Pestapora 2025: Ketika Musisi Semakin Sadar Isu Lingkungan

Selasa, 09 September 2025 13:40 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

Band punk Sukatani.
Band punk Sukatani. (Tangkap Layar Instagram @sukatani.band)

JAKARTA, WongKito.co – Sejumlah musisi memilih batal tampil di Pestapora 2025 setelah adanya keterlibatan PT Freeport Indonesia dalam festival musik Pestapora. Para musisi menilai keterlibatan perusahaan tambang emas raksasa tersebut tidak sesuai dengan prinsip yang mereka junjung.

Melalui akun media sosial masing-masing, sejumlah band memutuskan batal tampil di antaranya ada Sukatani, The Jeblogs, Negativa, Leipzig, Kelelawar Malam, Rebellion Rose, Rekah, Xin Lie, Ornament, hingga Centra.

“Kami memutuskan untuk tidak jadi pentas di Pestapora 2025. Sampai jumpa di kesempatan lain. Terima kasih,” tulis Sukatani di akun Instagramnya @sukatani.band.

Meski banyak musisi yang memuttuskan untuk membatalkan penampilan mereka di Pestapora 2025, beberapa musisi lain memilih tetap tampil seperti Yacko.

“Isu lingkungan & HAM di Papua adalah isu perempuan juga. Izinkan saya untuk tetap menggunakan platform saya untuk bersuara di Hip Hop Stage hari ini. 100% fee (bayaran) yang saya terima telah saya donasikan ke Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI),” kata Yacko di Instagram, Sabtu, 6 September 2025.

Selain itu ada juga Kunto Aji yang kepalanya mau pecah setelah tahu kalau Pestapora 2025 didanai Freeport. Kunto Aji mundur dari salah satu panggung Pestapora 2025, meski begitu ia tetap tampil di panggung dia sendiri. Dia juga berencana memanfaatkan momen tersebut untuk mengkampanyekan isu krisis iklim.

“Dan saya, dengan pertimbangan yang sangat panjang dan semua dilema yang dihadapi. Memutuskan untuk membatalkan panggung SamaSama dan tetap main di set saya sendiri, menggunakan panggung saya untuk mengkampanyekan isu krisis iklim sebagai bagian dari Music Declares Emergency Indonesia,” tulisnya dalam Instagramnya.

“Dan menyumbangkan semua pendapatan saya dari panggung ini ke mereka. Sekian. Terima kasih,” sambungnya.

Semakin banyak musisi memanfaatkan panggung dan pengaruh mereka untuk mendukung isu lingkungan dan meningkatkan kesadaran di kalangan penggemar.

Kini, bukan hanya sekadar menyampaikan pesan di atas panggung atau melalui unggahan media sosial, beberapa musisi benar-benar mengambil langkah nyata, seperti mengurangi perjalanan udara, menggunakan desain panggung yang ramah lingkungan, atau menyeimbangkan emisi dari tur mereka.

Dengan mengubah kebiasaan profesional mereka, para musisi ini membuktikan meskipun berada di dunia pertunjukan langsung yang penuh tuntutan, tetap mungkin membuat pilihan yang berkelanjutan.

PT Freeport Indonesia bukan nama yang asing di telinga masyarakat. Perusahaan ini mengoperasikan salah satu tambang emas terbesar di dunia yang terletak di Papua.

PT Freeport Indonesia dimiliki oleh pemerintah Indonesia dan perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Pemerintah Indonesia menguasai mayoritas saham melalui BUMN, dan sejak 2018 berhasil mengakuisisi 51,23% saham dengan nilai transaksi sekitar US$3,85 miliar atau setara Rp62,8 triliun.

PT Freeport kerap menjadi bahan perbincangan publik, terutama terkait berbagai isu seperti eksploitasi sumber daya alam yang dinilai berlebihan dan merugikan kepentingan bangsa Indonesia.

Operasional perusahaan tambang sejatinya diatur secara ketat oleh perundang-undang, terutama terkait pelestarian alam. Namun, PT Freeport Indonesia diketahui melanggar peraturan tersebut dengan merusak lingkungan di sekitar tambang emas Grasberg, Papua.

Ekosistem sungai, Kawasan hutan mangrove, dan lautan terkena dampak dari pertambangan PT Freeport Indonesia.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI mencatat setidaknya 47 pelanggaran. Sebagai tindak lanjut, kementerian menjatuhkan sanksi administratif dengan mewajibkan Freeport melakukan rehabilitasi lingkungan dan memantau limbah tambang secara berkelanjutan.

Melalui akun Instagram @walhi.nasional WALHI mengatakan, selama lebih dari 50 tahun beroperasi, PT Freeport Indonesia telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat Papua.

Sementara, pemerintah enggan memperhatikan dampak negatif beroperasinya tambang di wilayah adat suku Amungme dan Kamoro. Bagi warga Papua, lubang tambang Freeport menjadi luka yang menganga.

Alih-alih menghentikan operasi pertambangan, negara justru memperpanjang kontrak PT Freeport hingga 2061 yang ditandatangani mantan Presiden Joko Widodo pada 2023, sekaligus menambah smelter di Gresik, yang diresmikan Presiden Prabowo Subianto.

Perpanjangan izin usaha ini memicu kontroversi, karena muncul tudingan bahwa PT Freeport Indonesia dan pemerintah tidak melibatkan masyarakat asli Papua dalam prosesnya.

Selain itu, PT Freeport juga tercatat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) terkait tragedi runtuhnya terowongan Big Gossan di Kabupaten Mimika, Papua, yang menewaskan 28 pekerjanya.

Sementara, pencemaran lingkungan telah memengaruhi lebih dari 6.000 jiwa dan merusak tempat tinggal masyarakat adat Papua.

Mereka secara historis merupakan pemilik wilayah adat Amungme dan Kamoro sama sekali tidak dilibatkan, namun justru menanggung dampak dari aktivitas tambang.

Fakta-fakta kerusakan sosial dan lingkungan akibat Freeport selalu disembunyikan bahkan dimanipulasi perusahaan. Hal ini yang mendorong WALHI menggugat Freeport 25 tahun lalu. Saat ini, Freeport mencoba menutupi kejahatan dengan mendukung festival musik Pestapora.

“Musik itu seni, selain ungkapan batin juga hiburan. Penderitaan rakyat Papua bukanlah hiburan bagi siapa saja, tetapi harus menjadi fondasi moral kita memahami keadilan,” tulis @walhi.nasional.

“Kita merindukan seni pengungkapan peristiwa sosial oleh musisi melalui musik. Menggelar Pestapora bersama pihak yang telah merampas wilayah adat dan perusak lingkungan tersesar seharusnya tidak dilakukan oleh penggiat seni.”

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com, jaringan media WongKito.co, pada 8 September 2025.