Perempuan Rentan jadi Korban Pinjol Ilegal, KemenPPPA Lakukan Hal Berikut ini

Perempuan Rentan jadi Korban Pinjol Ilegal, KemenPPPA Lakukan Hal Berikut ini (ist)

JAKARTA, WongKito.co – Kemudahan mengakses pinjaman online atau pinjol dan sulitnya membedakan antara legal dan ilegal membuat perempuan rentan menjadi korban dari praktek tersebut.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama Departemen Kriminologi Universitas Indonesia dan MicroSave Consulting (MSC) menyelenggarakan Diskusi Publik dan Diseminasi Hasil Penelitian ‘Perempuan, Risiko, dan Perlindungan Konsumen pada Platform Pinjaman Online di Indonesia’.

“Perkembangan teknologi kini sangat pesat meskipun kita telah merasakan dampak positif dari perkembangan fintech, kita juga menghadapi ancaman negatif perkembangan fintech. Dampak negatif itulah yang menjadi dasar bagi Departemen Kriminologi Universitas Indonesia dan MicroSave Consulting (MSC) melakukan riset berbasis bukti guna memotret pengalamam perempuan pengguna pinjaman online,” kata Deputi Kesetaraan Gender KemenPPPA, Lenny N. Rosalin belum lama ini.

Lenny mengungkapkan perkembangan fintech, terutama platform pinjaman online atau peer-to-peer lending (P2P) mengakibatkan kekhawatiran tersendiri pada masyarakat lantaran dapat merugikan secara material maupun nonmaterial.

Baca Juga:

Karena tuntutan kebutuhan mendesak yang menghantui kehidupan masyarakat, pinjaman online kerap menjadi pilihan tercepat dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan tanpa memerlukan jaminan dalam proses pencairan dana, tambah dia.

Ia menjelaskan tingginya permintaan kredit online, memicu munculnya banyak pinjaman online ilegal dengan bunga pengembalian yang cukup tinggi.

"Akibatnya banyak masyarakat yang justru terlilit hutang dan korbannya sebagian besar adalah perempuan. Banyak perempuan yang terlilit hutang pinjaman online ilegal mengalami ancaman kekerasan berbasis gender online (KBGO) seperti pelecehan seksual, penyebaran informasi data-data pribadi (doxing), hingga intimidasi langsung pada saat penagihan oleh debt-collector,” jelas Lenny.

Lenny menambahkan KemenPPPA sebagai kementerian memiliki tugas dan fungsi koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak telah menjalankan 5 (lima) isu prioritas tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam agenda pembangunan Indonesia ke depan dan upaya mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan dan anak perempuan.

“Kami telah melakukan berbagai upaya dan strategi dalam menjalankan mandat tersebut, diantaranya dengan edukasi, literasi, dan solusi digital perempuan; kebijakan untuk mendukung ekosistem kewirausahaan; serta hadirnya Strategi Nasional Keuangan Inklusi Perempuan (SNKI-P) untuk memastikan semua perempuan pelaku usaha di Indonesia memiliki pengetahuan, kapasitas, sumber daya, dan peluang untuk dapat mencapai dan menikmati pemberdayaan ekonomi,” tutur Lenny.

Sebagai upaya pencegahan, Lenny menekankan KemenPPPA terus berupaya dalam meningkatkan literasi digital perempuan, literasi keuangan perempuan, dan cybersecurity, serta sinergi antar pemerintah pusat, stakeholder, hingga akar rumput menjadi kunci dalam memastikan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan pemenuhan hak-hak perempuan.

“Kita semua harus terus mengedukasi masyarakat, khususnya perempuan dalam hal literasi keuangan, digital, hingga cybersecurity agar perempuan lebih paham dan mengerti tentang risiko dan ancaman pinjaman online, juga bersama-sama mengembangkan sistem perlindungan konsumen dengan memperhatikan mekanisme peminjaman dan pengaduan keluhan yang berspektif gender. Perempuan pun harus mengerti dalam mencari bantuan dan dukungan ketika mengalami kekerasan akibat pinjaman online,” tandas Lenny.

Baca Juga:

Perwakilan dari Bill & Melinda Gates Foundation, Brooke Patterson menyampaikan inklusi keuangan merupakan suatu bentuk kesetaraan dalam akses dan kebutuhan bagi setiap manusia. Setiap individu dan kelompok yang berbeda memiliki keunikan, potensi, dan risiko tersendiri sehingga kebutuhannya pun berbeda.

“Memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang setara terhadap layanan keuangan dan mewujudkan manfaat yang setara mengharuskan kita semua untuk memahami dan menanggapi kebutuhan, serta pengalaman perempuan dalam menggunakan layanan keuangan. Perempuan kerap menjadi target layanan keuangan karena kebutuhan yang beragam. Dalam menekan agar perempuan tidak menjadi korban, perlu dilakukan edukasi dan proteksi berkelanjutan kepada setiap perempuan untuk memahami risiko yang dihadapi dengan memastikan pemahaman produk ataupun layanan keuangan yang akan dipilih ataupun digunakan. Kami di Bill & Melinda Gates Foundation yakin perlindungan konsumen adalah hal yang krusial, khususnya dalam menyertakan perempuan di dalam setiap perjalanannya,” ungkap Brooke.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua Tim Peneliti Departemen Kriminologi Universitas Indonesia, Ni Made Martini Puteri memaparkan dan mendiseminasikan hasil penelitian studi tentang berbagai kerentanan perempuan pengguna dan dampaknya terhadap kekerasan berbasis gender.

Selain itu, hadir pula beberapa panelis diskusi diantaranya Deputi Direktur Pengawasan Financial Technology Otoritas Jasa Keuangan, Rati Connie Foda; Legal and Complaint Handling Manager Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Tiar Sidabutar; Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Citra Referandum; dan Country Director MicroSave Consulting (MSC), Grace Retnowati untuk membahas berbagai hal terkait akses keuangan dan pendanaan, inklusi keuangan perempuan, risiko, dan perlindungan konsumen di Indonesia.(*)


Related Stories