Ragam
Soft Drink Dikenakan Cukai, Simak Asal Muasal Gagasan Penerapan Embrionya Sudah Ada Sejak 1922
JAKARTA - Penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) atau yang lebih dikenal dengan soft drink sudah dilahirkan sejak tahun 1922.
Sejumlah negara yang pertama kali menerapkan cukai ini, awalnya memberlakukan pajak untuk gula, dan seiring dengan perkembangannya, cukai pun mulai diterapkan secara khusus untuk MBDK.
Dikutip dari The Guardian, Kamis, 12 Januari 2023, negara pertama yang menerapkan pajak serupa cukai MBDK adalah Norwegia.
Baca Juga:
- Simak, Ini Tanda Penipuan Berkedok Lowongan Kerja Freelance
- Serap 27.526 Orang, KEK Kantongi Investasi Rp30,9 Triliun Tahun 2022
- TPK Hotel Bintang di Sumsel Meningkat Sebesar 3,70 Poin
Norwegia sudah menerapkan pajak gula sejak 1922. Akan tetapi, pada saat pertama dicetuskan, tujuan dari pengenaan pajak gula ini bukan untuk mengurangi konsumsi masyarakat atas makanan-minuman yang mengandung risiko diabetes, melainkan untuk menambah penerimaan negara.
Akan tetapi, seiring dengan perkembangannya, pemerintah Norwegia pun mulai mengarahkan agar cukai gula ini bisa menjadi salah satu instrumen untuk mengendalikan konsumsi makanan-minuman manis yang berpotensi menyebabkan diabetes.
Dikutip dari situs Diabetes.co.uk, setiap orang di Norwegia diperkirakan mengonsumsi sekitar 24 kg, angkanya menurun drastis dari 43 kg perorang pada tahun 2000.
Penurunan konsumsi gula ini pun diikuti oleh turunnya penjualan minuman berpemanis yang mana tingkatnya sempat memuncak di kisaran 93 liter perorang pada akhir 1990-an.
Akan tetapi, pada tahun 2019, konsumsi minuman berpemanis di Norwegia sudah menurun drastis ke kisaran 47 liter perorang.
Penerapan cukai gula di Norwegia pun diikuti oleh Denmark pada tahun 1930. Tujuannya pada saat itu sama seperti yang dicanangkan oleh Norwegia, yakni untuk menambah penerimaan negara.
Dalam perkembangannya, penerapan pajak gula di Denmark berkembang menjadi cukai untuk MBDK yang diberlakukan untuk pengendalian kesehatan masyarakat.
Bahkan, pada saat terjadi Reformasi Perpajakan pada tahun 2010, pemerintah Denmark berupaya menurunkan pajak atas penghasilan dan menaikkan pajak atas barang-barang konsumsi yang dinilai merugikan kesehatan masyarakat, salah satunya MBDK.
Kemudian, pada tahun 1940, Finlandia pun mulai menerapkan pajak gula karena pada saat itu, komoditas ini merupakan barang konsumsi yang mewah sehingga pemerintah tercetus untuk menambah penerimaan negara melalui pemberlakuan cukai.
Gelombang baru terjadi pada 2010, yang mana pada saat itu beberapa negara mulai berbondong-bondong menerapkan cukai MBDK, di antaranya Afrika Selatan, Australia, Hungaria, dan Meksiko.
Pemerintah di negara-negara tersebut memutuskan untuk mengendalikan konsumsi MBDK di masyarakat melalui penerapan cukai untuk mengurangi tingkat obesitas yang tinggi pada saat itu.
Cukai MBDK pun mulai marak diberlakukan di berbagai negara di dunia. Pada 13 Desember 2022, World Health Organization (WHO) mencatat sudah ada 85 negara yang menerapkan cukai MBDK.
Cukai MBDK di Indonesia
Pada tahun 2020, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mulai bekerja sama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk melakukan analisis kelayakan penerapan cukai pada MBDK.
Cukai MBDK ini sendiri mulai tercanangkan dalam upaya pemerintah seiring dengan penetapan strategi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024 bidang kesehatan yang berkaitan juga dengan pengembangan sumber pembiayaan negara yang baru.
Pemerintah pun sudah menyatakan rencananya untuk memberlakukan cukai MBDK pada tahun 2023 dan menargetkan penerimaan senilai Rp1,5 triliun dari pajak tersebut.
Pada awal tahun 2020, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyampaikan kepada Komisi XI DPR RI bahwa cukai MBDK berpotensi untuk menambah penerimaan negara senilai Rp6,25 triliun.
Pada saat itu, Sri Mulyani mengusulkan tarif cukai untuk teh kemasan sebesar Rp1.500 perliter dan minuman karbonasi Rp2.500 perliter.
Sementara itu, untuk energy drink, kopi, dll, Sri Mulyani mengusulkan tarif cukai sebesar Rp2.500 perliter.
Pada 4 Juli 2022, tepatnya dalam audiensi Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI bersama Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), anggota BAKN DPR Muhammad Misbakhun menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui penerimaan cukai dari MBDK.
“Kontribusi konsumsi MBDK membuat beban kesakitan dan kematian terus meningkat sehingga cukai MBDK diperlukan untuk membatasi konsumsi tinggi MBDK,” katanya.
Plt Research Manager CISDI Gita Kusnadi dalam kesempatan tersebut pun mengusulkan tarif cukai MBDK sebesar 20% demi mendorong dampak positif untuk kesehatan, sosial, dan ekonomi.
Baca juga:
- Simak, Ini Tanda Penipuan Berkedok Lowongan Kerja Freelance
- Serap 27.526 Orang, KEK Kantongi Investasi Rp30,9 Triliun Tahun 2022
- TPK Hotel Bintang di Sumsel Meningkat Sebesar 3,70 Poin
Penerapan cukai MBDK ini pun dikatakan Gita semakin penting karena tingkat konsumsinya sudah meningkat hingga 15 kali lipat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.
"Tingginya konsumsi MBDK berisiko menyebabkan penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung, serta beberapa jenis kanker. Di masa pandemi juga ditemukan orang dengan diabetes memiliki resiko lebih tinggi terinfeksi COVID-19,” kata Gita.
Terbaru, Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Kemenkeu Askolani mengatakan bahwa penerapan cukai untuk produk MBDK ini masih bersifat perencanaan dan implementasinya akan disesuaikan dengan kondisi ekonomi terbaru di tahun 2023.
"Itu sifatnya masih perencanaan, jadi tentunya sama dengan di 2022, tapi implementasinya akan kita sesuaikan dengan kondisi dari ekonomi, sosial, dan pemulihan ekonomi tahun 2023," kata Askolani konferensi pers APBN Kita beberapa waktu lalu.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 12 Jan 2023