Kasus Shein Cerminan Maraknya Greenwashing Dunia Fast Fashion

Produk Shein. (ist)

JAKARTA, WongKito.co - Raksasa fast fashion Shein menjadi sorotan internasional setelah pemerintah Italia melalui otoritas persaingan usaha (AGCM) menjatuhkan denda sebesar €1 juta  atau sekitar Rp17 miliar (kurs Rp18.920) atas dugaan praktik greenwashing, yakni klaim keberlanjutan yang menyesatkan. 

Dalam temuannya, AGCM menilai klaim Shein mengenai koleksi “evoluSHEIN” sebagai pernyataan yang kabur, menyesatkan, dan tidak didukung oleh data ilmiah. Koleksi tersebut diklaim sebagai produk berbahan daur ulang, namun kenyataannya tidak sepenuhnya memenuhi standar daur ulang yang berlaku. 

Selain itu, Shein juga dianggap menyampaikan janji pengurangan emisi karbon sebesar 25% pada 2030 dan mencapai nol emisi pada 2050, klaim yang dianggap kontradiktif karena emisi perusahaan justru meningkat sepanjang 2023 hingga 2024. 

AGCM menekankan bahwa sebagai pelaku industri yang sangat mencemari lingkungan, Shein memikul tanggung jawab tambahan dalam menyampaikan informasi yang akurat kepada publik.

Di Prancis, Shein sebelumnya dijatuhi denda lebih besar sebesar €40 juta pada Juli 2025 karena praktik promosi diskon palsu serta klaim keberlanjutan yang tidak terbukti. 

Klaim-klaim tersebut dianggap memperburuk reputasi perusahaan yang telah diawasi ketat oleh regulator Eropa karena dugaan eksploitasi buruh dan dampak lingkungan dari model bisnis ultra-fast fashion mereka. 

Praktik Greenwashing Merek Besar Lainnya

Kasus Shein mencerminkan tren global di mana sejumlah perusahaan besar menggunakan label “ramah lingkungan” atau “berkelanjutan” sebagai strategi pemasaran tanpa dasar yang kuat. 

H&M, misalnya, menghadapi gugatan di Amerika Serikat karena memasarkan produk yang diklaim ramah lingkungan, padahal bersumber dari pulp kayu yang berasal dari hutan boreal Kanada, wilayah yang sangat penting bagi keanekaragaman hayati. 

Merek fashion besar seperti Zara, Uniqlo, Nike dan Allbirds juga tak lepas dari tuduhan greenwashing, dikutip dari earth.org. Meskipun mengklaim produknya ramah lingkungan, Allbirds, produsen alas kaki dan sepatu asal Selandia Baru, dituduh meremehkan dampak lingkungan dari penggunaan wol pada sepatu ketsnya.

Hal ini dengan menyesatkan pemasaran bahwa domba dari pemasoknya “menjalani kehidupan yang baik”. Menurut People for the Ethical Treatment of Animals ( PETA ) – organisasi hak asasi hewan terbesar di dunia – para pekerja memukul dan menginjak-injak saat menyembelih domba.

Di industri lain, ASOS dan Boohoo tengah diselidiki oleh Otoritas Persaingan dan Pasar Inggris (CMA) karena menggunakan label “eko” yang tidak disertai bukti jelas. KLM Airlines dituntut atas kampanye “Fly Responsibly” yang mempromosikan program offset karbon, namun dianggap melebih-lebihkan dampaknya terhadap pengurangan emisi.

Coca-Cola dikritik setelah secara diam-diam mencabut target penggunaan 25% kemasan daur ulang tanpa penjelasan publik. Sementara itu, Primark disorot oleh pengawas iklan Belanda karena slogan “pengurangan CO2 50%” yang ternyata hanya merupakan target masa depan, bukan kenyataan yang sedang berlangsung.

Sementara itu, Lululemon juga menghadapi gugatan karena kampanye “Be Planet” hanya menyoroti penurunan emisi di fasilitas mereka sendiri, sambil mengabaikan emisi dari rantai pasok global.

Pola Umum Greenwashing

Terdapat pola berulang dalam praktik greenwashing yang dilakukan berbagai perusahaan global. Pertama, penggunaan istilah seperti “hijau”, “eko”, atau “berkelanjutan” sering kali tidak disertai rincian konkret mengenai bahan baku, proses produksi, atau sertifikasi independen. 

Kedua, terdapat kontradiksi antara klaim perusahaan dan data operasional aktual, seperti janji pengurangan emisi yang tidak diikuti penurunan emisi nyata. Ketiga, banyak perusahaan meluncurkan koleksi terbatas yang diklaim ramah lingkungan untuk membentuk citra merek yang lebih hijau secara keseluruhan, meskipun sebagian besar produk tetap berkontribusi besar terhadap polusi. 

Keempat, target-target keberlanjutan sering kali dipublikasikan secara luas, namun tidak disertai rencana implementasi atau laporan kemajuan yang transparan, bahkan cenderung dihapus diam-diam ketika tidak tercapai.

Seiring meningkatnya kesadaran konsumen dan tekanan dari kelompok lingkungan, regulator di berbagai negara mulai mengambil langkah tegas. Uni Eropa telah mengesahkan Green Claims Directive, aturan yang mewajibkan setiap klaim lingkungan diverifikasi oleh ilmuwan independen dan didasarkan pada data yang bisa diuji.

Studi Komisi Eropa pada 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 50% klaim keberlanjutan yang digunakan perusahaan ternyata bersifat menyesatkan atau tidak berdasar. Di Inggris, CMA memfokuskan pengawasan pada sektor fashion dan mendesak merek-merek besar untuk melaporkan informasi lingkungan secara lebih transparan.

Prancis dan Italia bahkan menerapkan sanksi yang sangat besar, dengan denda maksimal mencapai 10% dari total pendapatan perusahaan bagi pelaku greenwashing.

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 5 Agustus 2025.

Editor: Redaksi Wongkito
Bagikan
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories