Ragam
Sejarah Sentra Produksi Kriya Tekstil Tuan Kentang (Bagian 2)
SEBENARNYA di Kota Palembang yang bulan Juni nanti tepat berusia 1337 tahun, terdapat sejumlah sentra produksi kriya tekstil. Ada di kawasan Tanggo Buntung, Kecamatan Ilir Barat II merupakan pusat produksi dan penjualan kain songket. Lalu, di Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I juga terdapat sejumlah kelompok masyarakat yang menenun songket.
Kemudian, ada juga sentra sulam limar di wilayah Seberang Ulu II tepatnya, di kawasan 13 Ulu.
Khusus di sentra produksi dan penjualan kain songket Tanggo Buntung dan sulam limar 13 Ulu, perajinnya adalah penduduk pribumi alias keturunan asli wong plembang.
Sedangkan, penenun songket di Kelurahan 3-4 Ulu merupakan warga pendatang dari kabupaten tetangga Kota Palembang yaitu Ogan Ilir.
Baca Juga:
- Formula E Segera Digelar, ini Fakta Menariknya
- Simak 7 Keajaiban Dunia yang Hingga Kini masih Kokoh dan jadi Magnet Wisatawan
- Buruan Daftar! Telkom Buka 250 Lowongan Kerja
Kali ini, penulis secara khusus mengulik sejarah sentra produksi tenun tajung dan blongket di Jalan Aiptu A Wahab, kawasan permukiman yang berada tidak jauh dari anak Sungai Musi, Sungai Ogan dan juga berdekatan dengan stasiun Kereta Api Kertapati yang telah menjadi sentra industri tekstil.
Perajin di kawasan tersebut, menenun kain khas Palembang tetapi sesungguhnya mereka perantau dari Jawa Barat, tepatnya dari Kabupaten Cirebon.
Bagaimana ceritanya mengapa perajin pribumi justru tidak menenun kain tajung dan blongket yang motifnya mengadopsi motif-motif kain songket dan blongsong, mari kita telusuri awal mula berkembangnya tenun di wilayah permukiman yang memang sangat beragam, baik suku maupun kegiatan usahanya.
Permukiman tersebut sangat heterogen, mulai kawasan yang penduduknya berasal dari Cirebon (Jawa Barat), Serang (Banten) dan Suku Komering (Sumsel). Meskipun tetap masih ada penduduk asli Palembang tetapi jumlahnya sangat minoritas di wilayah tersebut.
Dikenal sebagai sentra produksi sentra industri kriya tekstil tradisional Palembang, Tuan Kentang yang secara teritorial berada di Kelurahan Tuan Kentang, Kecamatan Jakabaring, Palembang sebenarnya tidak hanya memroduksi kain tajung dan blongket tetapi ada juga yang membuat kain jumputan atau kain pelangi. Bahkan, kain jumputan lebih terkenal karena memang cocok untuk dikenakan dalam berbagai kesempatan. Kain jenis ini juga, bisa menjadi bahan beragam busana termasuk dibuat mukena dan jilbab.
Sedikitnya ada 90 unit usaha kain jumputan yang masih terus berproduksi meskipun juga terkena imbas pandemi.
Oya, meskipun sama-sama dari Jawa, kalau perajin kain jumputan mereka berasal dari Serang, Provinsi Banten. Mereka hidup dan membangun usaha secara berkelompok di sentra produksi kriya tekstil tersebut.
Kembali ke bahasan awal, kain tajung dan sejarahnya. Kekinian, terdapat delapan unit rumah produksi kain tenun yang masih bertahan beroperasi, awalnya mencapai belasan unit usaha.
Baca Juga:
- Kesempatan, Berikut Daftar BUMN Buka 2.700 Lowongan Kerja Baru
- Direksi PT KPI Tegaskan Safety Menjadi Komitmen Bersama
- Suka Ngemil tapi Ingin Langsing, Yuk Cek di Sini Caranya
Adalah Durahman (45) generasi ke-3 dari perintis awal tenun kain tajung bercerita, mulanya sang kakek Haji Mami yang berasal dari Kabupaten Cirebon merantau ke Palembang.
"Kakek saya, awalnya ikut orang Palembang dan menjual es keliling sekitar tahun 1960-an," kata Pak Dur, biasa dia disapa.
Setelah cukup lama merantau di kota pempek, sang kakek pun mengenal kain tradisional khas Palembang, Blongsong. Kain Blongsong ini hanya untuk perempuan, terdiri dari sarung dan selendang. Biasanya dipakai saat ada perayaan, pernikahan maupun acara besar lainnya.
Melihat kain tenun dengan motif-motif menawan tersebut, membuat sang kakek berpikir kenapa tidak menenun kain dengan motif serupa tetapi bisa dikenakan oleh kaum pria.
Tahun 70-an akhirnya, Haji Mami dan rekannya mulai belajar menenun dan membuat alat tenun khusus agar lebih mudah menenun kain. "Kalau kain blongsong kan alat tenunnya gedogan menenun dilakukan dengan cara duduk selonjoran," kata Durahman.
“Sangat tidak praktis jika menggunakan alat tenun gedogan, karena penenun tidak bisa leluasa bergerak,” kata dia.
Lalu, terciptalah alat tenun yang bisa memroduksi kain dengan cara duduk tegap alias menggunakan kursi.
"Penenun bisa lebih nyaman dan bergerak aktif meskipun sembari duduk dengan ATBM baru," ujar dia lagi.
Lanjutlah, menenun kain tajung, hasil tenun perdana dijual ke pedagang atau agen kain songket dan blongsong di Pasar 16 Ilir Palembang. "Itu sekitar tahun 1970-an," ungkap dia.
Agen yang keturunan arab awalnya menyebut kain tersebut gebeng-gebeng.
Seiring waktu, akhirnya dipilih nama yang tepat dan diharapkan hoki jadilah kain tenun khusus untuk kaum pria tersebut dinamai kain tajung alias ditata sampai ke ujung. Jadi tajung tersebut akronim dari ditata sampai ke ujung.
Pesanan kain tajung pun terus meningkat, dan hal itu tentunya berdampak pada kebutuhan tenaga penenun pun bertambah, yang kemudian didatangkan dari kampung halaman Desa Bode dan sekitarnya di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Tahun 90-an menurut Durahman tonggak awal perjuangan sang kakek merintis usaha di rantau berhasil dengan sukses, pesanan kain terus berdatangan. Pemakai kain sarung tajung pun makin meluas.
Saat itu, produksi kain tajung sudah dikelola oleh Asmita sang ayah. Meskipun secara langsung Haji Mami masih terus mengecek kualitas tenunan karya perajin.
Namun, pas krisis moneter tahun 1998 produksi kain sangat terdampak karena bahan baku yang didatangkan dari India dan China melambung harganya. Kondisi tersebut bertahan cukup lama. Hingga akhirnya diawal tahun 2000-an Pemkot Palembang melirik kawasan tersebut dan mendorong menjadi pusat perekonomian masyarakat berbasis industri tekstil lokal.
Itulah awal dari ditetapkannya sentra produksi kain tajung dan jumputan khas Palembang Tuan Kentang. Didukung Pemkot Palembang akhirnya secara bertahap kawasan yang sebelumnya merupakan area padat penduduk yang cenderung kumuh mulai tertata.
Bukan hanya penataan kawasan, tetapi pemkot juga mendatangkan pejabat dari Kementerian bahkan tamu asing untuk membeli kriya tekstil karya perajin dari kampung yang penduduknya mayoritas berasal dari Cirebon dan Serang tersebut.
Kekinian, sentra produksi kain tajung dan jumputan tersebut sudah menjadi ikon PKBL BUMN dan BUMD yang dinilai berhasil. Namun, pandemi juga meluluh lantaknya produktivitas perajin di daerah tersebut akibat minimnya pesanan kain dengan beragam motif tersebut.
Kepala Dinas Perindustrian Kota Palembang, Novran Hansya Kurniawan mengakui kalau dirinya sejak memimpin Kecamatan Seberang Ulu I, sudah terlibat aktif membangun salah satu kawasan sentra produksi kain tradisional Palembang tersebut.
Potensi ekonomi masyarakat perajin kain jumputan dan kain tajung tersebut dikembangkan secara bertahap. Mulai dari membawa karya perajin ke pameran lokal sampai dengan ajang internasional.
