KabarKito
KUHAP Baru Kukuhkan Diskriminasi, Stigma, dan Pengabaian Hak Penyandang Disabilitas
PALEMBANG, WongKito.co - DPR RI telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi Undang-Undang. Keputusan ini menimbulkan kekecewaan karena masih memuat ketentuan-ketentuan yang sangat diskriminatif, stigmatif, dan tidak akomodatif terhadap penyandang disabilitas.
Dalam keterangannya, Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas untuk Reformasi KUHAP menilai, kondisi ini menunjukkan kegagalan serius dalam memastikan penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak penyandang disabilitas. Selain itu, mengabaikan kewajiban negara untuk menjamin aksesibilitas dan akomodasi yang layak dalam proses peradilan pidana.
KUHAP diskriminatif pada penyandang disabilitas karena masih menggunakan definisi saksi pada Pasal 1 angka 47 yang menyatakan bahwa “saksi adalah seseorang yang memberikan keterangan mengenai peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, atau orang yang memiliki dan/atau menguasai data dan/atau informasi yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa guna kepentingan Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan”.
“Kalimat ‘yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri’ secara langsung mendiskriminasi penyandang disabilitas yang mengalami hambatan pendengaran dan penglihatan,” tulis Koalisi yang terdiri dari 21 organisasi tersebut, diantaranya PJS, HWDI, Gerkatin, dan lainnya.
- Pekan Seni Palembang: Bedah Lagu Ratu Sinuhun
- Museum Monpera: Simpan Senjata dan Seragam Pahlawan Sumatera Selatan yang Berjuang Melawan Invansi Belanda
- FSRU Lampung Terima Kargo LNG ke-20, Bukti Konsistensi Layanan Gas Bumi Nasional
Adapun penjelasan Pasal 236 ayat (3) yang memberikan kekhususan bagi penyandang disabilitas bukanlah bersifat norma, dan sangat mungkin disimpangi dalam pelaksanaannya, karena ketentuannya bersifat pengecualian, yang seharusnya masuk dalam batang tubuh.
“Pilihan memasukan ketentuan itu dalam penjelasan menunjukan bahwa pembentuk KUHAP tidak memandang adanya hak penyandang disabilitas yang harus dilindungi, dan itu merupakan sikap yang diskriminatif," ulasnya.
Ketentuan yang tidak mengakomodasi kemampuan lain dari penyandang disabilitas untuk mendapatkan informasi, termasuk melalui perabaan atau penciuman. Definisi saksi itu juga tidak sesuai dengan Putusan MK No.65/PUU-VIII/2010 yang dalam amar putusannya menyatakan definisi saksi dalam KUHAP inkonstitusional selama tidak dimaknai “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Koalisi juga menilai, KUHAP memuat ketentuan yang stigmatis dan ableistik karena mempertahankan penghapusan keterangan di bawah sumpah atau janji bagi Penyandang Disabilitas Mental dan Penyandang Disabilitas Intelektual dalam Pasal 221. Hal tersebut mereproduksi anggapan keliru bahwa mereka tidak mampu memberikan keterangan yang dapat dipertanggungjawabkan serta mengabaikan realitas relasi kuasa yang kuat dan rentan mengeksploitasi posisi mereka.
Pasal 146 juga menunjukkan bahwa ruh KUHAP masih memandang penyandang disabilitas mental dan intelektual sebagai objek penghukuman, bukan sebagai subjek hukum dengan kapasitas setara yang harus diberikan dukungan bukan digantikan, melalui pemosisian otomatis dalam skema perawatan atau rehabilitasi yang mengabaikan hambatan serta kebutuhan akan akomodasi yang layak di semua tahapan proses peradilan. Mempertahankan pendekatan medis-kuratif alih-alih pendekatan berbasis hak, RKUHAP pada akhirnya mengulang persoalan struktural KUHAP 1981 dan memperkuat hambatan sistemik yang selama ini menutup akses keadilan bagi penyandang disabilitas.
KUHAP tidak akomodatif karena ketentuan mengenai akomodasi yang layak dalam Pasal 145, yang seharusnya menjadi elemen utama penghormatan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam hukum acara pidana justru dilepaskan pengaturannya kepada Peraturan Pemerintah yang bersifat administratif. Padahal, akomodasi yang layak tidak dapat dipahami hanya sebagai penyediaan sarana dan prasarana, melainkan juga mencakup berbagai bentuk dukungan yang diperlukan untuk mengurangi atau menghilangkan hambatan yang dihadapi penyandang disabilitas selama menjalani proses hukum.
Dengan fungsi langsung sebagai jaminan perlindungan hak, khususnya hak atas proses peradilan yang setara dan adil, pengaturan akomodasi yang layak semestinya dimuat dalam undang-undang, bukan disubordinasikan pada regulasi turunan. Penempatan kewajiban tersebut di bawah PP pada akhirnya mengingkari tanggung jawab negara dalam melindungi hak asasi warga negara, termasuk penyandang disabilitas.
Dalam istilah yang digunakan, KUHAP juga tidak mengakomodasi nomenklatur yang dibutuhkan oleh penyandang disabilitas dalam pemenuhan aksesibilitasnya. Istilah Juru Bahasa Isyarat sama sekali tidak tercantum, karena yang digunakan adalah istilah Juru Bahasa yang definisinya tidak merujuk langsung pada Juru Bahasa Isyarat.
“Dalam Pasal ketentuan umum sama sekali tidak ada definisi Juru Bahasa adalah Juru Bahasa Isyarat. Ini berpotensi menimbulkan mispersepsi yang berdampak pada tidak terpenuhinya hak penyandang disabilitas. Istilah lain yang tidak diakomodasi adalah akomodasi yang layak, pendamping penyandang disabilitas, dan penilaian personal.”
- Angka Fatherless di Indonesia Tertinggi Ketiga Dunia Iringi Peringatan Hari Ayah
- In House Training Rafa Televisi 2025: “On Duty With Integrity” Tekankan Profesionalitas di Dunia Penyiaran
- Tuntut Transparansi CSR dan Kerusakan Lingkungan, belum Ditanggapi Bupati, Berikut Penjelasan Warga
Seluruh kritik dan masukan terhadap RKUHAP dari perspektif disabilitas sudah disampaikan oleh Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas untuk Reformasi KUHAP dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tanggal 29 September 2025. Dalam pertemuan itu, Koalisi sudah menyampaikan argumentasi dan usulan perubahan rumusan. Bahkan pimpinan RDPU saat itu mengamini dan menyetujui bahwa masukan Koalisi Disabilitas dapat diakomodasi.
Namun begitu, tidak ada perubahan dalam KUHAP yang baru saja disahkan. Hal itu menegaskan bahwa RDPU yang dilaksanakan hanya penggugur kewajiban, tanpa ada partisipasi yang bermakna.
Jika argumentasi dan usulan Koalisi tidak diterima, Koalisi berpendapat, seharusnya DPR RI memberikan respon atau jawaban atas masukan yang diberikan, karena partisipasi yang bermakna bagi kelompok disabilitas dalam pembentukan KUHAP penting untuk dilaksanakan karena ketentuannya akan mengikat dan berdampak juga pada para penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. (*)

