Deforestasi, Ekspansi Sawit, dan Jejak Konsesi Hutan di Indonesia

Selasa, 02 Desember 2025 12:11 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

1736336201889.webp
Indonesia menghadapi krisis deforestasi: laju kehilangan hutan meningkat, banjir Sumut & Aceh mengintai, dan ekspansi sawit memicu risiko ekologis besar. (ist/greenpeace)

JAKARTA, WongKito.co – Indonesia, negara dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia, tidak hanya menghadapi tantangan serius dari laju deforestasi,  tetapi juga implikasi nyata dari kerusakan lingkungan terhadap bencana alam. 

Baru‑baru ini, banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatera Utara, Aceh,serta Sumatera Barat telah memakan korban jiwa, berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bencana di provinsi‑provinsi ini telah menewaskan ratusan, serta menyebabkan ribuan warga mengungsi dan kehilangan tempat tinggal.

Di sisi lain, Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan laju deforestasi bersih mencapai 175,4 ribu hektare pada 2024, sementara Global Forest Watch (GFW) mencatat angka lebih tinggi, yaitu 259 ribu hektare. 

Setelah sempat menurun antara 2017–2021, tren kehilangan hutan kembali meningkat, menegaskan bahwa kemajuan konservasi bersifat rapuh.

Sawit Pendorong Deforestasi

Industri kelapa sawit menjadi sorotan utama dalam isu deforestasi. Ekspansi perkebunan sawit dalam dua dekade terakhir menyumbang sekitar sepertiga hilangnya hutan primer di Indonesia.  

Berdasarkan laporan organisasi non‑pemerintah (NGO) di Indonesia yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan dan sumber daya alam, Auriga Nusantara bertajuk Kabar Buruk Deforestasi Global Meningkat Pesat: Indonesia di Persimpangan antara Komitmen Hijau dan Kepentingan Ekonomi Jangka Pendek, Deforestasi terkait sawit industri naik 18% pada 2022.

Pulau Kalimantan menyumbang 72% dari seluruh deforestasi sawit nasional, Sementara itu peningkatan signifikan pembukaan lahan terjadi secara masif diwilayah Sumatra.

Fakta menariknya, luas kebun sawit milik BUMN justru menyusut dari 707.428 hektare pada 2016 menjadi 579.664 hektare pada 2021, meski produktivitas meningkat. 

Namun secara nasional, total luas perkebunan sawit tumbuh menjadi 16,3 juta hektare pada 2022, menandakan ekspansi di sektor swasta dan rakyat. Saat ini, 2,4 juta hektare hutan masih berada di konsesi sawit, berisiko dibuka jika ekspansi tidak dikendalikan.

“Raja Obral Izin Hutan”

Selain faktor industri, kebijakan pemerintah juga berperan penting. Catatan Greennomics menunjukkan perbedaan signifikan dalam pemberian izin hutan antar-menteri kehutanan di berbagai era kepemimpinan, diantaranya sebagai berikut

  • MS Kaban (2004–2009): Memberikan izin seluas 600 ribu hektare.
  • Zulkifli Hasan (2009–2014): Memberikan izin seluas 1,64 juta hektare, hampir tiga kali lipat dibanding periode sebelumnya, sehingga dijuluki “Raja Obral Izin Hutan”.
  • Siti Nurbaya (2014–sekarang): Memberikan izin seluas 216 ribu hektare, jauh lebih rendah dibanding pendahulunya.

Pemberian izin dalam skala besar oleh Zulkifli Hasan berkorelasi langsung dengan laju konversi hutan primer meningkat signifikan, terutama di Sumatra dan Kalimantan. Transformasi ini berdampak pada keanekaragaman hayati, habitat satwa, dan emisi karbon, terutama dari lahan gambut.

Asosiasi produsen sawit (GAPKI) berargumen bahwa 62% kebun sawit berasal dari lahan terdegradasi, sehingga sawit hanya menyumbang 15% dari total deforestasi. 

Namun, penelitian independen menunjukkan ekspansi sawit tetap erat kaitannya dengan deforestasi, kehilangan keanekaragaman hayati, dan emisi karbon tinggi. 

Lahan gambut yang dikonversi menyumbang 92% emisi gas rumah kaca dari sektor sawit. Bahkan komitmen nol-deforestasi perusahaan besar belum sepenuhnya efektif.

Pernyataan Kontroversial

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut ekspansi sawit tidak merusak hutan menuai kritik karena mengabaikan perbedaan ekologis antara hutan alam dan perkebunan monokultur. 

"Enggak usah takut apa itu katanya membahayakan, deforestation, namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan?" jelas Prabowo dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Jakarta, Senin, 30 Desember 2025. 

“Benar enggak, kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Dia menyerap karbondioksida. Dari mana kok kita dituduh yang boten-boten saja itu orang-orang itu,” ungkap Prabowo menambahkan.

Rencana pemerintah membuka 20 juta hektare hutan untuk sawit dan proyek Food and Energy Sovereignty Plan yang mencakup 481 ribu hektare hutan di Merauke meningkatkan risiko deforestasi masif.

Indonesia kini menghadapi dilema besar, mempertahankan komitmen iklim dan perlindungan hutan, atau mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek melalui ekspansi industri ekstraktif. Tekanan pasar global terhadap biomassa, nikel, dan minyak sawit menambah kompleksitas tantangan ini.

Jejak kebijakan izin hutan dan ekspansi industri sawit menunjukkan bahwa kemajuan konservasi bersifat rapuh. Meskipun tren pemberian izin menurun sejak era Siti Nurbaya, sisa hutan primer dan konsesi sawit masih berisiko dibuka. 

Periode Zulkifli Hasan sebagai Menteri Kehutanan menjadi catatan penting: 1,64 juta hektare izin hutan yang diberikan menandai titik krusial dalam konversi hutan menjadi perkebunan sawit.

Masa depan hutan Indonesia akan ditentukan oleh pilihan politik dan komitmen nyata: apakah negara akan melindungi hutan dan masyarakatnya, atau mengorbankannya demi keuntungan ekonomi jangka pendek yang berisiko merusak fondasi ekologis dan reputasi internasional.

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com, jejaring media WongKito.co, pada 1 Desember 2025.