Kompleks Pemakaman Sabokingking: Saksi Sejarah, Awal Massa Kesultanan Palembang Darussalam

Senin, 24 November 2025 19:12 WIB

Penulis:Nila Ertina

Di teras ketiga, terdapat permakaman Pangeran Sido Kenaya dan Ratu Sinuhun, di Jalan  Kelurahan Sungai Buah, Kecamatan lilir Timur ll  Palembang
Di teras ketiga, terdapat permakaman Pangeran Sido Kenaya dan Ratu Sinuhun, di Jalan Kelurahan Sungai Buah, Kecamatan lilir Timur ll Palembang (Foto WongKito.co/Ist/Delpen)

Oleh: Andika, M Taupik Hidayat, FaQih Hanzala, Delpen*

Kota Palembang dikenal sebagai kota tertua di Nusantara yang tahun ini berusia 1.341 Tahun. Tak sekedar kota tua, tetapi banyak menyimpan sejarah baik tak benda, berupa seni dan budaya serta artefak atau benda peninggalan.

Di saat melangkah melaju melewati jalan dengan suasana hening. Angin berhembus mengiringi perjalanan, ketika mendatangi "Makam Sabokingking"  terdapat banyak warisan dibalik itu berupa bangunan ikonik. Sejak masa keruntuhan Sriwijaya hingga massa Kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam.

Makam Sabokingking  merupakan pemakaman raja – raja Islam Palembang, yang telah berusia sekitar 500 tahun. termasuk Pangeran Sido Ing Kenayan dan istrinya Ratu Sinuhun, beserta Pangeran Ki Bodrowongsong  yang pernah hidup berkisar tahun 1622- 1663 Masehi.  Dikutip dari Jurnal Realita (2020), kawasan Sabokingking sudah dihuni sejak masa Sriwijaya, dibuktikan dengan ditemukannya fragmen bata kuno dan struktur tanah yang mengindikasikan aktivitas keagamaan. Pada masa berikutnya, kawasan ini berkembang sebagai pusat pemakaman keluarga bangsawan dan pejabat Kesultanan Palembang Darussalam pada abad ke-17 hingga 19. Makam ini terletak di Jalan  Kelurahan Sungai Buah, Kecamatan lilir Timur ll  Palembang yang disebut daerah lamo.


Nama Sabokingking berasal dari bahasa Sanskerta,  berasal dari kata "sambhongin" artinya tempat yang dengan penuh kesenangan Sobokingking adalah sebuah makam kerajaan dipimpin  oleh seorang Raja bernama Pangeran Sido Ing Kenaya. Beliau naik takhta kerajaan pada tahun 1629 Masehi, berasal dari daerah jawa. Pangeran ini memiliki  seorang guru Spritual atau panasehat yang bernama Habib Muh, Nuh. Dalam penelitian Sariyatun & Mahendra (2021).

Makam Sabokingking menjadi lokasi pemakaman tokoh-tokoh yang memiliki kontribusi penting dalam pemerintahan dan penyebaran Islam. Di antara tokoh termasuk Pangeran Sido Ing  Kenayan, salah satu bangsawan yang dikenal memiliki peran besar dalam penyusunan sistem hukum adat Simbur Cahaya bersama istrinya Ratu Sinuhun.

Pangeran Sido Ing Kenaya adalah Putra dari Kimas Adipati, dikenal sebagai panglima perang sekaligus penyebaran agama islam, yang menanamkan ajaran nilai - nilai keislaman dan pendekatan. Ia merupakan cucu dari  Ki Geding Suro Mudo II. Berkat perjuanganya mencapat 80 - 85 ℅ di Palembang ini beragam islam.

