SIEJ Dorong Media Beri Perhatian Terhadap Isu Perdagangan Karbon di Indonesia

Sabtu, 29 Mei 2021 20:21 WIB

Penulis:Amalia

logo siej.jpg
logo SIEJ

PALEMBANG, WongKito.co - Isu penanganan perubahan iklim dinilai penting untuk menjadi perhatian lebih media, terutama sejak diadopsinya Paris Agreement pada The Conference of Parties (COP), dan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ke-21, pada Desember 2015.  

The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) mencatatkan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir isu penanganaan perubahaan iklim terutama perdagangan karbon di Indonesia tidak begitu banyak diangkat. Padahal perdagangan karbon adalah kegiatan jual beli sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim. Indonesia memiliki potensi cukup besar dalam perdagangan karbon ini.

Ketua Umum SIEJ, Rochimawati mengatakan, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp350 triliun dari transaksi jual beli sertifikat emisi karbon. Total lahan hutan Indonesia mencakup sekitar 94,1 juta hektar, yang menyimpan sekitar 200 ton karbon per hektar.  

Sedangkan sekitar 22,5 juta hektar lahan gambut di Indonesia juga dapat menyimpan lebih dari 1.000 ton karbon per hektar. Lahan mangrove di Indonesia yang luasnya sekitar 3,31 juta ha berpotensi menyimpan sekitar 227 ton karbon per hektar. Namun dari semua itu, implementasinya sampai saat ini terlihat masih menghadapi berbagai tantangan. Pemerintah belum juga menerbitkan peraturan presiden (Perpres) sebagai landasan hukum perdagangan karbon.

“Inilah mengapa media di Indonesia penting untuk memberikan perhatian lebih terhadap isu ini. Kami berharap media bisa mengarahkan jurnalisnya di lapangan untuk melakukan liputan mendalam terkait isu tersebut,” kata Rochimawati dalam diskusi Editor Meeting bertemakan Perdagangan Karbon di Indonesia, Sabtu (29/5).

Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI, Yuyun Harmono mengungkapkan, isu pengelolaan hutan di Indonesia kerap selalu dihubungkan dengan wacana perdagangan karbon. Dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat pun sesungguhnya selalu muncul ketidakadilan, terutama pendekatan nilai untuk pengelolaan hutan. Negara cenderung terlihat menjadikan karbon sebagai nilai pendapatan yang perlu digarap.

“Padahal masyarakat menjaga hutan awalnya bukan untuk itu, namun bagimana hutan bisa menjadi sumber kehidupan sekaligus sebagai benteng mencegah bencana. Saya pikir ada ketidakadilan pada hal ini. Negara kerap mengunakan pendekatan menjaga hutan untuk urusan karbon,” kata Yuyun dalam kesempatan yang sama.

Menurut M. Shofwan, Pengurus LPHD Jambi, pengelolaaan hutan berbasis masyarakat sesungguhnya merupakan pendekatan yang baik dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Cara ini bahkan bisa mendorong kesejahetaraan masyarakat tanpa kemudian menimbulkan masalah.  

“Perdagangan karbon adalah salah satu bonus saja. Tetapi manfaat besar dari pengelolaaan hutan itu adalah lingkungan tetap terjaga. Bencana bisa dikurangi. Ekonomi masyarakat pun bisa tumbuh,” ujar Shofwan. (tri)