Jumat, 27 Juni 2025 13:43 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito
PALEMBANG, WongKito.co - Praktik penyiksaan masih sering terjadi di Indonesia. Hal ini diungkapkan Komnas HAM dalam memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional 26 Juni 2025 bersama enam lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP).
Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menyampaikan, selama tahun 2024 Komnas HAM masih menerima 17 aduan terkait penyiksaan. Jumlah ini menambah angka pengaduan sejak 2020 menjadi 282 aduan/kasus.
Korban perorangan, tahanan, dan masyarakat menjadi korban yang diduga mengalami penyiksaan. Beberapa praktik penyiksaan ditemukan dalam isu pengungsi dalam negeri (IDPs), kelompok minoritas agama, pengungsi luar negeri (refugees), konflik SDA, femisida, korban TPPO dan penderita kusta.
Adapun wilayah aduan peristiwa tersebar hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Wilayah terbanyak dilaporkan terjadi di Sumatera Utara (47 aduan), DKI Jakarta (25 aduan), Sumatera Selatan (21 aduan), Sumatera Barat (19 aduan), dan Jawa Tengah (18 aduan).
Dugaan pelanggaran atas hak rasa aman menjadi tertinggi dari peristiwa yang diadukan ke Komnas HAM sebanyak 152 aduan (total periode), hak memperoleh keadilan (74 aduan) dan hak untuk hidup (52 aduan)
Terkait aduan ini, pihak POLRI menjadi terbanyak yang diadukan dalam dugaan penyiksaan (15 aduan pada 2024 dengan total 176 aduan sejak 2020-2024), disusul TNI (2 kasus dengan total 15 kasus) dan lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan (10 kasus).
Komnas HAM memberikan atensi terhadap dugaan kekerasan dan/atau penyiksaan oleh aparat yang masih saja diadukan dalam kurun waktu 2020 - 2024. Dugaan penghilangan nyawa atau penganiayaan oleh aparat menjadi peristiwa tertinggi yang dilaporkan kepada Komnas HAM dalam isu Penyiksaan (72 kasus).
Selain itu, kekerasan terhadap tahanan dan/atau narapidana masih kerap terjadi dan menjadi tertinggi ke-2 terkait tipologi tindakan dalam Penyiksaan (61 kasus), disusul interogasi dalam tahapan pemeriksaan diduga masih saja menggunakan tindak penyiksaan (58 kasus).
Selama tahun 2025, Komnas HAM masih menemukan beberapa hal yang perlu diperbaiki diantaranya masih ditemukan over kapasitas di ruang penahanan, pendampingan hukum serta kekerasan seksual tahanan perempuan oleh Aparat negara yang seharusnya pengemban kewajiban perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi warga negaranya.
Maka dari itu Komnas HAM RI merekomendasikan adanya program komprehensif peningkatan pemahaman hak asasi manusia kepada aparat penegak hukum, baik itu aparat kepolisian, Jaksa, Hakim, termasuk juga aparat yang berwenang menjaga tahanan atau serupa tahanan lainnya.
“Komnas HAM kembali menekankan peran dan tanggung jawab Negara sebagai Negara pihak untuk menjamin bahwa tindakan penyiksaan diatur dalam ketentuan hukum pidana. Negara harus mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum dan langkah efektif lainnya untuk mencegah penyiksaan,” tegas Anis.
Negara harus mengawasi secara sistemik terhadap peraturan yang terkait potensi terjadinya penyiksaan, seperti interogasi, metode, kebiasaan, penahanan dan bentuk peraturan lainnya.
Setiap bentuk tindak penyiksaan harus diberikan hukuman yang setimpal dan memberi jaminan ganti rugi terhadap korban atas kompensasi yang adil dan layak dan tidak boleh dikurangi.
Untuk itu, Komnas HAM mendorong langkah-langkah konkrit dari pemerintah, seperti penguatan pengawasan internal dan eksternal terhadap aparat, reformasi pendidikan dan pelatihan bagi penegak hukum dengan perspektif HAM, serta pengesahan Rancangan Undang-Undang Anti Penyiksaan yang hingga kini belum menjadi prioritas legislasi. Selain itu, penting pula membuka ruang bagi partisipasi masyarakat sipil dalam memantau dan mengadvokasi upaya penghapusan penyiksaan di Indonesia. (*)