KatoKito
Di Usia Senja, Nenek Pilih Rawat Anak dan Cucu Sendiri Demi Kenyamanan
SUATU malam, aku baru saja tiba di salah satu rumah sahabatku untuk bermalam dan mengerjakan sejumlah pekerjaan yang harus dilakukan sesuai dengan "pesanan".
Aku memilih tinggal di rumah sahabatku yang juga pengusaha perempuan itu. Saat membuka pintu sang ibu dengan senang menyapaku, dan menawariku makan malam serta minum teh hangat.
Seperti biasa, aku menjawab biar aku sendiri saja nek nanti bikin tehnya ya. Nenek pun, berjalan kembali ke kamarnya tentunya setelah memeluk erat diriku.
Keesokan harinya, seusai salat subuh, aku pun menjumpai nenek, aku ingin membantu dia menyiapkan berbagai kebutuhan keluarga dari dapur yang berada di pojok belakang rumah sahabatku itu.
"Nek biar aku yang memasak dan ke pasar hari ini ya," kataku dengan semangat.
Sebenarnya, nenek sangat senang ketika ada aku yang sesekali membantunya mengurus pekerjaan domestik dalam keluarga anak perempuannya. Kadang ada orang lain yang membantu, meskipun bukan aku.
Baca Juga:
- Cek 8 Manfaat Menggunakan Panel Surya
- FKM Unsri- Kemenkes RI, Kolaborasi Kajian Komprehensif Implementasi Pemeriksaan Kesehatan Gratis di Kabupaten Ogan Ilir
- barenbliss Rayakan Ulang Tahun ke-4 di Indonesia, dengan Pink Library dan Kolaborasi Baru
Namun, perempuan yang telah berusia lebih dari 70 tahun itu mengakui dia tidak ingin ada pekerja rumah tangga atau PRT. Kehadiran PRT membuat sang nenek tidak nyaman dan kerap bingung karena pekerjaanya diambil alih PRT, yang kadang apa yang dikerjakan tidak sesuai.
Sahabatku, sang anak perempuannya dengan suami dan tiga orang anak yang kini diurus sang ibu, mengungkapkan kalau sudah berkali-kali mempekerjakan PRT untuk mengurus keluarga dan termasuk sang ibu.
Upaya membuat sang ibu, beristirahat dan menikmati masa tuanya dengan beribadah dan bercengkrama dengan keluarga, tidak berhasil. Selalu saja sang ibu mengeluh karena pekerjaan PRT tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dikerjakan dengan baik.
Akhirnya, kini neneklah yang mengambil peran dan tanggung jawab urusan domestik.
Cara paling mungkin dilakukan sang anak, guna meringankan beban kerja nenek dengan menyediakan fasilitas dan alat pendukung pekerjaan domestik, seperti mesin cuci pakaian sekaligus pengering dan mesin cuci piring.
Sang anak pun, kini secara rutin memberangkatkan sang ibu ke tanah untuk menjalankan ibadah umrah, sebagai salah satu upaya menunjukan kasih sayang kepada sang ibu.
Tradisi menempatkan perempuan sebagai pelayan dalam keluarga, hingga kini tidak bisa dipungkiri masih menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Karena itu, kerap kali ditemukan anak perempuan diberi tanggung jawab merawat orang tua yang sudah jompo. Meskipun dalam tulisan ini, saya justru menemukan fakta sebaliknya, ibu yang sudah menjadi nenek mengurus anak, suami sang anak dan cucu-cucunya.
Meskipun tampak pekerjaan tersebut iklas dilakukan sang nenek, tetapi di usia renta, ia sudah semestinya menikmati masa tua.
Sistemik dan Terstruktur
Konsepsi sosial budaya di Nusantara ini, hingga kini masih menempatkan perempuan sebagai kelompok marginal, praktik budaya patriarki yang diskriminatif dan bias masih menjadi masalah utama dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia pada umumnya.
Tak hanya terjadi di dalam urusan domestik bahkan dalam kerja-kerja profesional pun, eksistensi perempuan masih belum setara dengan kaum adam.
Mengutip laman website Kementerian PPPA, ada lima hal dalam Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang ditandatangani pada 1979 dalam konferensi yang diadakan Komisi Kedudukan Perempuan PBB, yaitu.
1. Hak dalam ketenagakerjaan
Setiap perempuan berhak untuk memiliki kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki.Hak ini meliputi kesempatan yang sama dari proses seleksi, fasilitas kerja, tunjangan, dan hingga hak untuk menerima upah yang setara.
