Senin, 01 November 2021 15:02 WIB
Penulis:Nila Ertina
JAKARTA, WongKito.co- Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Sinulingga mendorong agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan dalam melakukan pemeriksaan terhadap mantan Komisaris dan Direksi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA).
Hal itu disampaikan Arya untuk menanggapi pernyataan mantan Komisaris Garuda Indonesia Peter Frans Gontha yang menyebut bahwa telah terjadi dugaan korupsi pada proses bisnis penyewaan pesawat yang dilakukan Garuda Indonesia dengan beberapa lessor.
"Kita dorong memang supaya mantan-mantan Komisaris atau mantan Direksi pada saat itu, bisa diperiksa (KPK) saja. Untuk mengecek bagaimana sampai penyewaan pesawat tersebut bisa terjadi," ujar Arya dalam keterangan resmi, Senin, 1 November 2021.
Satfsus Erick Thohir ini tidak menampik fakta-fakta bahwa Garuda Indonesia telah menjalankan bisnis yang salah dengan para lessor di masa lalu.
Hal itu pernah diungkapkan Menteri BUMN Erick Thohir yang mengakui bahwa negosiasi penyewaan pesawat dengan para lessor-lah yang membuat Garuda Indonesia saat ini menanggung beban utang.
Menurut Arya, jika dugaan korupsi terjadi dalam proses bisnis penyewaan pesawat tersebut, maka sudah seharusnya sengkarut masalah yang terjadi pada Garuda Indonesia diselesaikan secara hukum.
"Karena kita tahu bahwa ini kasusnya, ugal-ugalannya di sana, penyewaan pesawat," pungkas Arya.
Untuk itu, Arya mendorong agar Peter Gontha harusnya berani melaporkan Garuda Indonesia ke KPK jika diduga melakukan korupsi dalam bisnis yang dijalankannya.
Lagipula, sebagai mantan Komisaris maskapai penerbangan nasional tersebut, Peter Gontha memiliki bukti yang jelas untuk mengungkap segunung permasalahan GIAA.
"Jadi kalau bisa didorong saja supaya bisa diperiksa komisaris, direksi yang pada saat itu memang bertugas di sana supaya terang benderang. Kita support apa yang dilakukan Pak Peter Gontha, termasuk Pak Peter Gontha-nya sekalian bisa menjelaskan," ungkap Arya.
Sebelumnya, Peter Gontha membeberkan sejumlah masalah yang melilit maskapai penerbangan nasional tersebut.
Menurut dia, jantung permasalahan maskapai pelat merah tersebut adalah proses negosiasi dengan para penyewa pesawat (lessor) asing yang tidak dilakukan melalui proses bisnis yang baik.
Akibat negosiasi yang salah, Garuda Indonesia kini terancam bangkrut karena memiliki utang terbesar dalam sejarah perusahaan BUMN.
Hingga Juni 2021, total kewajiban perseroan mencapai US$12,96 miliar atau setara Rp180,24 triliun, termasuk utang jatuh tempo Rp70 triliun.
"Sejak Februari 2020 saya sudah katakan salah satu jalan adalah nego dengan para lessor asing yang semena-mena memberi kredit pada Garuda selama 2012-2016 yang juga saya tentang," ujarnya dalam keterangan resmi yang dikutip dari akun Instagramnya, Kamis, 28 Oktober 2021.
Menurut Peter, salah satu pembelian pesawat Garuda Indonesia yang gagal adalah pesawat CRJ yang dibeli sebanyak 17 buah. Apesnya, pesawat tersebut sekarang sudah tidak digunakan dan dikembalikan.
Selain itu, Garuda Indonesia juga melakukan negosiasi yang salah dengan lessor dalam pembelian pesawat jenis Boeing 777.
Menurut Peter Gontha, harga rata-rata sewa pesawat tersebut di pasaran berkisar di angka US$750.000 per bulan. Namun manajemen Garuda Indonesia sangat berani membayarnya dua kali lipat menjadi US$1,4 juta per bulan.
"Siapa sih brokernya," tanya Peter Gontha.
Selain itu, Peter Gontha juga menyoroti talangan pemerintah melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN) Rp8,5 triliun yang diberikan kepada Garuda Indonesia untuk melakukan restrukturisasi utangnya.
Tahap pertama dari PMN tersebut dicairkan pada Februari 2021 sebesar Rp1 triliun. Sisanya kemungkinan besar tidak lagi disalurkan setelah DPR menolak subsidi pemerintah untuk korporasi bermasalah yang diduga praktik korupsi.
Peter mengatakan, dana PMN Rp1 triliun tersebut sebetulnya tidak pernah bisa membantu Garuda Indonesia menyelesaikan restrukturisasinya. Dia mengibaratkan dengan 'membuang garam ke laut'.
Karena itu, dia sempat menolak mencairkan dana tersebu ketika menjadi Komisaris. Namun langkahnya ditentang oleh manajemen perseroan bahkan dimusuhi.
"Pada tanggal 27 Desember 2020 yang lalu pada waktu saya tengah berlibur di Bali, saya dituduh memperlambat atau mempersulit pencairan uang PMN pada Garuda. Saya dipaksa menyetujui penarikan Rp1 triliun. Saya akhirnya tandatangan tetapi saya tahu itu sama dengan buang garam di laut," katanya.*
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Daniel Deha pada 01 Nov 2021