Rabu, 25 Juni 2025 07:32 WIB
Penulis:Nila Ertina
JAKARTA - Data Kementerian Keuangan mencatat hingga Mei 2025 pemerintah Indonesia menambah utang baru sebesar Rp 324,8 triliun. Angka ini setara dengan 52,7% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang mencapai Rp 616,2 triliun.
“Realisasi akhir Mei 2025 untuk pembiayaan anggaran sebesar Rp 324,8 triliun, atau 52,7 persen dari target APBN dan masih berada dalam jalur sesuai,” kata Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, pada konferensi pers APBN KiTa, Selasa (17/6/2025).
Sementara itu Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada April 2025 nilainya mencapai US$431,5 miliar, atau setara dengan sekitar Rp7.036 triliun . Angka tersebut mencerminkan pertumbuhan tahunan (year-on-year/yoy) sebesar 8,2%, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada Maret 2025 yang sebesar 6,4% (yoy).
Baca Juga:
Pemerintah juga telah menyiapkan langkah-langkah mitigasi risiko melalui strategi pembiayaan yang prudent (hati-hati), fleksibel, dan terukur, dengan mempertimbangkan waktu, volume, dan komposisi mata uang.
Selain itu, dilakukan pula pelaksanaan prefunding, penguatan buffer kas, serta pengelolaan kas dan utang yang aktif. “Serta, pelaksanaan prefunding, cash buffer yang memadai, dan active cash and debt managemet,” tambah Thomas.
Di tengah ketidakpastian global, posisi Indonesia masih tergolong stabil jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki beban utang jauh lebih besar.
Berdasarkan data IMF per Februari 2025, negara seperti Argentina dan Ukraina menjadi peminjam terbesar kepada IMF dengan nilai masing-masing mencapai US$40,67 miliar (sekitar Rp663 triliun) dan US$14,61 miliar (sekitar Rp238 triliun).
Negara lain dalam daftar peminjam terbesar termasuk Mesir, Ekuador, Pakistan, Kenya, Angola, Pantai Gading, Ghana, dan Bangladesh. Di sisi lain, dari rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), Sudan menempati posisi teratas dengan 252%, disusul Jepang 234,9% dan Singapura 174,9%.
Negara-negara seperti Yunani, Bahrain, Maladewa, Italia, Amerika Serikat, Prancis, dan Kanada juga masuk dalam daftar dengan rasio utang tinggi, umumnya akibat defisit fiskal kronis, pengeluaran pertahanan dan sosial yang besar, serta struktur demografi yang menua.
Dalam konteks regional, Indonesia mencatat rasio utang terhadap PDB sebesar 41%, angka yang relatif rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya seperti Malaysia (70,1%), Filipina (58,1%), dan Singapura (174,9%).
Pemerintah juga menghadapi jatuh tempo Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp178,9 triliun pada Juni 2025, angka tertinggi sepanjang tahun ini.
Di samping itu, pelemahan nilai tukar rupiah yang menyentuh Rp16.325 per dolar AS serta ketegangan geopolitik di Timur Tengah turut menambah tekanan terhadap stabilitas ekonomi nasional.
Laporan terbaru IMF dan Bank Dunia memperingatkan soal risiko utang tersembunyi, khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah.
Baca Juga:
Sekitar 75% dari negara-negara tersebut tidak melaporkan secara transparan rincian pinjaman mereka, terutama yang berkaitan dengan skema swap antar bank sentral, jaminan dari BUMN, atau kontrak-kontrak tersembunyi.
Kurangnya transparansi ini menyebabkan peningkatan biaya pinjaman antara 1–2%, karena investor menilai risiko yang lebih tinggi. Situasi seperti ini pernah terjadi di Sri Lanka pada 2022, saat utang tersembunyi terungkap dan memicu krisis kepercayaan.
Oleh karena itu, IMF mendorong reformasi hukum untuk mewajibkan pelaporan utang yang komprehensif, termasuk dari BUMN dan pemerintah daerah, serta implementasi sistem Global Debtor Reporting System (DRS) guna mengintegrasikan data utang domestik dan luar negeri.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 24 Jun 2025