KabarKito
Data Kemiskinan di Indonesia Ilusi Statistik dengan Metode Usang
JAKARTA, WongKito.co - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa per Maret 2025, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat 23,85 juta orang, menurun sekitar 210 ribu jiwa dari September 2024.
Angka persentasenya juga turun ke 8,47% dari total populasi nasional, menjadi yang terendah dalam sejarah survei BPS hingga kini.
BPS menjelaskan jika gerakan penurunan ini diiringi oleh tren makro positif kemiskinan ekstrem juga menurun, dari 0,99% sekitar 2,78 juta orang pada September 2024 menjadi 0,85% sekita 2,38 juta orang per Maret 2025.
Garis Kemiskinan Rendah di Bawah Realitas Lapangan
Menurut Center of Economic and Law Studies (CELIOS), penurunan angka kemiskinan yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) tidak mencerminkan perbaikan kesejahteraan masyarakat secara nyata. CELIOS menilai, data tersebut hanyalah ilusi statistik yang dihasilkan oleh metodologi usang dan tidak kontekstual.
- Du Anyam: Anyaman yang Berdampak Nyata Bagi Perempuan NTT
- Reaksi Pasar Uni Eropa Langsung Cerah, Tarif Dipangkas Jadi 15 Persen
- Begini Resep Bolu Karamel Roti Tawar yang Enak
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menyebut masalah utama terletak pada cara RI mengukur kemiskinan. Selama hampir lima dekade, BPS masih menggunakan pendekatan pengeluaran minimum untuk menentukan siapa yang tergolong miskin dengan item-item kebutuhan yang nyaris tak berubah sejak zaman Orde Baru.
"Akibatnya, banyak masyarakat yang secara nyata hidup dalam keterbatasan tetap tidak terklasifikasi sebagai miskin karena pengeluarannya sedikit lebih tinggi dari garis kemiskinan versi negara," kata Bhima dalam keterangannya dilansir Senin, 28 Juli 2025.
Sebagai perbandingan, CELIOS mengutip data Bank Dunia yang menyebutkan bahwa 68,2% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional.
Artinya, sekitar 194 juta orang Indonesia hidup dengan standar yang, secara global, tergolong miskin. Jauh berbeda dari angka resmi pemerintah yang hanya 8,5 persen. Selisih delapan kali lipat ini menandakan ada sesuatu yang keliru bukan pada rakyatnya, tapi pada rumusan ukurannya.
Lebih dari sekadar angka, kata Bhima kesalahan metodologi ini berpengaruh langsung pada kebijakan. Pemerintah menyusun anggaran bantuan sosial berdasarkan data yang tidak menggambarkan realitas.
Akibatnya, banyak masyarakat rentan justru tercecer dari sistem. Mereka tidak masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), dan karenanya tak menerima bansos apa pun. Ini adalah bentuk penghilangan struktural, di mana kemiskinan disembunyikan oleh data.
Tak hanya itu, Bhima juga memperingatkan bahwa angka kemiskinan yang terlalu rendah versi pemerintah bisa dijadikan dalih untuk menekan anggaran perlindungan sosial dalam RAPBN 2026.
Padahal, di luar subsidi BBM, anggaran perlinsos Indonesia hanya 1 persen dari PDB salah satu yang terendah di Asia Tenggara, kalah jauh dari Vietnam, Malaysia, dan Thailand yang sudah mengalokasikan lebih dari 5%.
- Dampak Sistemik Jika Potongan Tarif Driver Grab Diturunkan ke 10 Persen
- Koper dan Zamzam Diserahkan ke Keluarga, Pencarian Nurimah Masih Berlanjut
- Usaha Sambal Rumahan Naik Kelas Berkat Pendampingan BRI
Untuk itu, CELIOS mengusulkan reformasi total dalam cara negara memaknai dan mengukur kemiskinan. Metode berbasis pengeluaran harus diganti dengan pendekatan pendapatan disposabel yakni uang bersih yang bisa dibelanjakan setelah dikurangi pajak dan kebutuhan dasar.
CELIOS juga mendorong penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai kerangka baru untuk mendefinisikan kemiskinan secara lintas sektoral. Karena selama data kemiskinan dipolitisasi untuk kepentingan pencitraan, reformasi metode hanyalah retorika kosong.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Debrinata Rizky pada 28 Juli 2025.