Simak Daftar Negara yang Gagal Redenominasi, Kenali Penyebabnya

Mata uang Zimbabwe yang alami Hiperinflasi (ebay)

JAKARTA  - Kebijakan redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang kerap ditempuh berbagai negara untuk menata sistem keuangan, menyederhanakan transaksi, dan memperkuat kepercayaan publik terhadap mata uang nasional. 

Namun, hasilnya tidak selalu seragam. Ada negara yang berhasil menjalankannya secara mulus, tetapi tidak sedikit pula yang gagal akibat kondisi ekonomi dan sosial yang tidak mendukung.

Dilansir TrenAsia  jejaring WongKito.co dari berbagai sumber, Senin, 10 November 2025, Berikut rangkuman sejumlah negara yang masuk kategori gagal dalam menerapkan redenominasi beserta faktor utama penyebabnya.

1. Rusia (1998)

Rusia melakukan redenominasi saat perekonomian tengah terpuruk pasca-krisis finansial Asia dan gejolak internal. Pemerintah memotong tiga nol pada rubel, namun kebijakan tersebut diterapkan ketika inflasi tinggi, cadangan devisa melemah, dan defisit APBN melonjak. 

Kurangnya koordinasi kebijakan fiskal dan moneter membuat rubel kembali terjun bebas setelah redenominasi. Alih-alih memulihkan stabilitas, kebijakan ini memperburuk krisis keuangan Rusia dan memicu jatuhnya kepercayaan publik terhadap rubel.

2. Zimbabwe (2006–2009)

Zimbabwe merupakan contoh paling ekstrem kegagalan redenominasi. Pemerintah tiga kali menghapus nol pada mata uangnya, total 25 nol. Namun tetap gagal menghentikan hiperinflasi yang mencapai 89,7 triliun persen pada Juli 2008. 

Reformasi tidak dibarengi penanganan akar masalah, seperti korupsi, kolapsnya sektor pertanian, dan sanksi internasional. Akibatnya, mata uang Zimbabwe kehilangan fungsi sebagai alat tukar, dan negara akhirnya menggunakan dolar AS dan rand Afrika Selatan sebagai mata uang utama.

3. Argentina (1970-an–2000-an)

Argentina telah melakukan redenominasi lima kali, terakhir pada 1992 saat memperkenalkan Peso Convertible. Meski sempat menurunkan inflasi, keberhasilan tersebut tidak bertahan lama. 

Penyebab utamanya adalah defisit fiskal kronis, ketergantungan pada utang luar negeri, lemahnya reformasi struktural, dan instabilitas politik. Ketika krisis 2001 meledak, inflasi kembali meroket dan peso jatuh. 

Saat ini, Argentina kembali menghadapi inflasi sangat tinggi sehingga nilai peso terus tergerus, menunjukkan bahwa redenominasi tanpa pembenahan fundamental hanya menciptakan stabilitas sesaat.

Baca juga : Harga Pangan di Jakarta Hari Ini: Kedelai Melonjak 53 Persen

4. Korea Utara (2009)

Korea Utara menerapkan redenominasi untuk menekan ekonomi informal dan pasar gelap. Namun kebijakan tersebut dilakukan dengan pembatasan nilai penukaran yang sangat ketat, sehingga sebagian besar tabungan masyarakat menjadi tidak bernilai. 

Pemerintah juga membatasi kepemilikan uang baru, memicu kepanikan finansial dan kelangkaan barang pokok. Harga pangan meningkat tajam, memicu gejolak sosial dan kelaparan. 

Kebijakan ini dianggap gagal total karena merusak kepercayaan publik dan memperburuk kondisi ekonomi negara yang sudah rapuh.

5. Brasil (1960–1994)

Brasil mengalami inflasi kronis selama lebih dari tiga dekade. Pemerintah berganti mata uang enam kali, mulai Cruzeiro, Cruzado, hingga Cruzeiro Real.

Redenominasi dilakukan tanpa reformasi fiskal dan moneter yang memadai sehingga inflasi tetap tinggi. Baru pada 1994, pemerintah memperkenalkan Plano Real, paket reformasi ekonomi terpadu yang mencakup pengendalian fiskal, kebijakan moneter ketat, dan indeksasi harga. 

Inilah yang akhirnya berhasil memulihkan kepercayaan dan menekan inflasi secara berkelanjutan, menjadikan Real (BRL) stabil hingga sekarang.

6. Serbia / Yugoslavia (1993–1994)

Serbia menghadapi salah satu kasus hiperinflasi terburuk dalam sejarah ekonomi dunia. Harga-harga melonjak dua kali lipat setiap 34 jam. Pemerintah mencetak uang tanpa kendali untuk membiayai perang Balkan, memperparah defisit dan meruntuhkan nilai dinar. 

Redenominasi dilakukan berkali-kali, namun gagal memulihkan kepercayaan karena tidak diiringi reformasi kebijakan fiskal dan penyelesaian konflik. Mata uang baru tidak mampu menghentikan kejatuhan nilai dinar maupun stabilitas harga.

Baca juga : 

7. Ghana (2007)

Ghana melakukan redenominasi dengan mengonversi 10.000 Cedi lama menjadi 1 Cedi baru untuk mempermudah transaksi dan administrasi keuangan. Secara teknis, proses berjalan lancar dan diterima publik. Namun efeknya hanya sementara. 

Tanpa reformasi sektor fiskal dan peningkatan produktivitas ekonomi, inflasi kembali naik dan nilai tukar Cedi melemah signifikan. Redenominasi ini dianggap sukses dari sisi administratif, namun gagal mencapai tujuan jangka panjang untuk stabilisasi ekonomi.

8. Venezuela (2008, 2018, 2021)

Venezuela telah menghapus 14 nol dari mata uang Bolivar dalam tiga gelombang redenominasi. Namun, hiperinflasi tetap bertahan akibat kombinasi buruknya kebijakan moneter, ketergantungan pada ekspor minyak, sanksi internasional, dan runtuhnya kepercayaan publik. 

Pada 2021, pemerintah memperkenalkan Digital Bolivar untuk memodernisasi sistem pembayaran, tetapi inflasi masih berada di atas 200% dan dolar AS lebih dipercaya sebagai alat transaksi. Hal ini menunjukkan bahwa redenominasi tanpa pemulihan kepercayaan publik hanya memberi efek kosmetik.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 10 Nov 2025 

Bagikan

Related Stories