Semantara itu, Dilansir dari Jurnal Penelitian  dan Kebudayaan Islam Ratu Sinuhun berasal dari daerah Palembang sekitar abad ke-16. Ia memiliki garis keturunan raja- raja Jawa. Beliau merupakan tempat persilangan keturunan antara Maulana Malik Ibrahim dan Sri Kertawijaya, serta kerajaan mejapahit  lalu menikah dengan seorang Raja bernama Pangeran Sindo Ing Kenayan. Pada tahun 1630  Masehi, Ratu Sinuhun dikenal seorang tokok perempuan yang cerdik dan sangat di hormati oleh masyarakat pada masa itu, kerana dikenal sebagai penulis kita "Simbur Cahaya"merupakan salah satu karya tertua dan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat yaitu perpadua dan pembaruan antara hukum dengan islam,  Nama "Simbur Cahaya" sendiri memiliki makna yang  sangat mendalam, atau kata "Simbur" dalam bahasa melayu "percikan"( merujuk pada sesuatu seperti air, cahaya, api) dan " Pancaran" (berkaitan dengan tindakan atau proses sesuatu secara luas dan merata). Sedangkan "Cahaya" Petujuk dan keberkahan, tetapi juga menanamkan ajaran islam malalui pendidikan dan  pengajaran mengenai limu fiQih, beserta bahasa Arab dasar pada masa itu.

Struktur dan Arsitektur makam

Dikutip dari Jurnal Arkeologi Siddhayatra (2022), kompleks Makam Sabokingking memiliki tiga teras pemakaman bertingkat yang menggambarkan stratifikasi sosial:
1. Teras Pertama
Merupakan bagian paling rendah dan luas, Biasanya ditempati oleh tokok pengikut, ulama, dan panglima dan pengawal istana yang berjasa pada masa pemerintahan Raja Pangeran Sindo Ing Kenayan. Salah satunya Ki Mas Agus Bodrowongso yang dikenal sebagai panglima Abdurahman merupakan Putra dari Pangeran Seda ing Pasarea dan ibunya Ratu Mas Amangkurat.

Ia memeritakan setelah menggantikan kakaknya Pangera Sedo Ing Rejek, pada tahun 1659 hingga 1704, berperan dalam mempertahakan Kelsutanan Palembang. Dia mempunyai seorang Putra bernama Pangeran Adipati dan Sultan Muhammad Mansur. Makam belium berada di bawa raja, diyakini sebagai sosok spritual sekaligus penjaga wilayah di masa awal kesultanan Palembang Darussalam. Nisan berbentuk sederhana dari batu andesit, tanpa banyak ornamen.

Baca Juga:

2. Teras Kedua
Terdiri dari empat makam utama dengan nisan berukir khas masa Islam awal Palembang. Di teras ini ada beberapa makam keluarga istana dan keturunan raja. Habib Mohammad Nuh Ali Fasyah dan Tua Sayid Mohammad Nuh merupakan namanya. Menurut penelitian Nurhayati (2021) tentang arsitektur nisan Melayu-Sriwijaya, jenis nisan yang ditemukan di Sabokingking termasuk tipe “Demak-Troloyo”—datar, memanjang, dan dihiasi motif sulur serta medalion.

3. Teras Ketiga
Teras tertinggi dan dianggap paling sakral, teras ini ditinggikan sekitar 1 meter dari tanah sekitarnya, beserta dinding batang merah dan gerbang melengkung. Yang dimakud tokok terpenting itu adalah Pangeran Sido Ing kenaya dan Istrinya Ratu Sinuhun. Selain dua tokok utama di atas, kemudia terdapat sekitar 21 makam lain di teras ketiga yang merupakan bagian dari keluarga kerajaan dan bangsawan Kelsutanan Palembang, termasuk Pangeran Usman (Purbaya), Raden Ayu Ratu Laut, Putri Sloka, Putri Perak, Sayid Moh. Omar Al-Bashir. Masing – masing makam memiliki cungkup beratap limasan yang menunjukkan perpaduan arsitektur Jawa-Islam dan Melayu lokal. Dikutip dari Jurnal Arsitektur Warisan Sumatera Selatan (2023), penggunaan bata kuno, umpak batu, serta kayu lokal pada cungkup makam menunjukkan pengaruh arsitektur tradisional Palembang yang mengutamakan kesederhanaan, keteguhan struktur, dan simbolisme spiritual.

* Mahasiswa  Prodi Jurnalistik UIN Raden Fatah Palembang, Angkatan 2023