Lebih Diapresiasi di Malaysia, Karya Sastra Sultan Mahmud Badaruddin II Minim Kajian Lokal

Jumat, 21 November 2025 10:42 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

IMG-20251121-WA0015.jpg
Suasana Diskusi Sastra Dinas Kebudayaan Kota Palembang di Rumah Sintas Palembang, Kamis (20/11/2025). (ist)

PALEMBANG, WongKito.co - Sejarawan dan Budayawan Palembang menyayangkan karya sastra Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) lebih banyak diapresiasi di luar Palembang dan Sumatera Selatan. Hal itu lantaran kurangnya perhatian masyarakat dan akademisi lokal. Hal ini terungkap dalam Diskusi Sastra Museum Keliling yang digelar Dinas Kebudayaan Kota Palembang, Kamis (20/11/2025) di Rumah Sintas Palembang.

Budayawan Palembang Vebri Al Lintani menyampaikan, sejumlah karya sastra penting yang diyakini berasal dari sang sultan justru lebih banyak dipelajari dan dikaji oleh peneliti lembaga pendidikan di luar negeri seperti di Malaysia, khususnya di Melaka.

Vebri mencontohkan karya SMB II Syair Burung Nuri yang bercerita tentang cinta terlarang antara Nuri—istri pembesar kerajaan, Bayan Johari—dan burung tampan Simbangan. Dalam syair tersebut, terdapat penggambaran tentang tokoh yang dijauhkan dari rakyat, keluarga, dan daerah asalnya. 

“Hal ini memiliki kemiripan dengan pengalaman SMB II sendiri yang diasingkan Belanda jauh dari tanah kelahirannya, Palembang,” ungkapnya.

Dalam beberapa suratnya juga menurut Vebri, SMB II diketahui pernah memohon agar Belanda memindahkannya ke tempat yang lebih dekat dengan Palembang, seperti Batavia atau Jawa. Namun, permohonan itu tidak dikabulkan, sehingga ia menghabiskan sisa hidupnya di Ternate hingga wafat. “Kalau kita membaca syair Burung Nuri terlihat nuansa kesedihannya sangat kuat,” ujar Vebri.

Selain Burung Nuri, SMB II juga disebut meninggalkan karya penting lainnya, seperti “Syair Hikayat Martalaya, Syair Sinyor Kosta. Salah satu karya yang paling sering dibicarakan adalah “Syair Perang Palembang” atau “Perang Menteng”. Meski sebagian ahli berselisih pendapat mengenai siapa penulis aslinya, banyak yang meyakini syair tersebut terkait erat dengan Sultan Mahmud Badaruddin II. 

“Sejarawan Taufik Abdullah misalnya, menyebut bahwa penulis syair itu pasti seseorang yang cerdas dan memahami konteks sejarah Palembang secara mendalam,” kata dia.

Menurut Vebri, karya-karya sastra tersebut lebih sering dikaji di Malaysia daripada di Palembang sendiri. Di beberapa sekolah menengah di Malaysia, karya seperti Burung  Nuri sudah masuk dalam bahan pembelajaran sastra. Sementara di Palembang, hanya sedikit sarjana atau mahasiswa yang menaruh perhatian pada warisan sastra tersebut.

“Padahal, kita di Palembang memiliki banyak hal yang dinamai dengan nama Sultan Mahmud Badaruddin II—mulai dari bandara hingga museum. Namun ironisnya, pojok sastra di museum itu pun sangat minim,” ujar Vebri. 

Ia menegaskan bahwa Sultan Mahmud Badaruddin II lahir dan tumbuh di lingkungan Palembang yang sejak lama memiliki iklim sastra yang subur, terutama sejak pertengahan tahun 1850-an.

Vebri berharap pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat mulai memberi perhatian lebih besar terhadap karya-karya sastra Sultan Badaruddin II.  Menurutnya, warisan tersebut bukan hanya kebanggaan sejarah, tetapi juga bukti kecerdasan dan kedalaman budaya Palembang yang seharusnya diangkat dan dikenalkan kepada generasi muda.

Kesusastraan Era SMB II Jadi Masa Keemasan Intelektual 

Sejarawan dari UIN Raden Fatah Palembang, Kemas Ari Panji juga menyayangkan karya sastra Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) Palembang lebih banyak dikaji, diapresiasi, dan dipelajari di luar Palembang dan Sumsel, terutama di negara tetangga seperti Malaysia. 

Ari Panji mengungkapkan dinamika kesusastraan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) Palembang. Era awal abad ke-19  tersebut, menurutnya bukan hanya masa keemasan intelektual Kesultanan Palembang Darussalam, tetapi juga cermin perlawanan budaya melawan kolonialisme Belanda dan Inggris.

“Bagaimana Keraton Palembang menjadi pusat utama produksi naskah, saat penyalinan, penyusunan, dan pengajaran karya sastra berlangsung intensif. Bahasa Melayu beraksara Arab (Jawi) menjadi bahasa utama, memperkuat akar keilmuan Islam di wilayah itu,” kata Ari Panji.

Anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Palembang ini menjelaskan, pada masa SMB  II berkuasa dari 1803 hingga 1821, kesusastraan terutama di Palembang didominasi oleh naskah keagamaan seperti fikih, tauhid, dan tasawuf. 

Namun, tak kalah menarik, era ini juga melahirkan karya naratif seperti hikayat dan syair yang penuh dengan tema perlawanan kolonial, moralitas, serta intrik istana. Salah satu ciri khas kesusastraan zaman itu adalah keragaman media penulisan. Naskah-naskah ditulis di atas kertas Eropa yang halus, kertas daluang tradisional dari kulit kayu, atau bahkan bilah bambu gelumpai yang unik. 

"Secara fisik, naskah ini sering menggunakan tinta hitam-merah, ilustrasi minimalis, dan struktur syair empat baris yang rapi. Banyak dari naskah kuno ini masih tersimpan di Museum Nasional Indonesia, koleksi Leiden di Belanda, serta arsip lokal, menjadi bukti warisan budaya yang tak ternilai,” ulas dia

Dia juga menyoroti beberapa karya penting SMB II. Misalnya, "Syair Perang Menteng" yang menceritakan Perang Palembang 1819. Syair anonim ini menggambarkan pertempuran sengit antara pasukan Belanda di bawah Herman Warner Muntinghe melawan laskar Kesultanan Palembang Darussalam. Dengan bahasa penuh emosi, syair ini mengecam kolonialisme dan memuji heroisme SMB II sebagai simbol perlawanan.

Tak kalah menawan, "Syair Burung Nuri" – alih aksara oleh Jumsari Jusuf pada 1978 – dikarang oleh Sultan Mahmud Badaruddin II sendiri. Naskah berukuran 21 x 16 cm dengan 21 halaman ini bercerita tentang  cinta terlarang antara Nuri—istri pembesar kerajaan, Bayan Johari—dan burung tampan Simbangan

Lalu, ada "Hikayat Martalaya", yang seperti jendela ke masa lalu. Hikayat ini merekam sejarah, moralitas, dan nilai politik Kesultanan Palembang, sambil menggabungkan unsur lokal dengan adab Islam. Ia mencerminkan dunia istana yang penuh intrik, strategi diplomasi para pemimpin, serta struktur kekuasaan sosial-politik saat itu.

“Termasuk karya Sultan SMB II lainnya adalah syair Sinyor Kosta,”katanya,

SMB II sendiri menurutnya bukan hanya sultan Palembang, tapi juga sastrawan ulung. Naik takhta setelah wafatnya Sultan Mahmud Bahauddin, ia dikenal sebagai pemimpin cerdas dan organisator hebat. Selama pengasingannya di Ternate, ia menulis "Pantun Sultan Badaruddin", yang penuh refleksi spiritual, rindu kampung halaman, dan keteguhan menghadapi penderitaan kolonial. SMB II juga dikenang sebagai tokoh perlawanan gigih melawan Inggris dan Belanda, menjadikannya ikon sejarah Palembang.

“Tradisi penulisan ini didukung oleh juru tulis keraton yang terorganisir, menciptakan sistem produksi intelektual yang efisien. Gaya klasik dengan tinta hitam-merah dan ilustrasi sederhana, plus struktur syair empat baris, membuat karya-karya ini mudah diingat dan disebarkan,” jelas Ari Panji.

Secara keseluruhan, kesusastraan era SMB II menunjukkan ledakan kreativitas, keilmuan, dan kesadaran politik masyarakat Palembang. Syair, pantun, dan hikayat bukan sekadar seni, tapi dokumen sejarah yang merekam perlawanan terhadap kolonialisme, tema cinta yang mendalam, moralitas, serta dinamika kekuasaan istana. 

"Kesusastraan pada masa Sultan Mahmud Badaruddin II memperlihatkan ledakan kreativitas, keilmuan, dan kesadaran politik masyarakat Palembang," katanya menekankan bahwa karya-karya ini seperti cermin zaman yang masih relevan untuk diskusi sastra modern,” katanya.

Kemas Ari Panji dan Vebri Al Lintani  mengapresiasi diskusi ini dan berharap diskusi-diskusi serupa bisa dilakukan dan dilanjutkan dengan berbagai platform media. Dengan begitu, karya SMB II bisa dikenali dan bisa dipelajari masyarakat utamanya para pemuda di Palembang dan Sumsel. (*)