Gajah Sumatera
Rabu, 03 Desember 2025 12:05 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito

JAKARTA, WongKito.co – Kondisi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Riau kembali menjadi perhatian publik setelah laporan satelit dan penelusuran lapangan mengungkap kerusakan masif akibat pembukaan kebun sawit ilegal dan perambahan yang berlangsung selama lebih dari dua dekade.
Kawasan yang pernah dikenal sebagai “surga gajah” ini kini disebut mengalami krisis ekologis terburuk dalam sejarahnya. Tesso Nilo, habitat penting bagi Gajah Sumatera dan Harimau Sumatera, kini kehilangan lebih dari 85% hutan alaminya.
Data terbaru menunjukkan bahwa taman nasional seluas 81.793 hektare itu kini hanya menyisakan sekitar 12.561 hektare hutan primer, sekitar 15% dari total area. Laporan lain bahkan memperkirakan tutupan hutan alami tinggal 6.500 hektare atau hanya 8%.
40.000 Hektare Berubah Jadi Kebun Sawit
Kerusakan ini menyebabkan fragmentasi habitat besar-besaran, memutus koridor alami gajah dan harimau, serta mengganggu sistem hidrologi kawasan.
Populasi Gajah Menyusut
Tesso Nilo merupakan salah satu dari sedikit kawasan yang masih menjadi “kantong gajah” di Sumatra. Pada 2004, populasi gajah diperkirakan mencapai 200 ekor. Namun pada 2025, populasi itu menyusut menjadi sekitar 150 ekor, bahkan beberapa laporan konservasi menyebut hanya 60–90 ekor yang tersisa.
Penyusutan habitat membuat gajah semakin sering keluar dari kawasan taman nasional. Mereka memasuki kebun sawit ilegal, merusak tanaman warga, dan memicu konflik yang sering berujung pada kematian satwa maupun manusia.
Setiap tahun, puluhan gajah ditemukan mati akibat keracunan, jerat, konflik dengan masyarakat, dan terjebak di wilayah yang terfragmentasi.
Lembaga konservasi internasional menyebut krisis TNTN sebagai “contoh klasik kejatuhan habitat megafauna akibat tatakelola buruk.” Akar masalahnya jelas sawit ilegal, permukiman, dan penegakan hukum lemah.
Kerusakan Tesso Nilo tidak terjadi dalam satu malam. Sejumlah faktor saling tumpang tindih:
1. Ekspansi Kebun Sawit Ilegal
Lebih dari 40.000 hektare di dalam taman nasional telah dikonversi menjadi kebun sawit, baik oleh individu, kelompok, hingga aktor skala besar. Banyak di antaranya telah mengajukan sertifikat dan terlibat sengketa tenurial.
2. Permukiman di Dalam Kawasan Konservasi
Ribuan warga telah menetap dan membuka kebun di kawasan TNTN, menciptakan dilema antara perlindungan satwa dan pemenuhan hak hidup masyarakat.
3. Lemahnya Pengawasan dan Patroli
Selama belasan tahun, pengawasan kawasan tidak sebanding dengan masifnya perambahan. Banyak kasus pembalakan dan pembukaan lahan tidak ditindak tegas.
4. Fragmentasi Hutan dan Kebakaran Lahan
Kebakaran berulang setiap musim kemarau memperparah kerusakan dan mempercepat hilangnya pakan alami satwa besar.
KLHK menegaskan tidak ada pembiaran aktivitas ilegal di Tesso Nilo. Dalam operasi gabungan November 2023 dan 2024, pemerintah memusnahkan sekitar 600 hektare kebun sawit ilegal, menertibkan puluhan pondok perambah, memperkuat patroli, dan membentuk Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Pemerintah juga menargetkan:
Namun, sejumlah pakar menyebut tantangannya sangat besar biaya, konflik sosial, dan lemahnya penegakan hukum berpotensi membuat upaya pemulihan berjalan lambat.
TNTN merupakan salah satu dari “benteng terakhir” bagi Gajah Sumatera yang terancam punah (CR -mCritically Endangered). Hilangnya taman nasional ini akan berdampak langsung pada penurunan drastis populasi gajah dan harimau, runtuhnya ekosistem dataran rendah Sumatra, meningkatnya banjir dan kekeringan akibat hilangnya fungsi hutan, konflik manusia–satwa yang makin tidak terkendali.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com, jejaring media WongKito.co, pada 2 Desember 2025.
7 hari yang lalu