Selain itu, perempuan berhak untuk mendapatkan masa cuti yang dibayar, termasuk saat cuti melahirkan. Perempuan tidak bisa diberhentikan oleh pihak pemberi tenaga kerja dengan alasan kehamilan maupun status pernikahan.
2. Hak dalam bidang kesehatan
Perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan bebas dari kematian pada saat melahirkan, dan hak tersebut harus diupayakan oleh negara.Negara juga berkewajiban menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan KB, kehamilan, persalinan, dan pasca-persalinan.
3. Hak yang sama dalam pendidikan
Seperti salah satu poin perjuangan RA Kartini, setiap perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan, dari tingkat dasar hingga universitas.Harus ada penghapusan pemikiran stereotip mengenai peranan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan dan bentuk pendidikan, termasuk kesempatan yang sama untuk mendapatkan beasiswa.
4. Hak dalam perkawinan dan keluarga
Perempuan harus ingat bahwa ia punya hak yang sama dengan laki-laki dalam perkawinan. Perempuan punya hak untuk memilih suaminya secara bebas, dan tidak boleh ada perkawinan paksa. Perkawinan yang dilakukan haruslah berdasarkan persetujuan dari kedua belah pihakDalam keluarga, perempuan juga memiliki hak dan tanggung jawab yang sama, baik sebagai orang tua terhadap anaknya, maupun pasangan suami-istri.
5. Hak dalam kehidupan publik dan politik
Dalam kehidupan publik dan politik, setiap perempuan berhak untuk memilih dan dipilih. Setelah berhasil terpilih lewat proses yang demokratis, perempuan juga harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah hingga implementasinya.
Meskipun lima poin tersebut tergolong ideal diterapkan dalam tatanan berbangsa dan bernegara di Indonesia, namun realitanya tidaklah demikian.
Tanggung jawab perempuan secara sistemik dan terstruktur mencakup peran dalam keluarga yaitu sebagai istri dan ibu. Diatur oleh norma-norma sosial dan budaya serta nilai-nilai agama, yang paling terdepan.
Akhirnya, perempuan merasa memiliki beban dan tanggung jawab lebih besar ketimbang laki-laki dalam hal urusan domestik, sehingga tak lagi memandang status social maupun usia yang renta pun, perempuan Indonesia mayoritas masih menganggap kerja-kerja domestic adalah tanggung jawabnya.
Seperti nenek, yang kini masih terus melakukan kerja-kerja domestic karena merasa melayani untuk kenyamanan anak adalah bagian dari kehidupannya.
Lonjakan Pekerja Lansia
Badan Pusat Statistik (BPS), mengungkapkan jumlah pekerja berusia 60 tahun ke atas mencapai 17,53 juta orang pada 2024. Angka ini melonjak hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2014 yang hanya mencatatkan 9,99 juta orang.
Dimana sebagian lansia bekerja di sector informal, seperti PRT dan petani.
Semakin ironis lagi, sebagian besar dari mereka (sekitar 76,29%) terjebak dalam pekerjaan rentan, dan 17,65% lainnya bekerja sebagai pekerja tidak tetap.
Baca Juga:
- Festival Perahu Bidar Jadi Puncak Perayaan Kemerdekaan RI di Palembang
- Ini Klarifikasi PPATK, Buka Blokir Rekening Tidak Perlu Bayar Rp 100.000
- 4 Fakta di Balik Kemeriahan Festival Perahu Bidar Palembang
Jam kerja mereka bahkan melebihi rata-rata pekerja muda, yaitu sekitar 48 jam per minggu. Kondisi ini menggambarkan bahwa banyak lansia bekerja lebih lama dari batas jam kerja normal 40 jam seminggu.
Semakin ironis lagi, banyak dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Tingkat kemiskinan lansia tercatat sebesar 10,04% pada 2023, hanya sedikit lebih rendah dari target pemerintah sebesar 10%.
Negara sudah semestinya lebih memahami dan memberikan perhatian pada lansia, dengan melakukan pendekatan komfrehensif untuk mendorong kesejahteraan lansia.
Lalu, pengesahan regulasi PPRT juga sangat mendesak demi terciptanya perlindungan di sektor informal khususnya, pekerja rumah tangga. Sehingga masalah nenek dan anaknya yang tidak mempekerjakan PRT karena alasan tidak nyaman bisa diatasi.(Nila Ertina, FM)