Menilik Tragedi Nakba Palestina, Luka Kolektif yang Bentuk Identitas Bangsa

Selasa, 23 September 2025 18:03 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

1711617201167.webp
Orang-orang berjalan melewati papan tanda yang menggambarkan peta bersejarah Palestina. (ist/Getty Images/ Mohammed Abed))

JAKARTA, WongKito.co — Peristiwa Nakba, yang berarti "bencana" dalam bahasa Arab, merujuk pada pengusiran dan perpindahan paksa massal masyarakat Palestina saat berdirinya Negara Israel pada 1948.

Bagi bangsa Palestina, Nakba bukan sekadar catatan sejarah, melainkan luka mendalam yang diwariskan lintas generasi. Tragedi ini melambangkan kehilangan tanah air, rumah, kebudayaan, hingga cara hidup yang telah terbentuk selama ratusan tahun. Inilah yang menjadikan Nakba bukan hanya tragedi masa lalu, melainkan pengalaman kolektif yang terus membentuk identitas nasional Palestina hingga hari ini.

Mengutip Encyclopaedia Britannica, Selasa, 23 September 2025, Nakba terutama berlangsung pada periode 1947–1949, ketika Timur Tengah berada dalam gejolak politik besar. Namun, akar permasalahan dapat ditelusuri sejak akhir abad ke-19, saat gerakan Zionisme politik muncul dengan cita-cita mendirikan negara Yahudi di Palestina.

Dukungan dari kekuatan kolonial, terutama Inggris lewat Deklarasi Balfour 1917, mempercepat proses ini. Pada masa Mandat Britania (1920–1947), arus imigrasi Yahudi meningkat tajam, mengubah struktur demografi Palestina. Kebijakan tanah yang menguntungkan kaum pendatang memicu keresahan mendalam, hingga melahirkan pemberontakan besar masyarakat Arab Palestina pada 1936–1939 yang ditumpas dengan brutal.

Puncak ketegangan terjadi ketika PBB mengeluarkan Resolusi 181 pada November 1947. Rencana tersebut membagi Palestina menjadi dua negara, dengan alokasi 55% wilayah untuk negara Yahudi, padahal populasi Yahudi hanya 33% dan kepemilikan tanah mereka kurang dari 7%. Bagi rakyat Palestina, keputusan ini dipandang sebagai ketidakadilan internasional sekaligus pengabaian hak menentukan nasib sendiri.

Penolakan itulah yang memicu konflik terbuka. Milisi Zionis kemudian melancarkan operasi militer untuk merebut wilayah, bahkan melampaui batas yang ditentukan PBB.

Taktik dan Operasi di Lapangan

Untuk merealisasikan pendirian negara, milisi Zionis menerapkan strategi militer dan psikologis yang sistematis. Salah satunya adalah Operasi Dalet, yang bertujuan merebut wilayah dengan cara mengusir penduduk Arab Palestina.

Tragedi paling dikenal adalah pembantaian di Deir Yassin, yang menewaskan lebih dari 100 warga sipil. Kekerasan semacam ini menimbulkan ketakutan massal, memicu eksodus besar-besaran. Ratusan desa dihancurkan, rumah dibakar, dan lahan pertanian dirusak agar penduduk tidak dapat kembali.

Akibatnya, lebih dari 750.000 warga Palestina terpaksa mengungsi ke Yordania, Lebanon, Suriah, dan negara lain. Kini, jumlah mereka beserta keturunannya telah mencapai lebih dari 5 juta orang, sebagian besar masih hidup di kamp pengungsian dengan kondisi terbatas. Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) menjadi penopang utama, meski kerap menghadapi pemotongan dana.

Bagi rakyat Palestina, Nakba tidak berhenti pada 1948. Tragedi itu berlanjut lewat pendudukan Israel atas Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza pada 1967 yang dikenal sebagai Naksa atau “kemunduran.”

Hingga kini, pembangunan permukiman ilegal, blokade ekonomi, serta operasi militer di Palestina menjadi bukti bahwa Nakba adalah proses berkelanjutan. Penolakan Israel terhadap hak kembali pengungsi terus memperpanjang luka sejarah ini, menjadikannya sumber konflik permanen di Timur Tengah.

Memori dan Identitas yang Terus Hidup

Setiap 15 Mei, sehari setelah Israel merayakan kemerdekaannya, bangsa Palestina memperingati Hari Nakba. Peringatan dilakukan melalui doa bersama, unjuk rasa, dan simbol-simbol seperti kunci rumah yang diwariskan dari generasi ke generasi sebagai lambang hak untuk kembali.

Pada 2023, PBB untuk pertama kalinya secara resmi memperingati Hari Nakba, menandai pengakuan global atas tragedi kemanusiaan tersebut.

Bagi bangsa Palestina, Nakba bukan hanya soal kehilangan tanah, tetapi juga martabat dan hak untuk hidup bebas di tanah leluhur. Rasa kehilangan itu diwariskan antar generasi, membentuk narasi kolektif yang mempersatukan mereka dalam perjuangan politik, budaya, dan diplomasi internasional.

Dari kamp pengungsi di Lebanon hingga komunitas diaspora di Eropa dan Amerika, memori Nakba tetap hidup. Ia menjadi bahan bakar perjuangan Palestina hingga kini—sebuah kisah panjang tentang kehilangan, ketahanan, dan perlawanan yang belum usai.

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com, jejaring media WongKito.co, pada 23 September 2025.