Perempuan dan Kelompok Rentan Menanggung Beban Berlapis di Tengah Bencana

Kondisi Blang Awe, Pidie Jaya, saat ini membutuhkan makanan, air bersih, dan pakaian. (ist)

JAKARTA, WongKito.co - Di tengah situasi banjir di tiga provinsi Sumatera, perempuan, anak, lansia, penyintas, disabilitas, ibu hamil dan menyusui, serta kelompok rentan lainnya menanggung beban berlapis dan sering kali tidak terlihat dalam kebijakan penanganan bencana.

Koalisi Lembaga Perempuan yang terdiri dari Konsorsium PERMAMPU (Flower Aceh, PESADA-SUMUT, LP2M SUMBAR) dan Institut KAPAL Perempuan menegaskan, upaya mereka mengevakuasi, membuka dapur umum, mengumpulkan data, dan memastikan terpenuhinya kebutuhan, tidak bisa menggantikan tanggung jawab negara dalam melindungi warganya. 

Mengingat, ribuan orang mengalami dampak dan trauma, di antaranya perempuan dengan beragam usia dan kondisi tubuh, seperti anak-anak, penyintas disabilitas, lansia, dan kelompok rentan di permukiman miskin, yang terpaksa mengungsi di posko-posko dengan fasilitas seadanya.

Felmy Yetti dari LP2M Sumbar menyampaikan, data terpilah perempuan, anak, dan lansia di Sumatera Barat belum sepenuhnya tersedia karena koordinasi masih berlangsung. Namun diketahui, di wilayah seperti Padang Pariaman, air mulai surut dan sebagian penyintas kembali ke rumah, tapi banyak yang mengalami gagal panen. Rata-rata adalah petani, sehingga kesulitan persediaan bahan pokok. 

Pasokan pangan dari Bukittinggi terputus karena akses jalan terputus, menyebabkan harga kebutuhan pokok melonjak dan stok bahan pangan menipis di beberapa wilayah. Di banyak titik, akses jalan masih terputus, jaringan komunikasi lumpuh, dan pendataan penyintas belum lengkap. 

“Laporan dari lapangan menunjukkan perempuan kehilangan sumber penghasilan dan alat kerja, sementara tetap memikul tanggung jawab utama pengasuhan anak, lansia, dan anggota keluarga sakit atau disabilitas,” ujar Femy dalam keterangannya. 

Pengungsian yang ada dinilai belum sepenuhnya ramah bagi perempuan, anak, lansia, dan penyintas disabilitas. Diketahui, fasilitas sanitasi terbatas dan tidak layak, ruang terpisah bagi perempuan dan anak sering kali tidak tersedia, dan kebutuhan spesifik seperti pembalut, popok, makanan tambahan, dan obat-obatan tidak diprioritaskan.

Femy menyampaikan, risiko kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan eksploitasi, meningkat dalam situasi bencana dan pengungsian, sementara mekanisme pelaporan yang aman dan layanan rujukan belum jelas bagi penyintas.

Perempuan dan komunitas lokal yang selama ini menjadi pelopor evakuasi, dapur umum, pendataan, dan distribusi bantuan tidak secara sistematis dilibatkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan respon bencana.

“PESADA menyesalkan kurangnya sosialisasi yang mudah dipahami masyarakat mengenai cuaca ekstrem dan ancaman siklon tropis. Mitigasi bencana sangat kurang, antara lain tidak ada persiapan dan informasi jelas mengenai evakuasi, lokasi pengungsian terdekat, kesiapan perahu karet, serta titik informasi yang dapat menenangkan publik," ungkap Ronald Silalahi dari PESADA, Sumut. 

Tuntut Pemenuhan Kebutuhan Dasar dan Spesifik 

Koalisi Lembaga Perempuan dan Kelompok Rentan Terdampak Banjir Sumatra menyampaikan seruan dan tuntutan agar pemerintah menetapkan rangkaian banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai Bencana Nasional serta memperkuat respon darurat yang cepat, terkoordinasi, dan inklusif.

“Kami mendesak Presiden Republik Indonesia dan Pemerintah Nasional untuk segera menetapkan bencana di tiga provinsi di Pulau Sumatra ini sebagai Bencana Nasional. Tanpa penetapan status tersebut, mobilisasi bantuan lintas daerah, pengerahan sumber daya, dan dukungan anggaran berisiko terus berjalan lambat, parsial, dan tidak sebanding dengan skala kerusakan serta jumlah korban,” ungkap Ulfa Kasim dari Institut KAPAL Perempuan. 

Penetapan Bencana Nasional, menurut pihaknya, adalah prasyarat penting untuk memastikan respon darurat yang terukur, terkoordinasi lintas sektor, dan secara eksplisit mengintegrasikan perspektif gender, disabilitas, dan inklusi sosial dalam seluruh tahap penanganan bencana. Koalisi juga menyerukan agar pemerintah memprioritaskan pencarian dan evakuasi warga, termasuk yang masih terisolasi. 

“Kami menuntut pemerintah menjamin pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan spesifik perempuan dan kelompok rentan. Bantuan kemanusiaan harus mencakup air bersih, sanitasi yang layak dan aman, pangan bergizi, layanan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi, kebutuhan khusus ibu hamil dan menyusui, anak, lansia, serta penyintas disabilitas, dan dukungan psikososial yang mudah diakses,” tegas Ulfa. 

Pemerintah wajib dapat menerapkan standar perlindungan yang mencegah kekerasan berbasis gender dalam situasi bencana. Harus juga melibatkan organisasi perempuan dan komunitas lokal secara bermakna. Koalisi juga menuntut agar pemerintah menjamin transparansi data dan penggunaan anggaran penanganan bencana.

“Dalam jangka menengah dan panjang, kami mendesak adanya pemulihan yang tidak hanya membangun kembali infrastruktur, tetapi juga memperkuat ketahanan komunitas — terutama perempuan dan kelompok rentan — melalui perbaikan tata ruang, perlindungan ekosistem, serta kebijakan adaptasi dan mitigasi krisis iklim yang berpihak pada masyarakat paling terdampak,” imbuh Dina Sihombing, dari PERMAMPU. 

Koalisi menyatakan kesiapan untuk bekerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah, lembaga kemanusiaan, serta berbagai pemangku kepentingan lainnya, untuk memastikan bahwa respon terhadap banjir di Sumatera benar-benar melindungi semua warga, terutama perempuan dan kelompok rentan yang selama ini paling terdampak tapi paling sedikit didengar. (*)

Editor: Redaksi Wongkito
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories