Potret Perajin Kain Tajung dan Blongket  Palembang yang Tertatih, Butuh Sentuhan Perbankan agar Kembali Bangkit (Bagian 1)

Sentra produksi kriya kain tajung dan blongket di Lorong Guba Hmm (WongKito.co/Nila Ertina)

MEMASUKI kawasan sentra produksi kriya tekstil tradisional Tuan Kentang, Kota Palembang, Sumatera Selatan disambut jejeran toko-toko yang tidak kalah artistik dan menarik meskipun kita berada di dalam lorong sempit yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua.

Tampak toko-toko tersebut memajang kain jumputan, tajung dan blongket yang menjadi karya seni kain khas kawasan tersebut.

Ada juga, gaun dan busana baik untuk perempuan maupun laki-laki  bahkan sepatu berbahan perpaduan kain tradisional tajung juga dipajang pemilik toko. Tentunya, pemandangan itu sungguh mencerminkan geliat  ekonomi masyarakat  perajin kain tradisional di daerah tersebut.

Sekitar 10 tahun lalu, di sepanjang lorong tersebut berderet rumah panggung yang menjadi ciri bangunan Sumatera Selatan. Di bawahnya terdapat pekerja yang menenun kain, sedangkan bagian atas rumah menjadi gerai yang menawarkan hasil karya seni penenun di kolong rumah tersebut, berupa kain meteran terdiri dari sarung dan selendang.

Baca Juga:

Kekinian, rumah panggung telah berganti  menjadi rumah permanen yang telah dibangun dengan rapi. Hampir semua rumah di Lorong Guba Hmm memiliki gerai di bagian bawah rumah. 

Rumah produksi pun kini telah beralih ke lorong tak jauh dari gerai, hanya berjalan beberapa  puluh meter,  saya bersama seorang teman diajak Syarifuddin salah seorang pemilik Rumah Tajung Antiq (RTA)  menuju tempat produksi kain tajung dan blongket miliknya.

Saat berjalan menuju Lorong Sawah, warga yang mayoritas mengantungkan hidup dari karya seni kain tersebut  tampak sibuk melakukan berbagai aktivitas. Seorang perempuan, duduk santai di teras rumahnya sambil tangannya tak henti memintal benang berwarna putih tulang. Rupanya sang ibu, sedang mengerjakan bagian dari salah satu dari 11 alur produksi tenun blongket  yaitu mengelos benang lusi. Sebelum proses  tersebut,  benang berbentuk gulungan dengan berat  5 kilogram yang dipasok pedagang dari Kota Surabaya, benang emas dan benang sutra merupakan produk impor asal India dan Tiongkok.

Dengan piawai sambil sesekali membuang bagian benang yang rapuh dan tidak sama ukurannya,  perempuan itu terus mengulung benang-benang tersebut. Iya, perempuan berusia 30 tahunan tersebut  satu dari puluhan ibu muda yang tetap produktif meskipun hanya tinggal di rumah semi panggung miliknya.

“Krek krek….krek…..semakin mendekati rumah produksi milik RTA suara hentakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) silih berganti terdengar dan semakin terdengar keras saat sudah dekat, rumah tempat penenun bekerja kini tidak lagi di bagian bawah rumah panggung tetapi sudah disediakan rumah khusus untuk produksi kain tajung dan blongket.

Ketika tiba di rumah produksi tenun RTA sekitar pukul 11.00 WIB, tampak sejumlah penenun sedang fokus membuat  kain blongket  dengan beraneka ragam motif. Ada motif gadjah mada, ubur-ubur dan juga limar bebek setaman.

Terdengar suara saling bersahutan bercanda dengan lamat-lamat  terdengar dialek bahasa Cirebon perpaduan bahasa Jawa dan Sunda. Sesekali penenun juga menyanyikan tembang dari babad tanah Cirebon, musik tarling. Sudah menjadi rahasia umum kalau Cirebon memiliki berbagai seni budaya yang tentunya sangat dicintai turun temurun oleh masyarakat di sana. Di kenal juga sebagai ikon dangdut  Pantura membuat keturunan Cirebon yang hidup di rantau pun tetap mencintai musik dari kawasan Pantai Utara Jawa itu.

Ada sejumlah lagu yang hingga kini melegenda yaitu “Warung Pojok”, “Tetep Demen” dan “Manuk Dara Tarling”. Lagu-lagu khas daerah yang juga menjadi wilayah berdakwanya Sunan Gunung Djati atau satu dari Sembilan Wali tersebut jadi penghibur rindu kampung halaman bagi perantau, termasuk perajin di sentra produksi kriya tekstil Tuan Kentang. Krek krek….krekk kembali hentakan ATBM memecah suasana yang saat  itu sedang hening karena kedatangan kami.

Syarifuddin yang bersedia menemui dan diwawancara mengajak kami tour ke lorong-lorong rumah produksi kain tajung dan blongket mengungkapkan kalau produksi kain tetap berjalan di tengah badai pandemi COVID-19.

"Usaha kami tetap bertahan selama pandemi, meskipun tertatih dan sempat pernah sama sekali tidak ada penjualan," kata dia belum lama ini.

Minimnya penjualan tentu berdampak pada berkurangnya produksi kain tajung dan blongket.

Baca Juga:

Di sela-sela memantau dan memeriksa secara teliti tenun para seniman kain, sebutan ini sengaja diciptakan Syarifuddin untuk mengharga karya seni kain yang diproduksi pekerjanya, ia mengungkapkan sebagai sentra produksi kain tradisional Palembang yang telah menjadi destinasi wisata andalan, penjualan produk kain dari Tuan Kentang  selama ini sangat bergantung kepada wisatawan yang datang.

Kekinian meskipun tertatih, produksi dan penjualan kain mulai kembali  bergairah, namun masih belum bisa  meningkatkan produksi akibat  terkendala permodalan. Selama ini, mayoritas perajin mengandalkan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) dari sejumlah perusahaan terutama BUMN dengan pinjaman modal mulai dari Rp25 juta per unit usaha.

"Ada puluhan unit usaha dari empat lorong yang menjadi bagian dari sentra produksi kain yang mengandalkan bantuan modal dari  PKBL sebelum pandemi," kata  pria yang juga tetap terlibat dalam proses memroduksi kain tersebut.

Di sini, ada PKBL dari PT Pegadaian, Pertamina, Pusri, BNI, BRI maupun BI serta sejumlah perusahaan milik negara lainnya. Untuk PKBL tersebut programnya dikoordinasikan Bank Indonesia (BI) Perwakilan Sumatera Selatan.

Namun, sejak pandemi hingga mulai diterapkan aturan normal baru oleh pemerintah belum adalagi program bantuan modal  bagi pelaku usaha di daerah itu. Padahal, pinjaman modal menjadi bagian penting untuk mendukung membangkitkan produksi kriya tekstil di kawasan tersebut agar bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Perlu Literasi Fintech

Menjadi bagian dari PKBL tentu merupakan pilihan paling memungkinkan bagi perajin karena bunga kredit yang ditetapkan kecil berkisar 2,5% ,kalau bank konvensional rata-rata di atas 6%  khusus  untuk bunga kredit pelaku usaha mikro dan kecil.

Apalagi, kalau berhubungan dengan bank digital atau fintech bunga bisa sangat  tinggi. Karenanya, hingga kini perajin di kawasan tersebut mengaku belum berani mengakses perbankan berbasis digital karena takut dengan bunga tinggi meskipun ada harapan akan mendapatkan kredit  lebih besar.

"Kalau memang memungkinkan, kami berharap ada bank digital yang memberikan kemudahan dalam memberikan pelayanan kredit  bagi pelaku UMKM bukan hanya mudah diakses dengan persyaratan minimalis tetapi juga memberikan kebijakan bunga kecil bagi kami," kata Syarifuddin lagi.

Sampai kini, pelaku usaha di wilayah tersebut masih sebatas mendengar adanya bank berbasis digital yang memberikan kemudahan akses untuk pinjaman modal.

Namun, belum sama sekali tersentuh atau ada yang mengenalkan bagaimana kemudahan mengakses pembiayaan bagi pelaku usaha di kawasan yang telah dirintis sejak tahun 1970-an tersebut.

"Penting juga bagi kami, ada yang memberi literasi bank digital yang konon katanya memberikan kemudahan bagi pelaku usaha mendapatkan pembiayaan," ujar dia.

Literasi bank digital tak sekedar memberi kemudahan akses bagi pelaku usaha, tetapi juga menjadi cara mengantisipasi berbagai kemungkinan dampak negatif akibat ketidaktahuan dalam mengakses fintech.

Literasi fintech menjadi penting bagi pelaku usaha guna menghindari praktik fintech ilegal atau biasa disebut pinjol yang merugikan peminjam. Sebenarnya, sudah ada korban yang berasal dari pelaku usaha, meskipun pinjaman tidak seberapa namun dampaknya cukup luas. 

Bank Sumsel  Babel Kenalkan  Produk Digital

Sebenarnya kata Asisten Relationship Officer PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan dan Bangka Belitung (Bank Sumsel  Babel) Cabang Palembang, Petty Monalisa kekinian pelaku usaha mikro dan kecil ketika berhubungan dengan perbankan tidak selalu berkaitan dengan kredit atau pembiayaan.

Namun, perbankan di era digital kini dapat menjadi partner strategis dalam mengembangkan usaha  dengan terlibat memberdayakan pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)  yaitu membantu promosi, kata  Petty  baru-baru ini.

Gedung Bank Sumsel Babel (banksumselbabel.com

Alasan realistis perbankan mengintervensi hasil produksi pelaku usaha adalah upaya  untuk meningkatkan nilai ekonomis kain songket, tajung, jumputan maupun blongket.

Dengan target  tambah Petty karya-karya perajin akan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi jika dijual langsung ke pengguna, dimana selama ini mayoritas masih menjual ke butik atau toko pakaian. Sistem penjualan business to business  seperti itu, mengakibatkan perajin hanya mendapatkan keuntungan kecil sedangkan pemilik butik jauh lebih untung.

Untuk itu, selama pandemi Bank Sumsel Babel tetap melakukan sejumlah kegiatan guna memfasilitasi perajin kriya tekstil menjual produk mereka meskipun memang belum optimal karena berbagai pembatasan yang ketat. Setidaknya sejak awal pandemi hingga tahun 2021, empat kali pameran diselenggarakan. Pameran tersebut digelar dengan mengajak stakeholder lainnya, seperti pemerintah dan perusahaan milik negara dan perusahaan swasta membeli produk karya perajin.

Pameran di ajang Enkraf Sriwijaya yang diselenggarakan bekerja sama dengan Pemprov Sumatera Selatan dan Pemkot Palembang serta sejumlah mal merupakan contoh yang telah diselenggarakan. 

Bank Sumsel  Babel tak hanya sebatas memfasilitas tempat tetapi juga mengenalkan produk perbankan berbasis digital termasuk dengan menyediakan lapak khusus secara online bagi perajin kain tradisional  Palembang.

Lalu, tak ketinggalan pengenalan alat  transaksi digital Quick Response Code Indonesian Standard atau QRIS yang digunakan untuk pembayaran dengan menggunakan metode QR Code dari Bank Indonesia.

Baca Juga:

Pengenalan QRIS dilakukan Bank Sumsel Babel sejak pertengahan tahun 2020, hal itu seleras dengan situasi pandemi yang membatasi penggunaan uang tunai sebagai langkah menghindari penyebaran virus corona.

Sama dengan QRIS yang bertransaksi cukup dengan menggunakan telpon seluler, penggunaan fasilitas mobile banking untuk mendukung aktivitas lain, seperti pembukaan rekening dan transfer juga dioptimalkan kepada pelaku UMKM.

Hasilnya, kini mayoritas perajin kriya tekstil sudah menggunakan alat transaksi  digital dalam setiap penjualan produk. Lebih dari 1.500 UMKM yang menggunakan QRIS, dimana 20 persen diantaranya adalah  pelaku usaha tekstil yang tersebar di Kota Palembang.

Telah terdaftarnya hampir  2.000 pelaku usaha menggunakan QRIS menjadi bukti kalau kekinian nasabah Bank Sumsel  Babel khususnya di kota pempek mulai merasakan lebih nyaman menggunakan transaksi secara digital. Hal itu, tentunya berkaitan dengan program literasi perbankan digital yang secara rutin dilakukan kepada nasabah dan masyarakat umum.

Di sisi lain, terkait dengan pembiayaan selama pandemi COVID-19 untuk pelaku usaha khususnya perajin kriya tekstil, tambah Petty, sebenarnya banyak program yang digelontorkan pemerintah untuk membantu mereka. Termasuk memberikan kebijakan restrukturisasi cicilan kredit.

"Hanya saja, harus diakui hingga kini masih banyak unit usaha yang belum memenuhi  kriteria  bank alias  tidak bankable," ungkap dia.

Kondisi tersebut membuat pelaku UMKM tak berhasil mengakses perbankan, sehingga ada juga yang memanfaatkan fintech P2P illegal untuk pembiayaan. Laporan terkait  dengan pelaku usaha menjadi korban pinjaman online (pinjol) illegal memang tidak banyak karena sebagian besar mereka sudah sangat  berhati-hati dalam upaya mencari pendanaan. 

Ke depan, literasi perbankan dengan akselerasi digital akan diintensifkan untuk mendukung pelaku usaha, termasuk perajin kain tradisional Palembang, tutur  Petty. (Nila ertina)

Bagian 2

Bagian terakhir

Tulisan ini merupakan tugas akhir fellowship Banking Editors Masterclass (BEM Batch 3) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

Editor: Nila Ertina

Related Stories