Subsidi Gas Industri Dinilai jadi Ancaman Investasi Hulu Migas, Simak Penjelasannya

Rabu, 27 Maret 2024 13:34 WIB

Penulis:Nila Ertina

Program Gas Murah untuk Industri Dinilai jadi Ancaman Investasi Hulu Migas, Simak Penjelasannya
Ilustrasi (ist)

JAKARTA, WongKito.co - Program subsidi gas untuk industri atau dikenal Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sedang dievaluasi. Selain berpotensi menghilangkan penerimaan negara, kebijakan yang dinikmati tujuh sektor industri ini mengandung ketidakadilan sehingga merugikan sektor lain terutama minyak dan gas (migas).

"Berdasarkan kajiannya terdapat 15 faktor penentu untuk meningkatkan daya saing sebuah industri di dalam negeri. Dimana 10 di antaranya adalah faktor dari dalam negeri, dan limanya dari eksternal. Ternyata harga gas ini hanya salah satu komponen,” kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro,saat menghadiri diskusi virtual bertajuk ‘Nasib Kelanjutan HGBT, antara Perkuat Daya Saing Industri & Kesehatan APBN’, mengutip TrenAsia.com, Rabu (27/3/2024).

Maka pihaknya memertanyakan apakah tepat jika pilihannya adalah menciptakan harga gas murah dengan tujuan menciptakan daya saing dan memerkuat tujuh sektor industri penerima manfaat HGBT ini sejak pandemi Covid-19.

”Jadi kalau harga gasnya ditekan serendah mungkin sedangkan 14 variabel lainnya tidak mendapatkan perhatian, jangan-jangan nanti daya saing yang ingin kita tuju itu nanti tidak tercapai,” ujarnya.

Baca Juga:

Salah satu tujuan besar dan mulia dari pemerintah berkaitan dengan optimalisasi gas bumi adalah gas bumi sebagai transisi energi dan menuju Net Zero Emission atau Nol Emisi Karbon pada tahun 2060.

Komaidi menyarankan supaya pemerintah segera mengkaji ulang program HGBT sebelum terlambat. ”Artinya, kalau kemudian industri gasnya tidak berkembang di dalam negeri karena policynya tidak sesuai, nanti ke depan yang dikorbankan banyak ya. Tidak hanya keuangan negara,” ujarnya.

Penegasan yang sama disampaikan Senior Advisor Indonesia Gas Society (IGS) Salis S. Aprilian bahwa dampak buruk HGBT ada di sektor hulu migas. Salah satunya adalah dampak negatif berupa penurunan minat investasi di hulu.

”Iya itu jelas dampaknya seperti itu. Jika (HGBT) terus dipaksakan maka akan mengorbankan pemerintah dari sisi hulunya. Apalagi sekarang kebanyakan sumber gas yang ditemukan itu di remote area dan itu akan berat biaya produksinya,” ujarnya, pada kesempatan yang sama.

Pemerintah disarankan melakukan evaluasi HGBT karena hanya menguntungkan salah satu pihak sementara pada saat yang sama terdapat pihak lain dirugikan. ”Jadi bagaimana kebijakan ini bisa menstimulasi semua sektor, ini yang harus dapat perhatian,” terusnya.

Dari sisi hilir terutama industri penerima migas pun, kata dia, belum tentu manfaat yang diterima dari program HGBT ini sesuai sasaran dan harapan. ”Memang ada baiknya. Cuma, benar kah bahwa ini melahirkan industri baru dan pengembangan industri? Ini harus dilihat,” imbuhnya.

Sependapat dengan situasi tersebut, Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, mengatakan evaluasi terhadap HGBT sedang dijalankan. Termasuk terhadap 7 sektor industri penerima manfaat program ini.

Adapun sebanyak 7 sektor penikmat HGBT saat ini terdiri atas sektor industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, hingga sarung tangan karet. Seluruhnya mendapatkan pasokan gas di bawah harga pasar yakni US$6 per MMBTU.

”Evaluasi ini hal yang biasa untuk bisa segera kita jalankan. Karena sekarang sudah bukan pandemi sementara programnya dikeluarkan saat pandemic,” ucapnya.

Baca Juga:

Sugeng menegaskan bahwa yang perlu diproteksi bukan hanya sektor industri di hilir penerima manfaat program HGBT. Pelaksana dan penyedia program HGBT juga perlu mendapatkan perhatian supaya terdapat keadilan dan keseimbangan.

Terlebih, Komisi VII juga bertanggung jawab untuk menjaga keberlangsungan ekosistem migas termasuk dari sisi midstream dan hilir. Di program HGBT dimana harga gas sebesar US$6 per MMBTU, kata dia, harga tersebut adalah harga di industri. Padahal ada komponen harga lain yang perlu diperhitungkan untuk sampai ke pengguna mulai dari biaya transportasi, biaya pipa, transmisi, dan lainnya.

”Infrastruktur harus terus kita benahi sehingga daya serap gas nasional untuk industri bisa meningkat. Sekarang kita bersyukur 60% lebih gas nasional pemanfaatannya untuk dalam negeri baik untuk pupuk, petrochemical, dan lain lain,” imbuhnya.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Ananda Astri Dianka pada 27 Mar 2024