Petani Milenial ini, Ganti Pupuk KCL dengan Olahan Sabut Kelapa

Petani Milenial ini, Ganti Pupuk KCL dengan Olahan Sabut Kelapa (ist)

OKI – Petani milenial memang cocok menjadi andalan sektor pertanian Indonesia. Gak heran, karena generasi  muda ini tentunya memiliki pengetahuan kekinian yang mendukung perluasan budidaya komoditas pertanian.

Termasuk dalam hal menghasilkan komoditas pertanian yang lebih sehat dengan mengurangi ketergantungan terhadap pupuk kimia.

Salah seorang petani milenialDesa Lubuk Seberuk, Kecamatan Lempuing Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Novriansyah (35) kini menghasilkan beras organik dari pupuk yang dibuat sendiri.

Novriansyah mengatakan, peralihan pupuk kimia ke pupuk organik baru sekitar 4 tahun dengan menggarap lahan sekitar 1 hektare.

“Tahun pertama peralihan pemberian pupuk organik satu hektare hanya menghasilkan sekitar 4 ton Gabah Kering Giling (GKG),” ucapnya, mengutip beritamusi.

Baca Juga:

Tetapi di tahun kedua, ketiga semakin meningkat dan untuk tahun ke-4sudah kembali normal seperti saat memakai pupuk kimia yaitu 6 -7 ton.

Dia juga mengatakan, ke depan bakal ada penambahan jumlah lahan yang akan menerapkan pemupukan secara organik.

“Insyaallah kedepan ada penambahan dari lahan persawahan milik tetangga kiri maupun kanan sekitar 7 – 8 hektare,” ujarnya.

Menurutnya, cukup sulit beradaptasi lahan yang sebelumnya diberi pupuk kimia dan beralih dengan pemberian pupuk organik. Hal itu dikarenakan kadar residu dari zat-zat kimia yang telah tercampur kedalam tanah.

Masalahnya banyak lahan-lahan di sini yang masih sakit. Jadi kita harus mencari lahan yang sehat atau bukaan baru.

“Kalau lahan lama sudah terlalu banyak residu dari zat-zat kimia jadi agak susah untuk proses organiknya,” jelas dia.

Berbekal pengalaman dan pelatihan yang telah diikutinya selama ini, Novriansyah mampu membuat sendiri 4 macam jenis pupuk cair dan 1 macam pupuk padat dengan bahan-bahan utama yang didapatkan dari sekitar rumahnya.
 

Baca Juga:


Mulai dari pupuk padat bernama Kohe, pupuk cair urea, fosfat, pengganti KCL dan pupuk PGPR.

“Bahan pembuatan pupuk organik cair (POC) urea yaitu rumput-rumput lalu dicacah dan ditambahi dengan gula cair dan bakteri EM4 dan tunggu dipermentasikan selama kurang lebih 15 – 30 hari,” jelasnya.

“Lalu POC fosfat dengan bahan bonggol pohon pisang kemudian dicacah halus dan diberikan molase (gula cair) serta tambahkan bakteri EM4 secukupnya tunggu selama 1 bulan,” jelasnya lagi.

“Kalau pupuk pengganti KCL bisa diolah dari serabut kelapa dicacah lalu diberi air tambahkan juga gula cair dan beri bakteri EM4 dan fermentasi juga selama 1 bulan,” sebutnya.

Terakhir pembuatan POC PGPR sedikit sulit bahannya, yaitu dari akar-akar bambu, akar putri malu atau akar pisang yang banyak mengandung bakteri.

“Lalu dicampur air matang dan direndam selama 5 hari setelah dapat biangnya dapat barulah dicampur dedak yang sudah direbus dan tambahkan terasi serta campurkan dengan gula cair. Tinggal tunggu selama 15 – 30 hari baru siap disemprotkan,” tuturnya.

Dengan sistem pembuatan pupuk organik ini, dirinya dapat melakukan penghematan biaya perawatan sawah miliknya.

Seluruh pembuatan POC tersebut hanya membutuhkan molase (gula cair) dan bakteri EM4.

“Jadi hanya dua bahan yang dibeli yaitu gula cair perliter Rp 20.000 dan bakteri EM4 perbotol hanya Rp 35.000. Sedangkan bahan baku lainnya bahan dari sekitar atau mudah didapat,” terangnya.

Dirinya berharap agar pemerintah ataupun pihak terkait dapat membantu dari segi pemasaran beras organik tersebut. Agar lebih banyak petani yang beralih memakai pupuk organik.

“Kalau bisa kami ini diarahkan dimana tempat penjualan yang mau menerima beras organik dalam jumlah banyak. Serta diberikan bantuan untuk mengurus ijin untuk mendapatkan label beras organik dan Standar Nasional Indonesia (SNI),” tuturnya.


Related Stories