Masih Terlalu Maskulin, Ini Faktor Rendahnya Peran Perempuan di Industri Teknologi

ilustrasi kecerdasan buatan (Pexels / Cottonbro Studio)

JAKARTA, WongKito.co - Kita semua tahu, teknologi adalah sektor yang diprediksi akan jadi poros pemberdayaan di masa depan. Mulai dari kecerdasan buatan hingga Internet of Things, lapangan kerja di industri teknologi diperkirakan akan terus bertumbuh. Namun, sayangnya keterlibatan perempuan dalam bidang ini masih terbilang rendah. 

Secara global, hanya sekitar 28,2% tenaga kerja di Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM) yang perempuan, dengan angka untuk peran teknis seperti rekayasa dan pengembangan perangkat lunak pun serupa rendahnya menurut data World Economic Forum pada tahun 2024. 

Di Amerika Serikat, misalnya, perempuan hanya menduduki sekitar 26% posisi di industri komputasi. Kondisi ini berpotensi menimbulkan kesenjangan besar ke depan, mengingat sektor teknologi akan semakin krusial dalam berbagai aspek kehidupan.

Gambaran Situasi di Indonesia: Angka dan Fakta

Di Indonesia, tantangannya juga nyata. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan masih berada di sekitar 54%, jauh di bawah laki-laki yang mencapai sekitar 85%. 

Selain itu, akses perempuan ke teknologi digital juga menunjukkan celah; BPS melaporkan bahwa pada 2022, persentase pengguna internet perempuan hanya 55% dibandingkan laki-laki 60%. 

Ini menunjukkan bahwa potensi perempuan untuk berkarir di sektor teknologi masih belum tergarap maksimal karena kendala akses dan partisipasi dasar.

Menariknya, tingkat pendaftaran perempuan di perguruan tinggi sering kali lebih tinggi. Laporan BPS “Indonesian Women and Men 2024” menyebut persentase perempuan yang mengakses pendidikan tinggi mencapai 76,41%, sedangkan laki-laki 72,92%.

Namun, ketika memasuki dunia kerja, partisipasi perempuan di bidang STEM mengalami penurunan signifikan. Survei UNESCO menunjukkan bahwa 61% perempuan mempertimbangkan stereotipe gender saat mencari kerja STEM, 50% merasa kurang tertarik karena dominasi laki-laki, dan 45% percaya pekerjaan STEM tidak “sesuai” untuk perempuan. 

Fenomena ini sering disebut “leaky pipeline”, di mana meski pendaftaran pendidikan STEM cukup tinggi, proporsi yang bertahan dan berkembang di karir teknologi menurun drastis.

Penyebab: Stereotipe, Lingkungan Kerja, dan Akses

Beberapa faktor kultural dan struktural berkontribusi terhadap rendahnya peran perempuan di teknologi. Pertama, stereotipe gender di masyarakat dan keluarga yang menanamkan pandangan bahwa teknologi atau coding “bukan untuk perempuan” masih kuat beredar.

Kedua, lingkungan kerja yang kurang inklusif: banyak laporan perempuan menghadapi diskriminasi, pelecehan, atau tidak memiliki role model/mentor yang memadai. Ketiga, akses pelatihan dan pengembangan keterampilan (reskilling/upskilling) sering kurang menjangkau perempuan, terutama di wilayah pedesaan atau kelompok rentan. 

Keempat, beban sosial dan tanggung jawab domestik membuat perempuan terkadang sulit mengejar kesempatan kerja atau pelatihan dengan jam kerja fleksibel yang minim tersedia. Semua faktor ini membentuk siklus yang mempersempit peluang perempuan untuk berkiprah di sektor teknologi.

Dampak Ekonomi: Kehilangan Potensi dan Peluang

Ketika perempuan tidak optimal berkontribusi di sektor teknologi, Indonesia dan dunia kehilangan potensi besar. Menurut World Bank, jika kesenjangan partisipasi perempuan di pasar kerja ditutup, potensi peningkatan PDB global bisa mencapai lebih dari 20%. 

Di kancah nasional, upaya World Bank bekerja sama pemerintah menargetkan peningkatan partisipasi perempuan hingga 25% pada 2025 karena saat ini stagnan di kisaran 54%. 

Selain itu, studi McKinsey dan FT menyebut bahwa peningkatan partisipasi perempuan dalam tenaga kerja bisa mendorong pertumbuhan produktivitas dan inovasi, misalnya DEI di perusahaan teknologi bisa meningkatkan revenue hingga puluhan persen. Menjadikan sektor teknologi inklusif gender bukan hanya soal keadilan, tetapi juga strategi ekonomi jitu.

Inisiatif dan Program: Langkah-Langkah yang Sudah Dilakukan

Pemerintah dan berbagai pihak sudah mulai bergerak. Kementerian Kominfo melalui program Indonesian Women in Tech berupaya meningkatkan inklusivitas gender di sektor TIK dengan pelatihan bagi ribuan perempuan, termasuk dari desa dan penyandang disabilitas. 

Kementerian Ketenagakerjaan menggarisbawahi pentingnya reskilling/upskilling bagi perempuan untuk menghadapi disrupsi AI, di mana diperkirakan jutaan pekerjaan berubah. Selain itu, Kementerian PPPA menekankan perluasan akses STEM sejak dini, literasi digital, dan kebijakan afirmatif untuk mengatasi keterbatasan akses dan stereotipe gender. 

Sektor swasta juga mulai menerapkan program mentorship, beasiswa, serta inisiatif DEI untuk merekrut dan mempertahankan talenta perempuan. Meski demikian, cakupan dan efektivitas program ini masih perlu dipantau secara serius agar tidak berhenti di angka partisipasi semu.

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 25 Juni 2025.

Editor: Redaksi Wongkito
Bagikan
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories