Temuan Kasus Tuberkulosis di Palembang Tertinggi, Pasien Harus Patuh Berobat, ini Alasannya

Ilustrasi ( Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes)

PALEMBANG, WongKito.co - Kota Palembang menjadi wilayah dengan temuan kasus Tuberkulosis tertinggi di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2022 yakni sebanyak 7.360 kasus. Dengan banyaknya kasus ini, penderita diharuskan patuh berobat agar sembuh dan mencegah penularannya.

Kepatuhan berobat menjadi hal penting ketika seorang pasien melaksanakan pengobatan jangka panjang. Dengan begitu, bakteri Tuberkulosis dapat dikurangi serta disembuhkan. Kepatuhan yang buruk untuk minum obat anti tuberkulosis (OAT) bisa menimbulkan efek samping.

Pasien dikatakan lalai apabila tidak mengikuti pengobatan selama minimal tiga hari sampai dua bulan setelah dari aturan pengobatan. Selain itu, pasien dikatakan putus pengobatan apabila minimal dua bulan penuh tidak terapi atau menjalani pengobatan setelah didatangi tenaga kesehatan.

Baca Juga:

Tingkat kepatuhan pengobatan Tuberkulosis dinilai berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Palembang mencatat, kota ini tahun 2021 sudah mencapai angka 88,8% dalam keberhasilan pengobatan Tuberkulosis. Angka tersebut sudah tinggi namun belum mencapai target nasional tahun 2022 tentang penanggulangan Tuberkulosis sebesar 90%.

Diketahui, kasus Tuberkulosis masih menjadi masalah yang besar di bidang kesehatan global. Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2022 bahkan menyebut, kasus Tuberkulosis di dunia meningkat sebanyak 4,5% hanya dalam satu tahun. Di berbagai negara, Tuberkulosis adalah penyakit dengan risiko kematian tertinggi urutan ke-13 serta menjadi infeksi menular pembunuh ke-2 setelah Covid 19.

Di Indonesia sendiri, Kementerian Kesehatan mendeteksi Tuberkulosis lebih dari 700 ribu kasus pada tahun 2022. Adapun di  Sumsel di tahun yang sama mencapai 18.122 kasus dan diakui lebih banyak dari temuan tahun 2021 yakni 13.514 kasus. Sementara, kasus tertinggi berada di Kota Palembang sebanyak 7.360 kasus pada tahun 2022.

Karakteristik dan Riwayat Pengobatan bukan Penentu Kepatuhan Pasien

Dinkes Kota Palembang melakukan berbagai upaya pengendalian infeksi menular ini, salah satunya dengan melakukan penelitian terkait hubungan antara karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, dan status pekerjaan) dan riwayat pengobatan sebelumnya terhadap kepatuhan pengobatan Tuberkulosis di Kota Palembang pada 2022.

Hasil penelitian bersama tim Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya (Unsri) tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara usia, jenis kelamin, status pekerjaan, serta riwayat pengobatan terhadap kepatuhan pengobatan Tuberkulosis.

Dikutip dari Jurnal Kesehatan Masyarakat Prepotif Edisi April 2024, penelitian ini mendapati usia produktif lebih banyak terserang penyakit Tuberkulosis. Usia produktif mendominasi karena usia 15 -59 tersebut memerlukan banyak aktivitas fisik serta perlu mengeluarkan tenaga lebih sehingga daya tahan tubuh mudah menurun.

Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian oleh Wulandari (2015) yang dilaksanakan di Rumah Sehat Terpadu bahwa usia dapat menjadi faktor risiko terjadinya Tuberkulosis namun tidak berhubungan dengan kepatuhan pengobatan Tuberkulosis. Faktor usia tidak terbukti berhubungan dengan kepatuhan pengobatan Tuberkulosis.

Baca Juga:

Adapun proporsi kepatuhan pengobatan Tuberkulosis dari patuhnya pasien melakukan pengobatan juga tidak ada hubungan dengan jenis kelamin pasien dan hubungan status pekerjaan.

Demikian juga dengan faktor riwayat pengobatan sebelumnya baik pasien lama maupun pasien baru tidak menjadi faktor penentu ketidakpatuhan pengobatan Tuberkulosis. Meski secara statistik pasien yang belum pernah pengobatan Tuberkulosis cenderung lebih patuh pengobatan dibandingkan pasien yang pernah pengobatan Tuberkulosis.

Ketidakpatuhan pengobatan pada pasien lama merasa sudah sembuh dengan pengobatan sebelumnya dan mudah untuk merasa bosan minum obat Tuberkulosis. Merasa sudah sembuh maupun merasa bosan untuk minum obat dapat berasal dari adanya efek samping obat yang kurang baik sehingga berdampak pada kepatuhan pengobatannya. (yulia savitri)

 


Related Stories