Kamis, 11 September 2025 11:13 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito
JAKARTA, WongKito.co – Pable merupakan perusahaan daur ulang tekstil lokal berbasis di Surabaya, Jawa Timur. Sejak didirikan pada 2020, Pable telah mendaur ulang 270 ton limbah tekstil dari seluruh Indonesia, yang dikumpulkan melalui beberapa program percontohan mereka.
Seperti “Portable,” yang memungkinkan masyarakat membuang limbah tekstil di tempat pembuangan khusus, dan “Uniform Disposal Program.”
Uniform Disposal Program lahir dari kesadaran Aryenda Atma saat memulai Pable, terkait budaya dan kebiasaan banyak instansi pemerintah dalam pengadaan seragam seperti kaos, kemeja, kemeja safari, rompi, atau jaket, yang umumnya digunakan untuk acara sekali pakai seperti outing staf, rapat rencana kerja tahunan, dan sejenisnya.
Selama tiga tahun terakhir, perusahaan telah mengalihkan sekitar 22 ton limbah seragam korporat dari tempat pembuangan akhir, atau setara dengan sekitar 110.000 seragam.
Atma berkolaborasi dengan perusahaan dan instansi pemerintah untuk meningkatkan kesadaran mengenai tekstil daur ulang dalam produksi merchandise bermerek.
Model bisnis Pable termasuk di antara berbagai inisiatif berkelanjutan yang tengah berkembang di Indonesia, sejalan dengan prioritas Pemerintah Indonesia untuk menerapkan pendekatan ekonomi sirkular di berbagai sektor industri.
Dilansir dari pable.id, perjalanan Pable dimungkinkan berkat dukungan komunitas penenun dari Desa Karangrejo, Jawa Timur. Melalui tradisi turun-temurun berupa kain tenun, Pable bersama komunitasnya berperan dalam merajut beragam identitas, ekspresi seni, dan kekayaan warisan budaya Indonesia.
Meski Indonesia menempati peringkat kedelapan dunia sebagai produsen tekstil, hanya sekitar 12% limbah tekstil yang berhasil didaur ulang setiap tahunnya.
Hal ini disebabkan sektor garmen, mulai dari produsen hingga konsumen, belum terintegrasi sepenuhnya, sehingga tercipta celah dalam siklusnya. Pable hadir untuk menutup dan menyempurnakan siklus tersebut.
Berdasarkan prinsip Ekonomi Sirkular, misi Pable adalah mendaur ulang sebanyak mungkin demi kepentingan komunitas, bumi, dan kesejahteraan semua pihak.
Berbeda dengan Ekonomi Linier, penerapan Ekonomi Sirkular yang lebih maju memungkinkan Pable mengurangi ketergantungan pada bahan baku baru, dan memanfaatkan kembali limbah tekstil untuk memperpanjang umur produk.
Pable bekerja sama dengan komunitas penenun dari Desa Karangrejo, Jawa Timur. Meskipun skalanya kecil, dampaknya signifikan, produktivitas meningkat hingga 22%, mesin tenun diaktifkan kembali, dan sistem irigasi desa direvitalisasi.
Selain mengurangi jumlah limbah tekstil, program ini juga mendorong keberlanjutan ekonomi serta pelestarian budaya lokal.
Model bisnis Pable merupakan salah satu dari sekian banyak inisiatif berkelanjutan yang sedang berkembang di Indonesia, yang sejalan dengan prioritas Pemerintah Indonesia untuk mengadopsi pendekatan ekonomi sirkular di berbagai industri.
Sebelumnya, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) meluncurkan Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular 2025-2045, sebuah pedoman untuk menerapkan kebijakan yang menjunjung tinggi praktik sirkular.
Pemerintah telah mengidentifikasi lima sektor prioritas yang berpotensi mengadopsi ekonomi sirkular yaitu, makanan dan minuman, konstruksi, elektronik, tekstil, dan ritel (fokus pada kemasan plastik).
Dalam Peta Jalan tersebut, Bappenas menyatakan limbah tekstil di Indonesia diprediksi mencapai 3,5 juta ton per tahun pada tahun 2030. Tapi, penerapan prinsip ekonomi sirkular berpotensi menghasilkan dampak ekonomi yang sangat besar, yaitu Rp19,3 triliun, atau sekitar 5,5% dari produk domestik bruto (PDB) negara pada tahun 2030.
Hal ini tak mudah bagi pemerintah. Kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan, seperti akademisi, lembaga swadaya masyarakat, mitra pembangunan, dan sektor swasta, yang disebut pendekatan Pentahelix, sangat penting untuk beralih dari ekonomi linier ke praktik sirkular yang lebih berkelanjutan.
Lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertekstilan yang tengah dibahas, insentif diatur dalam Pasal 47-50 RUU. Insentif diberikan bagi pelaku usaha untuk mendorong investasi, meningkatkan produksi, dan/atau memperluas lapangan kerja.
Dilansir dari Hukum Online, pemberian insentif mempertimbangkan lima aspek sepeti jenis dan skala kegiatan usaha, serta dampak positif kegiatan usaha terhadap perekonomian nasional.
Selain itu, kesesuaian kegiatan usaha dengan rencana pembangunan nasional, kemampuan keuangan negara, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketua Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI) Muhammad Shobirin F. Hamid mengusulkan agar RUU Pertekstilan memuat minimal tiga hal, salah satunya RUU harus mengatur insentif bagi industri tekstil.
Insentif tersebut ditujukan untuk perusahaan yang berinvestasi dalam pengembangan SDM. Mengingat selama ini banyak perusahaan tekstil belum maksmial mengembangkan kapasitas tenaga kerja.
“RUU ini perlu mengatur insentif fiskal, pengurangan pajak atau pelatihan. Untuk perusahan yang aktif melakukan pelatihan dan sertifikasi kompetensi untuk karyawan,” usulnya dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Baleg di Komplek Gedung Parlemen, Senin, 26 Mei 2025.
Penyelenggaraan pertekstilan mendapatkan perlindungan kekayaan intelektual sesuai peraturan perundang-undangan.
Perlindungan ini mencakup bahan baku dan bahan penolong tekstil, permesinan, teknologi, inovasi, riset, produk tekstil, desain pertekstilan, ekspresi budaya tradisional, serta pengelolaan tradisional di bidang tekstil.
Kekayaan intelektual dapat dimiliki secara personal maupun komunal. Pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab memberikan perlindungan tersebut melalui berbagai mekanisme, termasuk inventarisasi dan pendataan, pendaftaran, sosialisasi dan edukasi, serta advokasi dan pendampingan.
Selain itu, pemerintah juga mempermudah proses pengurusan kekayaan intelektual bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah.
Dilansir dari ikpi.or.id, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai insentif fiskal yang diberikan pemerintah belum memadai untuk mendorong kebangkitan industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Dukungan regulasi, efisiensi biaya produksi, serta perbaikan infrastruktur energi dianggap sama pentingnya agar industri padat karya kembali bersaing secara kompetitif.
Wakil Ketua API David Leonardi menekankan, pertumbuhan sektor manufaktur nasional tidak bisa digantungkan pada insentif fiskal saja.
Menurutnya, kebijakan insentif pajak memang memiliki peran penting, namun harus sejalan dengan paket kebijakan lain yang secara nyata mendukung iklim usaha.