Terkait Pemberitaan Kekerasan Seksual Ketua KPU, AJI Imbau Pers Patuhi Kode Etik Jurnalistik

Terkait Pemberitaan Kekerasan Seksual Ketua KPU, AJI Imbau Pers Patuhi Kode Etik Jurnalistik (freepik.com)

JAKARTA - Terkait dengan pemberitaan kekerasan seksual yang dilakukan Ketua KPU, Hasyim Asy'ari cenderung merugikan korban, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengimbau media massa mematuhi kode etik jurnalistik versi Dewan Pers serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran.

Sebelumnya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam sidang pembacaan putusan pelanggaran etik pada Rabu (3/7/2024) menyatakan Hasyim terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap pengadu berinisial CAT. DKPP memecat Hasyim Asy’ari sebagai Ketua KPU.

AJI mengamati pemberitaan sejumlah media massa mengabaikan sejumlah pasal sesuai Kode Etik Wartawan Indonesia. Sebagian pemberitaan menyebutkan identitas korban kekerasan seksual. AJI mendesak Dewan Pers memberi sanksi yang tegas terhadap media massa yang mengabaikan kode etik jurnalistik.

Baca Juga:

Pemberitaaan kasus kekerasan seksual penting untuk membangun kesadaran publik melawan kekerasan seksual. Namun, menyebutkan identitas korban dan mendeskripsikan peristiwa kekerasan seksual secara vulgar mengandung kerentanan dan risiko bagi korban.

“Media massa hendaknya memperhatikan secara serius perlindungan dan pemulihan korban untuk meminimalisasi dampak trauma,” kata Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida, dalam siaran pers yang diterima, Kamis (4/7/2024).

Dalam Pasal 5 Kode Etik Wartawan Indonesia menyatakan wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila. Penafsiran pasal itu adalah identitas menyangkut semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.

Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Shinta Maharani mengatakan media massa seharusnya menghindari pemberitaan yang bias gender, misalnya pelabelan korban yang menjurus pada objektifikasi yang merendahkan perempuan, victim blaming atau menyalahkan korban, dan diskriminatif. Objektifikasi dan stereotipe terhadap perempuan contohnya menyematkan kata cantik dan seksi. Menyalahkan korban dan penghakiman misalnya penyematan tindakan asusila, penggoda, dan pelakor. Diskriminatif misalnya menyebut korban menikmati.

Lalu, Pasal 8 Kode Etik Wartawan Indonesia menyebutkan wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Sebagian pemberitaan media massa mengumbar sensasi dan mengobjektifikasi perempuan sebagai korban kekerasan seksual. Contohnya penulisan profil korban yang berpotensi memperpanjang kekerasan berbasis gender dan pelacakan data maupun informasi tanpa persetujuan korban.

Kemudian Pasal 2 Kode Etik Wartawan Indonesia menjelaskan wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik yaitu menghormati hak privasi dan menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian berita.

Temuan lainnya adalah media massa mencampurkan fakta dan opini tentang syahwat Ketua KPU yang tak terbendung. Pasal 3 Kode Etik Wartawan Indonesia menyebutkan wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Baca Juga:

Pemberitaan yang mengabaikan kode etik jurnalistik dan tidak berperspektif adil gender seharusnya menjadi perhatian serius Dewan Pers. AJI mendesak Dewan Pers membuat pedoman khusus pemberitaan kekerasan seksual dan memberikan sanksi yang tegas terhadap media massa yang melanggar ketentuan tersebut supaya tidak mengulangi berbagai pelanggaran tersebut. “Dewan Pers seharusnya segera menyusun pedoman itu supaya media massa punya panduan teknis. Perlu upaya lebih maju guna mengurangi pemberitaan yang tidak berperspektif adil gender,” kata Nany Afrida.

Masyarakat yang menemukan pemberitaan melanggar kode etik jurnalistik bisa melapor ke Dewan Pers. Caranya, masuk ke situs web dewanpers.or.id. Klik laman data pengaduan, unduh formulirnya melalui https://dewanpers.or.id/datapengaduan/form, lalu kirim formulir pengaduan yang sudah diisi ke alamat pengaduan @dewanpers.or.id.(ril)


Related Stories