Ragam
Pengamat: PPN Selektif 12 Persen Berpotensi Bikin Bingung
JAKARTA - Per 1 Januari 2025, pemerintah menerapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dari sebelumnya 11 persen. Meskipun langkah ini dirancang untuk diterapkan secara selektif, berbagai pihak menyoroti dampaknya terhadap pelaku usaha, konsumen, dan administrasi perpajakan nasional.
Seperti diketahui, pemerintah bersama DPR telah menyepakati kenaikan tarif PPN menjadi 12%, tetapi hanya diberlakukan pada barang-barang mewah. Barang kebutuhan pokok serta layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan perbankan akan tetap dikenakan tarif 11%.
Namun, rencana ini mendapat kritik tajam dari Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios). Ia menilai bahwa kebijakan ini berisiko menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku usaha dan konsumen, terutama karena belum ada pengalaman sebelumnya dalam penerapan sistem multitarif PPN di tanah air.
Baca Juga:
- Hoaks: Bantuan Dana Pekerja Migran Mengatasnamakan Menteri P2MI
- Mengeksplorasi Lingkungan Beribadah, Belajar, Bermain bersama Anak-anak
- Sahabat Kecil, Sahabat Alam: Bagaimana Hewan Peliharaan dan Lingkungan yang Baik Membentuk Anak yang Ceria
Menurut Bhima, penerapan tarif yang berbeda-beda dapat menyebabkan administrasi perpajakan menjadi lebih rumit dan meningkatkan beban administratif bagi pelaku usaha.
"Indonesia mengenal PPN satu tarif, yang berarti perbedaan PPN 12 persen untuk barang mewah dan PPN 11 persen untuk barang lainnya merupakan yang pertama kali dalam sejarah," ujar Bhima, dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Jumat, 6 Desember 2024.
Para pelaku usaha, terutama yang berhubungan langsung dengan konsumen, akan dihadapkan pada tantangan besar untuk menyesuaikan sistem mereka dengan kebijakan yang lebih kompleks dan penuh variabel tersebut. Hal ini, menurutnya, berpotensi menambah biaya operasional serta meningkatkan risiko kesalahan dalam penghitungan pajak.
Untuk mengatasi masalah ini, Bhima mengusulkan agar pemerintah segera menerbitkan Perppu untuk menghapus Pasal 7 UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang mengatur kenaikan PPN menjadi 12%. Ia berpendapat bahwa langkah tersebut dapat memberikan kejelasan dan kepastian hukum yang lebih baik bagi para pelaku usaha dan mencegah potensi dampak negatif terhadap perekonomian.
"Hanya karena sudah injury time jelang pelaksanaan PPN 12 persen per Januari 2025, maka aturan dibuat mengambang. Seharusnya, kalau mau memperhatikan daya beli masyarakat, terbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menghapus Pasal 7 di UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) soal PPN 12 persen. Itu solusi paling baik," tambah Bhima.
Baca Juga:
- Memupuk Kesadaran untuk Menjaga Sumber Kehidupan, Jaga Kebersihan Sungai, Jangan Buang Sampah
- IHSG pada 29 November 2024 Kembali Ditutup Melemah
- 20 Finalis UMKM Perempuan Berebut hadiah Modal Rp115 juta, Sisternet Gelar Kompetisi Modal Pintar 2024
Pemerintah tengah menyiapkan paket kebijakan ekonomi yang mencakup rincian terkait PPN, dengan target penyelesaian dalam waktu satu pekan. Pemerintah berharap kebijakan selektif ini dapat menjaga penerimaan negara tanpa membebani masyarakat berpenghasilan rendah.
Rencana kenaikan PPN selektif ini menjadi cerminan upaya pemerintah untuk menyeimbangkan kebutuhan fiskal dengan sensitivitas terhadap daya beli masyarakat. Bagaimana kebijakan ini diterima dan diimplementasikan akan menjadi ujian bagi sistem perpajakan Indonesia di tahun mendatang.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 06 Dec 2024