Ragam
Bivitri: Legislasi Ugal-Ugalan Ancaman Kematian Demokrasi
PALEMBANG, WongKito.co - Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengatakan, banyak yang tidak menyadari bahwa demokrasi tengah dibunuh. Ancaman kematian demokrasi itu berkaitan dengan hukum sebagai instrumen penguasa melalui proses legislasi ugal-ugalan.
Menurut Bivitri, gejala-gejala yang bisa dilihat diantaranya lahirnya Undang-Undang (UU) yang dibuat dengan proses cepat, tanpa perlawanan dari pihak oposisi, dan tidak melibatkan masyarakat sipil. Banyak UU yang melanggar hak sipil warga negara, seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba yang hanya selesai dalam 6 hari, UU KPK selesai 2 minggu, dan UU IKN selesai 30 hari.
“Tidak ada penentangan dari anggota legislatif satu pun. Itu yang saya sebut proses legislasi yang ugal-ugalan, yang menunjukkan demokrasi kita dalam ambang kematian,” kata Bivitri dalam acara Konferensi ke-9 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) bertema Hukum dan Ancaman Kematian Demokrasi di kampus Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, Senin (24/06/2024).
Baca Juga:
- Dinkes: Penting Sampaikan Assessment OMS HIV ke OPD
- Usung Tema 100% Untuk Indonesia, Ratusan Warga Palembang Ramaikan Lari Santai Road to Smartfren Run 2024
- Catatan Kekerasan Berbasis Gender dalam Pemilu 2024, Negara tidak Hadir Beri Perlindungan
Dia mengungkapkan, apabila tidak ada kritik dan protes, akan ada 5 UU lainnya yang turut mengancam demokrasi Indonesia, antara lain UU Kepolisian, UU TNI, UU Kementerian, UU MK, dan UU Penyiaran. Belum lagi ada kebijakan baru lainnya, seperti Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang akan membebankan masyarakat.
Gejala terancam matinya demokrasi juga terlihat dari pembajakan Mahkamah Konstitusi (MK) terutama melalui Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023. Selain itu juga menyempitnya ruang kebebasan warga, termasuk terancamnya kebebasan akademik dan kebebasan pers. “Semua gejala ini relevan dengan tema konferensi hari ini, karena semua dilakukan melalui instrumen hukum yakni UU,” tegasnya.
Bivitri menambahkan, demokrasi yang dibelok-belokkan seakan benar karena dibuat dalam bentuk hukum adalah gejala pengadilan yang diintervensi. Hal ini berakibat tidak ada kemandirian kehakiman. Dibuat seakan legal, itulah yang menjadi masalah.
“Demokrasi belum mati, tapi terancam mati. Tapi ketika kekuasaan sudah tidak bisa diawasi atau dicek, maka sebenarnya demokrasi sudah mati,” ujarnya.
Baca Juga:
- Alami Kerugian hingga Rp 1,82 Triliun, ini Penjelasan Bos Kimia Farma
- Permen ESDM No 10 tahun 2023 Dianggap Menguntungkan Produsen Nikel
- Anak dengan HIV Meningkat, OMS dan Dinas PPPA Palembang Bermitra untuk Tangani Kasus
Dalam kesempatan yang sama, Ketua AFHI, Prof Hyronimus Rhiti mengatakan, AFHI menanggapi momen dan gejala hukum yang dirasa meresahkan masyarakat saat ini. Karena itu, tema Hukum dan Ancaman Kematian Demokrasi diputuskan untuk konferensi kali ini.
“Di tahun politik 2024, AFHI menilai ada kecenderungan demokrasi dipermainkan. Semoga konferensi ini dapat menghasilkan gagasan dan rekomendasi perbaikan hukum dan cara mencegah kematian demokrasi. Sebab, kalau demokrasi mati akan menjadi ancaman kematian hukum juga,” katanya.
Sementara itu, Dekan FH Unsri, Prof Dr Febrian mengatakan, tema Hukum dan Ancaman Kematian Demokrasi ini jangan dianggap wacana pemberontakan. Pembahasannya perlu diskusi bersama.
Karena itu, dalam konferensi yang dilaksanakan pada 24 - 25 Juni 2024 ini digelar berbagai panel dengan sejumlah subtema, diskusi buku, dan debat filsafat hukum. (yulia savitri)