Lemahnya Perlindungan Negara terhadap Perempuan Buruh Migran

Sabtu, 20 Desember 2025 06:05 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

Perempuan-Buruh-migran.jpg
Peringatan Hari Migran Internasional ini bukan sekedar perayaan, melainkan momentum evaluasi serius dan alarm keras atas kegagalan sistemik negara memenuhi kewajibannya. (ist/Solidaritas Perempuan)

JAKARTA, WongKito.co - Dalam peringatan Hari Migran Internasional, Solidaritas Perempuan menyoroti lemahnya perlindungan negara terhadap buruh migran, khususnya perempuan dan kelompok rentan lainnya. Di balik narasi pahlawan devisa, negara terus gagal melakukan tanggung jawabnya dalam memberikan perlindungan, memastikan keselamatan, hak, dan martabat migran, yang mengakibatkan buruh migran tetap menjadi komoditas dalam sistem migrasi yang tidak adil.

“Lebih dari satu tahun, proses Revisi UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia berjalan. Namun sampai hari ini proses legislasi masih stagnan tanpa alasan yang jelas, minim transparansi dan keterlibatan publik. Bahkan dalam prosesnya, terjadi tumpang tindih kewenangan yang menimbulkan kebuntuan layanan dan penegakan hak,” ungkap Andriyeni dari Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.

Di sisi lain, jelasnya, walaupun moratorium pelarangan pemberangkatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Timur Tengah pada tahun 2015 telah dicabut oleh Pemerintah Indonesia pada Agustus 2023, tapi pencabutan resmi dan penataan ulang tata kelola serta perjanjian baru dengan Arab Saudi masih dalam proses dengan melalui salah satu prosedur pemberangkatan yaitu prosedur G2G (Pemerintah ke Pemerintah) seperti ke Arab Saudi. 

“Hal ini juga tidak mudah juga untuk diakses oleh perempuan karena mewajibkan perempuan melengkapi syarat salah satunya sertifikat kompetensi yang diakui dan memberatkan perempuan khususnya dalam finansial,” tukasnya.

Negara mengabaikan fakta bahwa bermigrasi merupakan alternatif terpaksa akibat ketimpangan struktural, minimnya lapangan kerja layak, dan perampasan ruang hidup. Perempuan yang kehilangan kedaulatan atas tanahnya terpaksa memilih berangkat bekerja ke luar negeri, mayoritas sebagai Pekerja Rumah Tangga sebagai satu-satunya cara bertahan hidup.

Andriyeni menjelaskan, ketidakadilan dan penindasan yang dialami oleh perempuan merupakan pengalaman yang dialami oleh perempuan karena lapisan identitas gendernya di seluruh dunia. Sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian mengadopsi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) atau Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang diratifikasi Indonesia pada tahun 1984. 

“Negara bertanggung jawab untuk melindungi perempuan dari segala diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Namun, negara justru menjadi pelaku diskriminasi dan kekerasan melalui berbagai kebijakan, termasuk UU Cipta Kerja yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, investasi dan pembangunan yang menghancurkan lingkungan, merampas tanah, lahan dan hutan adat serta ruang hidup perempuan lainnya,” tukas Andriyeni.

Peringatan Hari Migran Internasional ini bukan sekedar perayaan, melainkan momentum evaluasi serius dan alarm keras atas kegagalan sistemik negara memenuhi kewajibannya. Solidaritas Perempuan yang bekerja bersama perempuan akar rumput di 12 komunitas menuntut negara untuk segera membuat kebijakan yang menjamin hak rakyat, termasuk hak berkumpul dan berserikat, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, melindungi hak asasi manusia dan hak hak perempuan. 

Selain itu, juga menjamin perlindungan yang menyeluruh serta memastikan akses keadilan dan pemulihan bagi korban tanpa diskriminasi, termasuk bagi perempuan. Bahas dan Revisi UU PPMI yang harus memperkuat mandat negara, bukan memperluas ruang komersialisasi penempatan. Selama negara terus gagal melindungi, momentum ini akan terus diperingati sebagai pengingat atas pelanggaran yang terus dilakukan dan dibiarkan.

"Pekerja migran Indonesia, tanpa terkecuali di Sulawesi Selatan masih mengalami banyak masalah, baik sebelum keberangkatan, selama dan/atau setelah bekerja. Di mana situasi tersebut diperburuk dengan belum adanya peraturan daerah tentang perlindungan buruh migran sebagai payung hukum dan jaminan strategis perlindungan hak-hak buruh migran dan keluarganya di provinsi Sulawesi Selatan.” ulas Suryani, Badan Eksekutif Komunitas SP Anging Mammiri. 

