KabarKito
Yayasan Anak Padi Lahat, Libatkan Pakar dalam Upaya Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Komunitas Lingkungan
PALEMBANG, WongKito.co — Strategi perencanaan aksi partisipatif dan kolaboratif menjadi sorotan dalam upaya pemberdayaan masyarakat dan penguatan perubahan sosial berbasis komunitas.
Dalam pemaparan oleh Najmah, S.K.M., MPH., Ph.D., pendekatan Participatory Action Research (PAR) ditegaskan sebagai metode kunci dalam merancang intervensi sosial yang berkelanjutan, demikian disampaikan pada Pelatihan Partisipatif:Mengembangkan Perencanaan Kolaboratif Partisipatif untuk Penguatan Keberlanjutan Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat, yang diselenggarakan Yayasan Anak Padi, Kamis dan Jumat (20-30/5/2025).
PAR menurut Najmah merupakan pendekatan penelitian yang melibatkan masyarakat sebagai subjek sekaligus pelaku aktif dalam proses identifikasi, penyelidikan, dan penyelesaian masalah.
Dia menjelaskan, metode ini menekankan siklus spiral yang terdiri dari enam tahapan: bertanya, refleksi, investigasi, pengembangan rencana, implementasi, dan penyempurnaan. Peneliti berperan sebagai fasilitator, sementara komunitas menjadi pengambil keputusan utama.
Baca Juga:
- Deretan Album Terlaris Taylor Swift, 1989 Unggul
- Program TPAKD 2025, Strategi Pemerintah Perluas Akses Keuangan Daerah
- Master Apokalips Hungaria Raih Nobel Sastra 2025
Salah satu penerapan nyata metode ini terlihat dalam Gerakan Masyarakat Sehat Lingkar Tambang di Desa Muara Maung, Kabupaten Lahat. Meskipun aktivitas pertambangan membawa dampak positif seperti lapangan kerja dan pembangunan infrastruktur, risiko kesehatan lingkungan juga meningkat, kata dia.
Melalui pendekatan PAR, masyarakat bersama tim peneliti melakukan identifikasi risiko kesehatan, termasuk paparan bahan kimia dan biologis, serta menilai durasi dan frekuensi paparan. Hasilnya digunakan untuk menyusun karakterisasi risiko dan merancang langkah mitigasi berbasis komunitas.

Langkah-langkah pengendalian yang diusulkan mencakup edukasi publik, perubahan perilaku, dan intervensi kolaboratif lintas sektor. Pendekatan ini diharapkan mampu menciptakan solusi yang tidak hanya efektif, tetapi juga berkelanjutan dan bermakna bagi masyarakat terdampak.
Inisiatif ini menjadi contoh nyata bagaimana kolaborasi antara peneliti dan komunitas dapat menghasilkan perubahan sosial yang berakar dari kebutuhan lokal dan pengetahuan kolektif.
Sementara pada Lokakarya Kolaboratif: Penguatan Peran Lintas Sektor dan Pengembangan Rencanaa Komunitas untuk Lingkungan yang Inklusif dan Berkelanjutan, M.A.A. Jumaidi mewakili Dinas Lingkungan Hidup, pada Minggu (31/5/2025) mengungkapkan pembangunan yang pesat di berbagai sektor telah memicu beragam tantangan lingkungan di wilayah komunitas, termasuk degradasi fungsi ekologis dan dampak perubahan iklim.
Salah satu sorotan utama adalah kerusakan lahan akibat tambang terbuka di Kabupaten Lahat, kata dia. Aktivitas pertambangan telah mengganggu struktur dan fungsi lahan secara signifikan. Proses reklamasi menjadi langkah wajib untuk memulihkan ekosistem, tidak hanya secara fisik tetapi juga secara ekologis agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Sebagai bentuk respons terhadap perubahan iklim, pemerintah mengeluarkan Permen LHK No. P.84 Tahun 2016 tentang Program Kampung Iklim (ProKlim). Program ini mendorong kegiatan mitigasi seperti pengelolaan sampah, penggunaan energi terbarukan, dan pelestarian vegetasi, serta adaptasi melalui keterlibatan masyarakat dan dukungan lintas sektor.
Ia menjelaskan Desa Pelakat di Muara Enim menjadi contoh keberhasilan ProKlim, meraih penghargaan nasional berkat inovasi adaptasi dan mitigasi iklim yang didukung oleh program CSR PT Bukit Asam. Perusahaan tersebut bersama PT Pusri juga aktif membina masyarakat melalui edukasi dan penyediaan sarana, membuktikan pentingnya kolaborasi antara dunia usaha dan komunitas dalam mewujudkan program lingkungan yang berdampak sosial dan ekonomi.
Memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025, isu sampah plastik menjadi perhatian utama. Sampah jenis ini mendominasi komposisi nasional (18,71%) dan menimbulkan ancaman serius seperti pencemaran, banjir, dan risiko kesehatan.
Di Sumatera Selatan, pengelolaan sampah menghadapi berbagai kendala: infrastruktur minim, sistem open dumping, polusi, keterbatasan SDM dan anggaran, serta rendahnya kesadaran masyarakat. Pemerintah mendorong pendekatan baru melalui prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dan pemanfaatan sampah sebagai sumber energi sesuai UU No. 18 Tahun 2008.

Bank sampah dan usaha daur ulang seperti UDPK menjadi solusi berbasis komunitas yang menggabungkan edukasi, perubahan perilaku, dan penguatan ekonomi sirkular.
Dalam sesi diskusi, peserta menyoroti lemahnya pengawasan industri seperti PLTU Sumsel 1 yang beroperasi tanpa dokumen RKAB. Jumaidi menjelaskan bahwa kewenangan perizinan tambang terbagi antara pusat dan daerah, tergantung jenis bahan tambang. Pemerintah daerah sering kali tidak memiliki akses terhadap dokumen teknis, sehingga kesulitan melakukan pengawasan proaktif.
Baca Juga:
- Puluhan Jurnalis Muda Palembang, Belajar Isu Transisi Energi Berkeadilan
- Intip Yuk Kisah Edward Tirtanata-James Prananto Bangun Kopi Kenangan yang Viral
- Cek 10 Rekomendasi Kripto dengan Fundamental Terkuat Jelang Akhir 2025
Ia menekankan pentingnya koordinasi antara inspektur tambang dan pengawas lingkungan, meski keterbatasan informasi dan kewenangan masih menjadi hambatan utama dalam pengelolaan lingkungan di tingkat lokal.
Menanggapi paparan yang dilakukan pakar dan perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Sumsel, Ketua Yayasan Anak Padi, Sahwan mengungkapkan kolaborasi dengan berbagai pihak penting untuk keberlanjutan upaya membangun partisipasi masyarakat alam isu lingkungan.
Karena itu, dia mengungkapkan sangat berterima kasih dengan beragam masukan dan upaya kerja sama dari semua pemateri dan peserta kegiatan yang telah berlangsung selama tiga hari, kata dia.(*)