"Tak tanggung-tanggung kain-kain tradisional tersebut pernah dijual di ajang pameran tingkat dunia, termasuk di Dubai dan Amerika Serikat," kata dia.
Diakui dia, selanjutnya pemkot pun menjadikan kawasan tersebut sebagai destinasi wisata industri kriya andalan kota pempek.
"Kami mendukung permukiman perajin menjadi sentra produksi yang menarik wisatawan, dengan merevitalisasi kawasan tersebut," kata dia lagi.
Baca Juga:
- BI Tahan Suku Bunga Acuannya di 3,5%, Ini Alasannya
- Miniatur Ampera Bolu Kojo Pecahan Rekor MURI, Tim PKK di Palembang Turut Mendukung
- Safari Ramadhan, Pemprov Sumsel Apresiasi Partisipasi Kilang Pertamina Plaju Dalam Pembangunan Daerah
Untuk selanjutnya, mulai banyak program pemerintah yang tertarik untuk mendukung sentra produksi kriya tersebut. Di antaranya, PKBL dari BUMN dan BUMD dengan diinisiasi Bank Indonesia Perwakilan Sumatera Selatan.
Selanjutnya, pengembangan kawasan tersebut menjadi wilayah ekonomi terpadu berbasis kriya tradisional Palembang dilakukan secara masif. Geliat perekonomian masyarakat di daerah tersebut tentunya mampu menjadi penopang kebutuhan hidup warga.
Laiknya, pelaku usaha lainnya di belahan dunia pandemi membuat mereka terpaksa sempat berhenti memroduksi karya seni yang diwariskan secara turun temurun itu. Bahkan hingga kini, kondisi perekonomian masyarakat perajin belum stabil.
Motif Tenun Sarat Makna
Kain tenun tajung sendiri motifnya mengadopsi dari kain blongsong, seperti motif bebek mentok, limar bebek setaman, ubur-ubur dan juga gajah mada.
Durahman bertutur kalau motif-motif kain tajung tersebut memiliki makna yang sangat agung, mulai dari motif limar bebek mentok yang merupakan akulturasi dari budaya Palembang, Melayu, Tionghoa dan Arab.
Motif ini menggambarkan masyarakat asli Palembang dan pendatang hidup dalam keharmonisan dan semuanya diatur dengan norma-norma dan adat istiadat yang luhur.
Kain dengan motif ini, bernuansa ceria, bijaksana dan ramah sehingga tidak hanya cocok dan nyaman dikenakan dalam berbagai kesempatan. Kain tenun ini juga sarat pesan kebhinekaan dan toleransi.
Motif gajah mada memiliki makna kepemimpinan, motif ini menggambarkan masyarakat Palembang yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberanian, kebijakan dan berintegritas sebagai mana sumpahnya Gajah Mada “Dimana Bumi dipijak di situ langit dijunjung tinggi”.
Kain tenun dengan motif ini, bernuasa bijaksana, berani dan toleran.
Satu contoh lagi, motif ubur-ubur. Motif inilah yang dianggap memiliki kemiripan dengan kain tradisional Bali sehingga masyarakat Pulau Dewata banyak yang memesan kain dengan motif ubur-ubur.
Motif ubur-ubur menggambarkan kemandirian, dimana masyarakat Palembang teguh pendiriannya, tidak suka mencampuri urusan orang lain, tetapi juga tidak suka di ganggu.
Itulah, contoh dan makna sejumlah motif pada kain tajung dan blongket Palembang. Untuk bahan kain, kita dapat menentukan pilihan apakah berbahan sutera atau katun.
Motif juga bisa dikombinasikan dengan benang emas atau tidak menggunakan benang emas. Semuanya bisa kita pesan langsung ke perajin, meskipun kalau memesan butuh waktu lebih lama penyelesaiannya.
Membeli kain tajung atau blongket kini pun bisa kita tentukan pilihan, beli bahan meteran atau langsung memesan pakaian jadi. Beragam pakaian siap pakai, seperti kemeja, tunik dan gaun pesta juga disiapkan rumah produksi tenun RTA. (Nila Ertina)
Tulisan ini merupakan tugas akhir fellowship Banking Editors Masterclass (BEM Batch 3) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.