Pentingnya Peran Aktif Semua pihak Atasi Tantangan Krisis Iklim di Sektor Kelautan dan Perikanan

Pentingnya Peran Aktif Semua pihak Atasi Tantangan Krisis Iklim di Sektor Kelautan dan Perikanan (ist)

PALEMBANG, Wongkito.co  – Ekosistem di sektor kelautan dan perikanan menjadi salah satu yang terdampak akibat perubahan iklim, diantaramya gelombang air laut yang tinggi sehingga sangat membahayakan. Akibatnya ikan semakin berkurang, yang tentunya mengancam keselamatan nelayan kecil di laut.

Yadi Bustan, nelayan tangkap tuna asal Desa Kawa, kabupaten Seram Barat, Provinsi Maluku mengawali ceritanya soal bagaimana krisis iklim turut membebani keberlangsungan hidup nelayan.

“(Padahal) Laut Maluku sentra ikan, namun akibat perubahan iklim ikan tuna ini semakin jauh, hasil tangkap semakin berkurang,” kata Yadi yang juga bendahara Koperasi Nusa Kamu Bersama dalam talkshow “Ekosistem Laut Berkelanjutan: Menanggulangi Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Perikanan dan Kelautan di Indonesia” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Kamis (2/5/2024) di Palembang, Sumatera Selatan. Talkshow ini didukung oleh USAID Indonesia melalui Proyek USAID Ber-IKAN (Bersama Kelola Perikanan) bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Baca Juga:

Ia mengungkapkan bukan saja ongkos yang dikeluarkan makin tinggi, perjalanan menangkap ikan pun semakin jauh, nelayan tradisional juga mesti bersaing dengan kapal-kapal besar penangkap ikan di wilayah tangkap mereka.

“Sekitar tahun 2020-an nelayan mulai berjuang menghadapi kapal-kapal dari luar.  Yadi menambahkan, ada hari-hari di mana nelayan pulang tanpa hasil tangkapan.

Irvan Imamsyah, Supervising Editor CNN Indonesia TV yang juga menjadi salah satu pembicara dalam diskusi memperkuat cerita Yadi. “Ketika datang ke lapangan (menemui nelayan), yang diceritakan ke wartawan adalah cerita-cerita seperti itu.”

Irvan lantas membagikan sebuah peringatan yang pernah disampaikan oleh IPCC, panel peneliti antar pemerintah yang mengukur dampak perubahan iklim. Kata dia, IPCC sempat mengeluarkan peringatan akan  bencana yang diprediksi bakal terjadi pada sektor kelautan dan perikanan dipicu oleh perubahan iklim di 2030 nanti.

“Artinya, Pemerintah harus bekerja keras berbenah untuk bagaimana bisa melindungi nelayan-nelayan pesisir seperti Pak Yadi.“ Apalagi, selama 10 tahun terakhir pengamatannya, durasi melaut nelayan makin berkurang.  “Itu terjadi bukan hanya di Maluku ya, tapi juga di Kendal. Demak, dan berbagai pesisir termasuk di sumatera utara”

Berkurangnya durasi melaut nelayan ini menurut Irvan menunjukan bahwa pendapatan ekonomi nelayan yang kian merosot.  “Artinya nelayan banyak hutang untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka tidak bisa melaut dan banting stir. Soal nelayan yang banting stir jadi tukang ojek dan sebagainya, itu fenomena yang banyak terjadi di pesisir Jawa.”

Perubahan iklim kata Irvan menjadi faktor penentu kedua  yang memicu kerentanan ekonomi dan sosial nelayan.

“Yang pertama adalah BBM. Seperti dikatakan tadi, sekarang sudah tidak bisa melaut di jarak-jarak dekat, harus lebih dari 12 mil. Sudah lebih jauh dan iklim tak menentu, berarti ongkos bbm jauh lebih banyak. Nelayan sekarang mengkalkulasi seperti dikatakan Pak Yadi.

Situasi ini diperberat dengan gangguan di wilayah tangkap nelayan. “Istilahnya ada nelayan dengan kapal berukuran kecil seperti Yadi yang hanya 0,3 GT  harus melawan nelayan tangkap dengan bobot di atas 30 GT.”  Melaut jadi tidak ekonomis bagi nelayan di saat harga BBM tinggi dan trip semakin jauh.

Terkait krisis iklim yang menjadi tantangan tersendiri dalam memastikan keberlanjutan sumber daya perikanan dan kesejahteraan nelayan tradisional diamini Djoko Arye Prasetyo, Ketua Tim Kerja Hubungan Masyarakat dan Kerjasama Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Djoko juga mengatakan, kualitas tangkapan dan kesejahteraan nelayan tradisional tidak dalam kondisi baik-baik saja.  Untuk itu dibutuhkan transformasi kebijakan lewat implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No.11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT).

Kebijakan ini merupakan salah satu turunan dari 5 program prioritas berbasis Ekonomi Biru tahun 2024.  Tujuannya tak lain adalah memastikan keberlanjutan sumber daya ikan, peningkatan produktivitas dan kesejahteraan nelayan serta mewujudkan industri perikanan tangkap yang maju dan berkelanjutan,  sesuai dengan amanat UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

PP No.11/ 2023 soal PIT diyakini bisa memicu pemerataan pembangunan dengan anggaran yang disiapkan oleh swasta, atau melalui Pemerintah.  Lewat kebijakan ini pemerintah membagi area penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dibagi menjadi tiga zona, yakni zona industri, zona nelayan lokal, dan zona spawning & nursery ground (zona pemijahan dan perkembangbiakan ikan).  Dari zona-zona tersebut, KKP bakal menetapkan kuota penangkapannya. Kuota penangkapan akan terdiri dari kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota untuk rekreasi maupun hobi. Namun, nelayan seperti Yadi tidak terkena kebijakan pembatasan.

“Khusus untuk nelayan lokal, kami akan berikan izin seluruhnya, itu kalau mau menangkap di manapun silakan. Kedua, terkait zona industri ini kami akan ketatkan izinnya. Kapalnya ukuran seperti apa, beroperasi di mana,jumlah tangkapan setahun berapa, itu sudah kami batasi,” papar Djoko.

Baca Juga:

Selain menjadi jawaban atas sejumlah persoalan pada sektor perikanan tangkap, aturan PIT juga disebut sebagai bentuk keberpihakan Pemerintah kepada nelayan kecil dan tradisional.  

Dalam roadmap penangkapan ikan terukur, Djoko menyebut pemerintah menargetkan sektor kelautan tangguh, kompetitif, dan berkelanjutan serta laut yang sehat bisa terwujud pada 2045.(*)


Related Stories