Dampak Perubahan Bentang Alam, Masakan Pindang Ikan Mulai Terancam Hilang

Teater Potlot mempertunjukan karya ke-45 yang bertajuk Merawat Sungai Dari Dapur dengan mempersentasikan naska karya Conie Sema dan Twijaya yang berjudul Dapur Ibu dan Anak-anaknya di Taman Budaya Sriwijaya Sumatera Selatan, Jakabaring, Palembang pada Senin, (7/11/2022). (WongKito.co/Sigit Prasetya)

PINDANG merupakan masakan khas Sumatera Selatan yang menandakan lanskap atau bentang alam di Sumatera Selatan. Dimana, ada ekosistem wilayah dataran tinggi, dataran rendah dan pesisir yang tersambung melalui sungai.

Ada sembilan sungai besar yang menghubungkan tiga ekosistem yang disebut Batanghari Sembilan yaitu Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Rawas, Sungai Kelingi, Sungai Rupit, Sungai Batanghari Leko, Sungai Lakitan, dan Sungai Musi.

Masakan pindang berbahan baku utama ikan yang diambil dari sungai-sungai tersebut. Untuk menjadi masakan pindang yang lezat dan segar, ikan direbus bersama beragam bumbu yang juga didapatkan dari kebun atau halaman warga di Sumatera Selatan.

Pindang merupakan media alkulturasi dan sarana ekspresi dan komunikasi perempuan Melayu.

Adalah Teater Potlot komunitas opera di Kota Palembang, diketua Taufik Wijaya yang secara konsisten menyampaikan pentingnya menjaga bentang alam, di Sumatera Selatan yang kekayaannya sangat beragam dan berlimpah.

Baca Juga:

Taufik Wijaya atau bisa dipanggil Kak TW, budayawan dan juga jurnalis mengungkapkan secara khusus Teater Potlot menampilkan karya-karya dengan memadukan budaya dan lingkungan.

Sebelum menggarap Pindang sebagai karya ke-45 menjadi tema festival, seminar dan penampilan teater. Teater Potlot juga telah menampilkan karya diantaranya Rawa Gambut, Talangtuwo Glosarium dan Tari Rahim Sungai Musi.

Terancam Hilang

Kekinian, keberadaan masakan pindang di Sumatera Selatan mulai terancam hilang. Sebab perubahan bentang alam, seperti kerusakan sungai, rawa gambut, dan hutan telah terjadi.

Akibatnya, berdampak langsung pada berkurang ikan-ikan khas di sungai wilayah Sumatera Selatan, seperti ikan lumajang dan ikan baung atau hilangnya bahan baku masakan pindang.

Taufik menjelaskan sekitar 4,5 juta hektare hutan dan rawa gambut yang merupakan kawasan daerah aliran sungai atau DAS di Sumatera Selatan mengalami perubahan peruntukan.

Dimana 1,4 juta hektare dikuasai perusahaan Hutan Tamanan Industri (HTI), 1 juta hektare dikuasai perkebunan sawit dan 700 ribu ha menjadi wilayah pertambangan kemudian 1,9 hektare milik negara.

Ia menambahkan jika masakan pindang hilang, berdampak hilangnya jejak alkulturasi, media ekspresi dan komunikasi kaum perempuan Melayu, serta sumber ekonomi masyarakat.

Pindang merupakan kuliner yang memberikan gambaran hubungan keharmonisan manusia dengan bentang alam, menghidupi berbagai sub suku di Sumatera Selatan.

Jikalau pindang hilang, hal itu menunjukan kehilangan bentang alam dan nilai-nilai. Di dalam masakan pindang ada filosofi tentang keberagaman, seperti tidak melihat ras dan siapa pun bisa mengonsumsi pindang.

Dalam karya teaternya, Teater Potlot menampilkan pertunjukan dengan tema "Pindang Merawat Sungai dari Dapur Ibu", penampilan tersebut disajikan dihadapan pencinta teater pada, 7 November 2022 di Graha Budaya Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan.

Mitigasi Kearifan Lokal

Pakar Komunikasi Lingkungan dari FISIP UIN Raden Fatah Palembang, Dr Yenrizal mengungkapkan pindang mengadopsi bentuk kearfian lokal masyarakat di wilayah di Sumatera Selatan dalam bentuk kuliner.

Pindang menjadi ikon kuliner di Sumatera Selatan yang memiliki filosofi yang tinggi akan kekayaan sumber daya alam, baik dari ketersediaan beragam ikan di sungai dan juga bumbu atau rempah basah.

Dia mengatakan pindang menjadi salah satu mitigasi lingkungan, karena dengan eksistensi ikan berarti lingkungan masih terjaga dengan baik.

"Kalau masih ada pindang, artinya lanskap terjaga, sehat dan terpelihara namun jika pindang hilang dipastikan lingkungan sudah rusak," kata dia.

Karena itu, Yen menambahkan pentingnya mengajak masyarakat bersama-sama dalam menjaga ekologi, menyatu dengan alam, pindang sendiri merupakan sebuah produk deep ekologi.

Baca Juga:

Ketika bicara soal pindang, bukan hanya bicara kuliner, tetapi juga lingkungan dan budaya, kesadaran akan lingkungan dan kesadaran akan budaya. Ketika bicara budaya maka asimilasi di tepi Sungai Musi sangat beragam ada Melayu Arab, China, Jawa dan akulturasi dari berbagai penjuru Nusantara.

Ikan sebagai bahan utama pindang, memiliki habitat sendiri, jika masyarakat tidak memperhatikan, ikan-ikan tersebut pun mati dan menghilang.

Hal itu, telah terjadi dimana sulit mencari ikan sungai akibat pembangunan, penimbunan rawa dan teknologi pertanian yang meracuni serta sungai tidak terawat lagi dengan baik.

"Tentunya, kita tidak ingin pindang akan hilang dalam 5-10 tahun ke depan tidak kenal lagi ikan jenis lain, selain patin yang memang sudah dibudidayakan," kata dia lagi.

Sebagai penutup Yen mengungkapkan penataan tata kelola baik dari hulu sampai ke hilir menjadi sangat penting untuk merawat dan menjaga dapur ibu, sehingga masih tetap bisa menikmati pindang.

Lalu, pemerintah dalam membuat kebijakan pembangunan hendaknya perkuat eksistensi sungai-sungai sebagai habitat ikan, begitu juga dalam hal kebijakan perkebunan, pembukaan lahan dan kegiatan lainnya hendaknya juga tidak mengerus keaslian dan keutuhan sungai.

Pindang dan Sungai

DR Amilda, Antropolog dari UIN Raden Fatah mengungkapkan betapa pentingnya masakan pindang bagi masyarakat Sumatera Selatan.

Pindang tidak hanya berbicara bagaimana ikan segar yang jadi bahan utama masakan, kata dia.

Namun, pindang memiliki arti lebih luas lagi bagaimana kearifan lokal ada dalam semangkok pindang.

Ikan segar yang diambil secukupnya dari sungai di kawasan permukiman penduduk.

Lalu, rempah tanah dan bumbu dapur lainnya yang tumbuh di pekarangan rumah penduduk juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pindang tersebut, tambah dia.

Kunyit dan cabai menjadi kunci dari masakan pindang, tambah Amilda tetapi ada juga lengkuas dan serai serta bumbu lainnya yang melengkapi kuliner tersebut.

"Di kampung saya, Musi Banyuasin biasa juga disebut dengan Pindang Musi, ikan yang dimasak adalah ikan seluang," kata dia.

Ikan seluang memang menjadi salah satu jenis ikan  yang banyak di perairan Sungai Musi.

Meskipun bentuknya kecil-kecil tetapi rasanya tentu istimewa, tambah dia.

Di Sungai Musi pun, tercatat tinggal 200 jenis ikan yang masih bertahan atau sebagian dari 400 jenis ikan telah hilang.

Pun begitu di Kota Palembang tercatat sebanyak 221 anak Sungai Musi hilang, padahal sebelumnya menjadi ruang atau habitat berkembangnya beragam  jenis ikan.

Kemudian, luas lahan gambut di Sumatera Selatan pun kini telah hilang sekitar 3 juta hektare dari 1,2 juta hektare lahan gambut.

Mengingat pentingnya keberadaan kuliner pindang ikan ini, membuat pemerintah berupaya melindunginya dengan cara menetapkan masakan pindang sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) oleh Kemendikbud pada Tahun 2018. (Nila Ertina)

Editor: Nila Ertina

Related Stories