajak melihat bagaimana isu anak jalanan, penyintas HIV, kelompok disabilitas, hingga kelompok gender dan seksual sering kali hanya muncul di media sebagai “pemanis cerita”, bukan sebagai subjek yang memiliki suara.

Baca Juga:

Nila mengutip kisah dari peserta yang merasakan bagaimana isu-isu penting seperti anak jalanan atau penyintas HIV kerap tidak dipublikasikan, meski urgensi permasalahannya sangat tinggi.

“Sering kali persoalan besar yang dialami kelompok rentan tidak diberitakan karena media hanya mengejar sumber yang mudah diakses elite politik, pejabat, atau tokoh dominan,” jelasnya.

Foto WongKito.co/Magang/Miftahur Rizki

Ia juga menyoroti bagaimana penggunaan bahasa dalam pemberitaan kerap memperburuk stigma. Contohnya, pemberitaan tentang penyintas HIV atau kelompok LGBT yang disajikan secara sensasional dan diskriminatif.

Jurnalisme Inklusif: Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban

Nila menegaskan bahwa jurnalisme inklusif adalah praktik jurnalisme yang secara sadar merepresentasikan keberagaman masyarakat secara adil, akurat, dan bermanfaat. Prinsipnya tidak hanya berlaku untuk isu minoritas, tetapi untuk seluruh proses peliputan.

Empat pilar utama jurnalisme inklusif yang ia tekankan ialah:

1. kurasi sosial: masyarakat itu beragam: representasi media harus mencerminkan realitas ini.

2. keadilan: memberi suara kepada kelompok yang termarjinalkan atau kurang terwakili (disabilitas, gender & seksualitas, etnis, agama, ekonomi).

3. memperkaya perspektif: memperluas pemahaman publik dan mendorong empati.

4. etika jurnalistik: bagian dari tanggung jawab sosial media.


“Jurnalisme harus menghadirkan kenyataan, bukan menegaskan stereotip  lama. Kita harus bertanya: apakah bahasa yang kita gunakan merendahkan? Apakah cerita ini hanya memperkuat stigma?” kata Nila.

Contoh Praktik Lapangan: Mengangkat Keresahan Masyarakat

Dalam paparannya, Nila menceritakan pengalamannya mendampingi kelompok muda di kawasan PLTU yang belajar menghasilkan karya jurnalistik dari keresahan masyarakat lokal. Dari persoalan polusi, identitas hukum, hingga ketidakadilan sosial, semua diangkat dari perspektif warga.

“Ketika masyarakat diberi ruang bercerita, kita menemukan kompleksitas masalah yang selama ini tidak terlihat oleh media arus utama,” ujarnya.

Bias Media dan Tantangan Mainstream

Nila juga mengingatkan bahwa media arus utama sering kali sulit lepas dari kepentingan politik dan industri, terutama menjelang momentum lima tahunan seperti pemilu. Kondisi itulah yang menyebabkan berita-berita minoritas tenggelam.

Namun, ia mengungkapkan masih ada kelompok media alternatif yang aktif mengangkat suara kelompok akar rumput.

Etika, Verifikasi, dan Tanggung Jawab Sosial

Di akhir sesi, ia menegaskan bahwa penyebaran informasi yang tidak terverifikasi baik melalui media maupun media sosial bukanlah bagian dari kerja jurnalistik.

“Saring sebelum sharing itu wajib. Informasi yang tidak terverifikasi bisa menyakiti kelompok tertentu, memperkuat stigma, bahkan membahayakan kehidupan orang yang menjadi objek berita,” tegasnya.

Baca Juga:

Nila menutup materi dengan tiga pertanyaan reflektif bagi semua peserta sebelum menerbitkan atau menyebarkan informasi:

1. Apakah saya hanya mewawancarai sumber yang sama seperti media lain?

2. Apakah bahasa yang saya gunakan merendahkan atau menstereotip?

3. Apakah cerita ini hanya menambah stereotip yang sudah ada, atau justru mematahkannya?

“Jurnalisme inklusif bukan tren. Ini kewajiban etis untuk memastikan bahwa semua orang, terutama kelompok rentan, punya ruang untuk  bersuara," kata dia.(Mg/Kgs M Haikal Muharam)
 


Related Stories