Konferensi Beijing+30, Feminis Muda: Pemerintah Indonesia Main Aman

Senin, 02 Desember 2024 12:35 WIB

Penulis:Nila Ertina

Para delegasi The Asia-Pasific Ministerial Conference on Beijing +30 Review di Bangkok, Thailand.
Para delegasi The Asia-Pasific Ministerial Conference on Beijing +30 Review di Bangkok, Thailand. (Ist/Kemenpppa)

PALEMBANG, WongKito.co - Pernyataan Indonesia dalam Konferensi Tingkat Menteri Asia Pasific tentang Tinjauan Platform Aksi Beijing+30 di Bangkok, Thailand, pada 19 - 21 November 2024, dinilai hanya main aman dan tidak sesuai dengan praktiknya. Mengingat, kondisi perempuan Indonesia saat ini masih menghadapi banyak tantangan.

Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Palembang, Mutia Maharani yang hadir dalam konferensi tersebut mengungkapkan, pada hari ke-2 konferensi, Indonesia menyatakan berkomitmen terhadap Deklarasi dan Platform Beijing untuk mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Hal itu disebut sebagai landasan dari pembangunan nasional. Namun, menurut Mutia, pemerintah Indonesia melewatkan isu sensitif seperti aborsi, kesehatan reproduksi perempuan, dan LGBT.

Pemerintah Indonesia yang diwakili Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemenlu Indah Nuria Savitri, menyebutkan, Indonesia menargetkan isu kesetaraan gender dalam RPJPN 2025-20245 dalam beberapa isu, termasuk isu iklim. Indonesia juga mempromosikan peluang kerja yang setara lewat kebijakan ekonomi perawatan untuk perempuan, melalui UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA), dan pengembangan Peta Jalan Ekonomi Perawatan 2025-2045.

“Namun, menurutku tidak sejalan dengan prakteknya. Ada beberapa isu yang terlewatkan, misal kespro, ataupun ragam gender dan seksualitas. Istilah kata, pemerintan Indonesia hanya main aman,” ulas Mutia kepada WongKito.co, Senin (02/12/2024).

Baca Juga:

Tidak hanya itu, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) masih belum disahkan setelah dua puluh tahun, dan keterwakilan perempuan masih belum pernah mencapai kuota 30 persen. Kondisi ini juga menunjukkan pemerintah Indonesia hanya main aman, kata Mutia. Ditambah lagi, Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Sosial dan Budaya KemenPPPA, Eko Novi Ariyanti menekankan adanya fokus pemerintah Indonesia untuk memberdayakan perempuan dengan memberikan akses pada pendanaan, layanan pengembangan bisnis, dan pendampingan dalam kebijakan pengembangan kewirausahaan nasional. “Ya, kita tahu sendiri arahnya,” ujarnya.

Mutia bercerita, dalam kesempatan itu, dia mengikuti forum feminis muda dan CSO. Kedua forum ini berfokus pada pendorongan dan intervensi terkait isu isu yang ada di negara masing-masing untuk mengintervensi pas di Konferensi Beijing+30. Konferensi di Bangkok ini diadakan untuk meninjau capaian dan tantangan di kawasan Asia dan Pasifik sebelum perayaan global ke-30 pada Maret 2025 di New York. Konferensi dihadiri oleh sekitar 1.200 peserta dari 47 negara, termasuk 400 perwakilan masyarakat sipil dan kelompok orang muda.

“Yang dibahas di Beijing+30 adalah komitmen mengedapankan kebijakan responsif gender dalam membangun ekonomi keperawatan. Sebetulnya, ada 6 komitmen asia dan pasifik yang mendorong agenda beijing+30 ada yang berinvestasi kepada kebijakan dan ada yang terkait iklim,” jelasnya.

Kenapa dibahas? Direktur Pembangunan Sosial PBB Asia Pasifik (UNESCAP) menyampaikan bahwa ada benang merah yang terjadi kenapa partisipasi kerja perempuan masih sangat rendah di global ini. Alasannya, karena perempuan masih sibuk melakukan kerja keperawatan domestik tak berbayar.

Tiga isu lainnya yang menjadi prioritas ke depan, tambah Mutia, yakni akselerasi keterwakilan perempuan dalam pembuatan keputusan di pemerintahan dan lembaga negara, dan memosisikan perempuan dalam pengembangan ekonomi hijau. Negara-negara anggota juga berkomitmen membangun rencana aksi nasional untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, menjembatani kesenjangan gender dalam teknologi dan sektor digital, serta meningkatkan akuntabilitas terhadap perempuan dan anak perempuan dalam aksi perdamaian, keamanan dan kemanusiaan.

Baca Juga:

Konferensi yang berlangsung selama tiga hari itu bertujuan untuk meninjau kemajuan dan prioritas aksi di kawasan Asia Pasifik. Itu dilakukan demi mendukung kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebelum perayaan 30 tahun Beijing Declaration and Platform for Action pada 2025.

ESCAP dan UN Women meluncurkun laporan terbaru Charting New Paths for Gender Equality and Empowerment: AsiaPacific Regional Report on Beijing+30 Review. Laporan ini menekankan pada tiga aksi utama untuk memperkuat pondasi percepatan progres kesetaraan gender di semua sektor, termasuk transformasi norma gender, memperkuat pengambilan dan penggunaan data gender, dan mendorong investasi ramah gender dan kemitraan lintas-sektoral.

“Saya hadir sebagai Solidaritas Perempuan Palembang dan Feminis Muda. Di sana saya banyak dapat pengalaman dari kawan-kawan di negara lain, terkait problem yang mereka rasakan dan yang mereka advokasi,” kata Mutia. (yulia savitri)