Rahmil Izzati dari Badan Eksekutif Komunitas SP Bungeong Jeumpa Aceh menegaskan, bencana ekologis yang saat ini terjadi di Aceh merupakan akibat dari ekstraktivisme dan tata ruang yang buruk. Hal ini kemudian berdampak pada hilangnya ruang mata pencaharian dan memaksa perempuan menjadi pencari nafkah, termasuk sebagai buruh migran. Menurunya, kondisi ini seharusnya juga direspons pemerintah melalui pemulihan yang berkeadilan, berbasis data risiko, melibatkan masyarakat lokal agar dapat menekan tingginya angka buruh migran perempuan di Aceh.

“Konflik agraria yang terjadi di Sumatera Selatan khususnya konflik tanah yang ada di Ogan Ilir tak hanya membuat perempuan bekerja di tanah sendiri namun telah memaksa perempuan bekerja ke luar negeri dan berpisah dengan keluarganya," ungkap Mutia Maharani, Badan Eksekutif Komunitas SP Palembang.

Sementara itu, penanganan kasus Perempuan Buruh Migran (PBM) di Lampung menghadapi tantangan berlapis. Renie, Badan Eksekutif Komunitas SP Sebay Lampung menjelaskan, kondisi ini diperparah oleh menguatnya militerisme dalam birokrasi, termasuk pergantian kepala BP3MI Lampung dari unsur pensiunan TNI, yang menuntut penyamaan perspektif dalam perlindungan PBM.

“Proses legislasi yang stagnan tentu sangat berdampak pada perlindungan bagi perempuan buruh migran asal Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Hal tersebut dapat terlihat dari salah satu kasus proses pemulangan perempuan buruh migran asal Kabupaten Sigi yang terpaksa pulang dengan menggunakan biaya sendiri, padahal seharusnya negara hadir untuk bertanggung jawab," tambah Elsa, SP Palu.

Di Poso, perampasan ruang hidup mendorong migrasi terpaksa bagi perempuan di Poso. Lemahnya sistem perlindungan membuat Perempuan Buruh Migran rentan mengalami eksploitasi, kekerasan, pemotongan gaji, ketiadaan jaminan kesehatan, hingga perdagangan orang. 

"Negara wajib memastikan implementasi UU No. 18 Tahun 2017 berjalan efektif dari pusat sampai desa melalui kebijakan konkret dan partisipasi bermakna demi perlindungan dan kesejahteraan buruh migran,” tegas Nia Sudin, Badan Eksekutif Komunitas SP Sintuwu Raya.

Pemerintah, khususnya Pemerintah Kab. Sumbawa juga masih melakukan pengabaian terhadap situasi ketidakadilan yang dialami oleh Perempuan Buruh Migran. Alih-alih meningkatkan kualitas perlindungan justru pemerintah Kab. Sumbawa semakin lalai dalam menindaklanjuti kasus-kasus yang dilaporkan oleh SP Sumbawa, bahkan untuk memfasilitasi mediasi kasus, keterlibatan pemerintah daerah dalam hal ini Disnakertrans Kab. Sumbawa masih sangat kurang responsif. "Sampai saat ini ada 5 Kasus yang belum bisa terselesaikan,” sebut Ermie, Badan Eksekutif Komunitas SP Sumbawa.

“Implementasi UU PPMI harus dimulai dari penguatan peran pemerintah desa mulai dari pendataan, penyediaan informasi yang utuh, hingga pencegahan praktik penempatan berisiko. Tanpa itu, negara terus melepaskan tanggung jawabnya atas keselamatan warganya,” terang Siti Nurhidayati, Badan Eksekutif Komunitas SP Mataram.

Adapun persoalan migrasi di NTT menurut Irene Kanalasari, Badan Eksekutif Komunitas SP Flobamoratas, dipicu dari minimnya perlindungan negara dan kebijakan yang tidak menyentuh akar persoalan di kepulauan. Khususnya dalam kasus migrasi non-prosedural. Negara harus melihat bahwa persoalan ini merupakan mata rantai kompleks dan dipengaruhi sejarah migrasi tradisional. "Hingga kini, komitmen pemerintah lemah, tercermin dari ketiadaan Perda PPMI, belum terimplementasinya UU PPMI hingga desa, serta minimnya layanan di wilayah kepulauan.” 

Ari Surida, Badan Eksekutif Komunitas SP Kinasih Yogyakarta menambahkan, alih fungsi lahan yang masif dari lahan produktif seperti sawah, ladang dan kebun namun terpaksa beralih ke kawasan non-pertanian merupakan persoalan serius yang berdampak luas bagi keberlanjutan kehidupan di Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, menyebutkan di Yogyakarta ada 2.123 hotel, terdiri dari 172 bintang dan 1.951 non bintang. Kebijakan yang hanya berorientasi kepada pemilik modal berdampak terhadap kehidupan. Selain itu, upah buruh di Yogyakarta yang merupakan salah satu upah terendah di Indonesia. 

“Di tengah situasi ekonomi yang semakin meningkat, terutama kebutuhan pokok dalam rumah tangga dan minimnya pendapatan, hal ini telah mendorong meningkatnya kerentanan perempuan untuk menjadi buruh migran,” ulasnya. (*)